Buat renungan temen-temen semua, ... Apakah kita berlaku spt ini thd teman kita, atau kelompok di luar kita??
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ SMOS SMOS "SMOS SMOS. Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah, itulah payahnya bangsa kita," begitu kata seorang teman di kantor suatu ketika dengan nada kecewa. Aku jadi teringat kata-katanya itu ketika kemaren sore mendengarkan kisah Salman sembari minum bir di sebuah pub di dekat stasiun kereta Victoria. Salman pemuda Pakistan yang jangkung, kurus, ganteng, cerdas dan menyenangkan itu kukenal dekat saat aku bertugas di unit bisnis Pakistan. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan S2 di University of London dengan beasiswa the British Chevening Award. Sembari kuliah kadang dia diminta bekerja paruh waktu di kantor pusat perusahaan kami di London karena memang dia cerdas, tekun dan berprestasi. Saat kutanya kapan terakhir pulang kampung dia tertawa dan berkata bahwa seharusnya saat itu dia sedang berada di Pakistan. Ternyata sebetulnya minggu lalu Salman diminta oleh bosnya di kantor London ini untuk bekerja di lokasi pengeboran di Pakistan selama beberapa minggu. Dua hari sebelum berangkat, rencana tiba-tiba dibatalkan. Ternyata rekan-rekan kerja di unit bisnis Pakistan bersepakat untuk menolak kedatangannya. Alasannya - Salman adalah sesama orang Pakistan dan juga pernah bekerja di unit bisnis Pakistan, maka kalau dia tiba-tiba datang lagi dari London dan bekerja di Pakistan dengan bayaran seperti orang asing, mereka tidak mau menerima. Menurut mereka layak bagi seorang kulit putih dibayar tinggi tapi untuk seorang Salman dibayar sebanyak itu, berarti tidak adil bagi mereka yang sesama orang Pakistan. Maka batallah ia berangkat. Karena aku cuma melongo kaget, dia tertawa. "Yeah, I was very disappointed, but somehow I wasn't surprised. I know my own people. Envy, jealousy, it's a normal thing." Maka aku jadi teringat istilah SMOS SMOS temanku tadi, yang ia nyatakan saat mendengar gerutuan banyak orang terhadap kenaikan pangkatnya. Jadi fenomena cemburu macam ini bukan cuma milik orang Pakistan saja. Di Indonesia juga sangat merajalela, paling tidak di perusahaan minyak, yang sudah dikenal punya karakteristik jurang yang besar antara gaji pegawai asing dan pegawai lokal. Ada banyak kejadian di kantor kami di Jakarta yang menunjukkan hal ini. Orang yang bolak-balik mendapat kesempatan training di luar negeri pasti digosipkan. Protes disampaikan ke bagian kepegawaian karena seseorang dipromosikan dua tingkat. Ada yang tiba-tiba dimusuhi karena ada gosip gaji orang itu naik banyak sekali. Orang lain digosipkan karena sebagai pegawai yang dikontrak karena keahlian khususnya dia menerima gaji harian yang tinggi sekali hampir seperti pegawai asing. Seolah kita tidak pernah rela teman kita lebih sukses dari kita. Padahal kadang kita tidak tahu apa yang menjadi alasan kesuksesan itu. Misalnya si pegawai kontrak dengan gaji harian memang keahliannya sangat khusus dan sangat dibutuhkan perusahaan, maka perusahaan rela saja membayar dia dengan besar. Lalu orang lain yang dipromosi dua tingkat memang job descriptionnya bertambah sehingga dia perlu promosi. Kadang kita membutakan diri terhadap usaha keras yang dilakukan orang dan ingin semuanya sama rata sejajar. Semua harus adil. Tapi adilkah? Apakah usaha keras individu tidak perlu dihargai? Padahal harusnya memang selayaknya begitu, perusahaan menghargai usaha keras individu. Karena toh kalau perusahaan tidak melakukan itu, si pegawai cemerlang bisa dengan mudah pindah ke perusahaan lain yang memberikan penghargaan yang lebih baik. Karena perusahaan swasta semacam tempat kami bekerja banyak punya saingan. Jadi tidak seperti menjadi pegawai negeri, yang menurut istilah teman lain 'pintar-globlok