Republika
Selasa, 17 Mei 2005

Citra Islam dan Kemiskinan Umat 
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan) 
Oleh : 


M Amin Aziz
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Judul karangan yang sangat menggugah seperti di atas pernah ditulis oleh Zaenal 
Ma'arif, Republika, 27 April 2005, seorang pemimpin rakyat yang kini menjabat 
wakil ketua DPR RI. Bertolak dari pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini yang menyatakan bahwa 
Islam, modernisasi, dan demokrasi adalah potensi besar yang dimiliki bangsa 
Indonesia. 

Dan karena itu, umat Islam di Indonesia diharapkan mampu menjadi contoh 
komunitas yang bisa mewujudkan keserasian antara Islam, modernisasi dan 
demokrasi. Yang menarik perhatian adalah bagaimana melihat hubungan yang tepat 
antara kemiskinan umat, demokratisasi dan modernisasi, serta citra Islam 
sebagaimana judul yang diberikan. Dalam tulisan Zaenal Ma'arif (ZM) tersirat 
bahkan kita ketemukan asumsi-asumsi yang perlu dikaji lebih mendalam. Pertama, 
kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam adalah karena sisstem pendidikan 
nasional kita yang tidak memberikan ruang gerak bagi pengajaran nilai-nilai 
religius (Islam). 

Kedua, demokratisasi dan modernisasi adalah wahana yang diperlukan untuk 
membangun citra Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Dan ketiga, kemiskinan dan 
keterbelakangan umat adalah karena umat Islam masih belum mempraktikkan 
demokrasi dan modernisasi. Keempat, citra Islam yang selalu dihubungkan dengan 
kekerasan dan terorisme adalah lanjutan dari kebencian Barat masa lalu pada 
agama Islam. Masing-masing dari empat asumsi tersebut mungkin ada kebenarannya, 
tetapi tidak sepenuhnya benar, bahkan mungkin juga tidak benar sama sekali. 

Realitas
Angka BPS untuk tahun 2003 menunjukkan ada 36,1 juta penduduk miskin yang 
berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Departemen Sosial RI, 17 persen dari 
36,1 juta orang miskin ini adalah fakir miskin, yang memerlukan bantuan yang 
jauh lebih serius di samping penanganan kebijakan makro seperti penciptaan 
lapangan kerja dan berbagai kebijakan pertumbuhann dan pemerataan ekonomi 
lainnya. 

Pada tahun 2000, persentasi penduduk Indonesia yang kualitas hidupnya di bawah 
garis kemiskinan adalah 19 persen, lebih dua kali lebih besar dari persentasi 
penduduik miskin di Malaysia, atau sekitar 1,5 kali dari persentasi jumlah 
penduduk miskin di Thailand. Kalau kita melihat jumlah, dalam angka, maka 
jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih dari 20 kali lebih banyak dari 
penduduik miskin di Malaysia, dan lebih dari lima kali jumlah penduduk miskin 
di Thailand. Jadi, tidak sulit untuk kita mengerti mengapa banyak WNI mencari 
pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga ataupun menjadi kuli di negara tetangga 
kita. Karena, kehidupan masyarakat di negara tetangga kita itu lebih makmur, 
dan peluang kerja lebih tersedia. 

Dari kenyataan itu, orang akan gampang menarik kesimpulan bahwa negara yang 
lebih banyak umat Islamnya seperti Indonesia, lebih banyak orang yang miskin, 
dan negara yang penduduk Muslimnya lebih sedikit seperti Malaysia dan Thailand, 
penduduk miskinnya lebih sedikit. Itu adalah realitas. Masalahnya adalah apakah 
benar bahwa, karena Indonesia yang lebih banyak umat Islamnya maka lebih banyak 
penduduk miskinnya atau dengan kata lain karena umat menganut Islam maka 
kemiskinan menghinggapinya. Kedua, apakah benar umat Islam (seperti di 
Indonesia) menjadi miskin karena tidak sepenuhnya mempraktekkan demokrasi dan 
modernisasi. 

Tentu tidak mewakili kalau kita mengambil kesimpulan dari tiga kasus di atas 
untuk menyimpulkan bahwa negara-negara yang lebih banyak berpenduduk Muslim 
akan lebih cenderung lebih banyak penduduk miskin, dan sebaliknya. Kita perlu 
mengambil kasus yang lebih banyak. Lagi pula, kesimpulan dengan hanya 
memperbandingkan dua peubah (variables) tentu saja tidak memberikan pemahaman 
yang lebih bermakna. 

Karena Islam maka miskin?
Kecuali di beberapa negara berpenduduk Islam seperti di Kuwait, Saudi Arabia, 
Brunei Darussalam, Persatuan Emirat Arab, Qatar, Lybia, Iran dan mungkin satu 
dua negara lainnya, maka terdapat lebih dari 60 negara berpenduduk Muslim yang 
dapat kita katakan memiliki penduduk miskin yang kurang lebih sama dengan 
Indonesia, bahkan lebih menderita. Misalnya Somalia, Jibouti, Kashmir, 
Afghanistan, Nigeria, Uganda, Mali, Kamerun, Gaban, Niger, Kosovo, dan banyak 
lainnya.