rajin-malas gaji tetap sama.' Bukan berarti lalu kita harus selalu bersaing dan menendang kanan-kiri untuk kepentingan sendiri. Aku juga anggota Serikat Pekerja di kantor dan setuju dengan banyak perjuangan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan; misalnya memperjuangkan diberikannya bonus, atau dinaikkannya tunjangan transport. Tapi ada batasnya dan penghargaan kepada usaha keras individu juga tetap harus ada. Apalagi untuk kami yang bekerja di perusahaan asing yang mempekerjakan banyak sekali pegawai asing untuk sibuk menggali keuntungan dari sumber daya alam Indonesia. Ada banyak keuntungan bila kita punya orang-orang yang maju cepat melesat menembus jajaran pegawai elit asing. Karena itu berarti kemampuan bangsa kita dihargai, dianggap layak untuk diberi penghargaan yang sejajar. Akhirnya yang beruntung bangsa kita juga. Uang yang dibayarkan kepada si pegawai cemerlang tinggal di Indonesia, tidak mengalir ke negara lain. Akhirnya juga perusahaan akan terpaksa melihat kemampuan para ahli lokal dan lebih banyak memanfaatkan kita daripada harus mengimpor pegawai mahal dari kampungnya. Kalau seorang Salman bisa dianggap punya keahlian yang sejajar dengan orang asing sehingga layak mendapat bayaran yang sama dengan mereka, mengapa teman-teman sebangsanya tidak bisa bangga? Seharusnya mereka bangga dan menghargai salman yang sudah membuka pintu, sehingga selanjutnya mungkin akan ada lagi tenaga-tenaga ahli Pakistan lain yang dihargai sama dengan tenaga ahli dari Eropa. Sama halnya dengan yang terjadi di unit bisnis di Indonesia. Kalau seorang pegawai Indonesia bolak-balik dikirim keluar negeri untuk training atau mengerjakan proyek di unit bisnis lain, harusnya rekan-rekannya di Indonesia bangga karena keberhasilan sesama rekan sebangsa. Lain kali mereka bisa menunjukkan bahwa mereka juga punya keahlian lebih dan bisa meminta kesempatan yang sama. Seharusnya kita semua beramai-ramai menunjukkan bahwa bangsa kita juga punya keahlian dan bermutu tinggi, sama seperti para pegawai atau konsultan asing. Bukannya malah saling tendang sana-sini menjegal kesuksesan orang lain. Entah mengapa kita dan bangsa Pakistan punya penyakit cemburu macam ini. Mungkin karena kita sama-sama bangsa Asia yang pernah dijajah bangsa Eropa. Jauh di lubuk hati di alam bawah sadar mungkin bangsa Indonesia dan Pakistan masih punya rasa minder dan rasa terjajah. Maka kita bisa saja melihat pegawai berkulit putih mendapat gaji tinggi tapi tidak rela melihat rekan sendiri sesama bangsa berkulit coklat mendapat gaji yang sama. Rasialis. Kadang kupikir memang kita sendiri yang salah kalau sampai sekarang kita belum semaju bangsa Eropa. Ini mirip dengan banyak kejadian di pintu imigrasi. Di Pakistan pasporku pasti diperiksa dengan seksama saat melewati pintu imigrasi. Sedang teman seperjalananku yang berkulit putih bisa masuk tanpa diperiksa. Apakah aku lebih punya tampang teroris dibanding dia? Memang kita bangsa Asia seringkali rasialis juga, memandang rendah sesama saudara. Ini penyakit yang berbahaya dan harus diberantas. Karena, kapan kita akan benar-benar bisa bebas dari penjajahan kalau kita sendiri masih selalu merasa dijajah? Karena kapan lagi kita bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri? Menggali sumber daya alam kita dengan keahlian kita dan menikmati hasilnya sendiri, sehingga tidak perlu sakit hati melihat sebegitu banyak uang hasil sumber daya alam Indonesia mengalir keluar untuk dinikmati orang asing? Salman, Salman, simpatiku untukmu. Semoga bangsa kita tidak selamanya begini. London, 21 Mei 2005 niel -- ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> What would our lives be like without music, dance, and theater? Donate or volunteer in the arts today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/