Di negara-negara relatif kaya yang tersebut pertama itu pun, kesenjangan mutu 
kehidupan antara kaya dengan yang miskin masih merupakan kenyataan yang 
mengganggu keseimbangan kehidupan umat di masa-masa mendatang. Secara umum, 
jika kita mengamati kenyataan di banyak negara, termasuk yang non-Muslim, akan 
gampang untuk menyimpulkan bahwa di negara yang berpenduduk mayoritas Islam, 
maka di sanalah terdapat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Apakah 
karena mereka (dan kita) Islam, maka mereka (dan kita) menjadi miskin, bodoh 
dan terkebelakang? Tentu saja kita semua membantahnya. 

Seperti juga disebut oleh ZM, pada abad ke-7 Masehi, Eropa masih merupakan 
wilayah terkebelakang dan berada dalam kegelapan. Penyebaran Islam yang begitu 
pesat telah menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat Eropa. Ketakutan itu 
membuat kaum intelektual dan para pengambil keputusan di Eropa sulit bersikap 
objektif rasional terhadap ajaran Islam, bahkan terhadap umat Islam sendiri. 
Eropa membangun citra buruk terhadap umat Islam secara sistematis dan berhasil 
membuat umat Islam menjadi begitu rendah diri dan tidak merasa lagi dengan 
kebenaran ajarannya. 

Pertanyaannya sekarang, mengapa umat Islam miskin? Apakah karena pengaruh citra 
buruk yang dibangun oleh Barat? Itu benar. Namun, seperti diutarakan 
sebelumnya, hal itu tidak seluruhnya benar. Dari segi benarnya, paling tepat 
jika kita ingat tulisan ZA Maulani (alm) yang menyatakan bahwa ada dendam bawah 
sadar yang mengalir dari ingatan ketika armada daulah Ustmaniyyah menguasai 
kawasan Laut Tengah dan pasukan daratnya menyapu Eropa mengancam sampai ke 
pintu gerbang Wina, Austria. Ada penyakit arogansi kultural Barat yang secara 
fisik masih mengangkangi hegemoni atas negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya 
dan dunia Islam pada khususnya. 

Pendapat tadi benar sekali. Namun, kemiskinan umat juga perlu dilihat dari 
aspek ''dalam diri kita sendiri'' sesuai dengan semangat dan tuntuan firman 
Allah di QS Ar Ra'd (13) ayat 11: Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, 
jika mereka tidak mengubah apa yang ada pada dirinya. Dan ini dikemukakan juga 
oleh ZM namun dalam konteks menghapus citra buruk Islam, kita harus mulai 
melakukan revolusi dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Semua 
keluarga Muslim dengan penuh kesadaran, memulai memahami kembali nilai-nilai 
ajaran Islam secara benar dan kritis. Yang terjadi sekarang, anak-anak dalam 
keluarga umat Islam lebih mudah menghapal syair lagu dari grup musik Simple 
Plan ketimbang menghapal surat-surat pendek dalam Alquran. 

Dalam konteks kemiskinan umat, akarnya justru karena sistem dan metodologi 
pendidikan agama Islam yang dilakukan dengan cara menghapal. Karena itulah kata 
menghapal di atas ditulis tebal. Ini perlu ditegaskan, karena di sini inti 
penyebab kemunduran umat Islam, dan inti penyebab kemiskinan, kebodohan dan 
keterbelakangan. Kita tentu saja lebih menghargai anak-anak kita mampu 
menghapal surat-surat pendek Alquran ketimbang syair lagu-lagu yang tidak 
berasal dari nilai-nilai Islam. Tetapi, sistem dan metodologi menghapal tanpa 
melandaskan pada pengertian dan pemaknaan lafadz justru itulah sumber penyebab 
kebodohan dan kemiskinan umat. 

Dan itu, telah berlangsung berabad-abad. Anak-anak TK, SD, sekolah lanjutan, 
bahkan orang-orang tua dalam berbagai pengajian diminta menghapal lafadz 
dzikir, doa, ayat-ayat Alquran tanpa mengerti arti, dan sang pengajar tidak 
pernah mau tahu bahwa yang diajar memerlukan pengertian, memerlukan pemahaman 
dari apa yang dihapalkannya. Saya memang bangga, cucu saya Muhammad Rico, kelas 
satu SD Islam ternama dengan uang masuk dibayar orang tuanya Rp 28 juta, mampu 
menghapal QS Al Bayyinah (98) yang cukup panjang. Begitu juga Muhammad Hida', 
di kelas 1, mampu menghapal surat Alquran yang cukup panjang juga pula. Tapi, 
apakah dengan sistem hapalan yang demikian akan mampu mengubah kemampuan umat 
kita di masa depan untuk menjadi umat yang tidak lagi miskin, bodoh dan 
terkebelakang? Sangat diragukan. Yang benar, kita perlu memahami kembali 
nilai-nilai Islam secara benar dan kritis. 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke