Antara Korban, Persoalan Kelas, dan Upaya Pelupaan
SAAT-saat menjelang tanggal 12 Mei selalu mencekam perasaan dan membuat Ny Tetty Herati tercenung. Ia tidak pernah bisa melupakan peristiwa yang menimpa putranya, Elang Mulya Lesmana, yang gugur dalam tragedi Trisakti, tanggal 12 Mei tahun 1998. Namun, kesedihan Ny Tetty tahun ini bertambah dengan berpulangnya sang suami pada 3 Januari 2003. MEDIA menulis macam-macam tentang suami saya. Katanya sakit ini lah, sakit itu lah. Padahal, Bapak tidak sakit. Ia meninggal karena kekecewaan yang dalam," ujar Ny Tetty. Kasus tewasnya Elang dan kawan-kawannya korban Tragedi Trisakti sampai saat ini masih belum bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, padahal menurut Ny Tety, kejadiannya jelas. Elang dan kawan-kawannya ditembak di dalam kampus. "Saya terus diwawancara dari tahun ke tahun, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti dalam penanganan Tragedi Trisakti. Tampaknya, pemerintah memang tidak punya niat untuk menuntaskan masalah ini," sambung ibu tiga anak-Elang adalah putra keduanya-dan nenek satu cucu ini, seraya menjelaskan tuntutan tim dari Universitas Trisakti untuk kasus Tragedi Trisakti adalah membawa pelaku ke Pengadilan HAM Ad hoc. "Kita masih belum tahu bagaimana sikap Kejaksaan. Tapi kalau Allah SWT berkehendak, pasti ada jalan. Saya sendiri akan terus berjuang, karena itu saya masuk Partai Indonesia Baru (PIB), pokoknya partai yang mau memperjuangkan kasus tewasnya anak saya," lanjut Ny Tetty. Meski sama-sama terus memperjuangkan keadilan, sikap keluarga Hafidin Royan agak berbeda dengan Ny Tety. "Kami berjuang melalui tim yang dibentuk universitas," ujar Husnun Amalia, kakak almarhum Hafidin Royan, mahasiswa Trisakti yang tewas bersama Elang. "Adik saya dan teman- temannya meninggal di dalam halaman kampus. Sebenarnya fakta itu saja sudah cukup untuk menuntut terjadinya pelanggaran HAM berat." Husnun sebagai wakil ayahnya di Jakarta akan terus berjuang agar Tragedi Trisakti tidak dilupakan, supaya kebenaran bisa disingkapkan dan keadilan bisa ditegakkan. Katanya, "Bukan untuk Hafidin saja, tetapi untuk semua korban Tragedi Trisakti." Ia mengingatkan agar peristiwa Trisakti menjadi momentum politik. Sambungnya, "Kalau tidak nanti akan terus terulang. Dulu di UI kan juga begitu. Tidak ada yang mengutak-atik, akhirnya peristiwa seperti itu terus terulang." Namun berbeda dengan Ny Tetty, Husnun sangat berhati-hati dengan kepentingan partai politik. "Kita tidak mau dijadikan komoditas partai politik. Mereka bisa janji macam-macam sebelum dapat kekuasaan. Kalau sudah dapat, nanti lain lagi. Jadi, jangan mudah teperdaya dengan janji-janji parpol. Makanya tim di Trisakti sangat mewaspadai hal ini." Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ny Karsiah, ibu dari Hendriawansie, yang pindah dari Kalimantan untuk menetap di Jakarta agar bisa terus memperjuangkan keadilan atas tewasnya anak semata wayangnya itu. "Saya tidak bisa melupakan anak saya. Tetapi, saya akan berjuang untuk semua korban tragedi Trisakti yang kasusnya sampai sekarang masih terkatung-katung," ujar Ny Karsiah. Namun, meski tidak secara eksplisit dikemukakan, keluarga dari para korban Tragedi Trisakti masih menganggap kasus yang menimpa anak-anak dan keluarga mereka berbeda dengan tragedi-tragedi lainnya karena terutama peristiwa itu terjadi di dalam kampus. Lalu bagaimana dengan salah satu korban Tragedi Semanggi I, Wawan, yang juga tewas di dalam kampus justru ketika sedang menjalankan tugas kemanusiaannya? "Harusnya memang dilihat kasus per kasus," ujar Husnun. Jadi tidak disamaratakan karena memang kasusnya berlainan. Akan tetapi, bagaimana juga dengan kasus Yunhap, salah satu korban peristiwa Semanggi II yang tewas di luar kampus, tetapi ia sebenarnya sedang diam tidak berada di dalam kerumunan pengunjuk rasa? Tidak ada jawaban jelas. Tetapi pernyataan mantan Presiden Habibie bahwa Tragedi Trisakti berbeda dengan tragedi-tragedi lainnya yang juga mengorbankan mahasiswa, rupanya masih dikukuhi oleh beberapa keluarga korban. Situasi ini sebenarnya sangat potensial untuk memecah belah korban. "Sebenarnya tidak ada maksud seperti itu," sergah Ny Tetty. Pihaknya justru merasa kecewa karena Laporan KPP HAM untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat pada ketiga kasus itu sampai sekarang masih terkatung-katung. KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, telah menyelesaikan tugasnya pada tanggal 31 Maret tahun 2002 dan menyerahkan laporan akhir dengan sejumlah rekomendasi yang mandek di Kejaksaan Agung. Dalam rekomendasi itu disebutkan antara lain nama Wiranto, Roesmanhadi, dan Dibyo Widodo untuk dimintai keterangannya. Sementara Mantan Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus Trisakti yang dipimpin Ketua Pansus DPR, Panda Nababan, pada tanggal 29 Maret 2001, menyatakan tidak bertanggung jawab secara operasional atas terjadinya kasus tersebut. RIBUAN korban yang berjatuhan mengiringi kejatuhan pemimpin Orde Baru Presiden Soeharto sangat kental diwarnai perbedaan kelas. Ada stigma yang diciptakan penguasa dan kemudian direproduksi media massa untuk digunakan oleh masyarakat, yang membuat keluarga korban yang satu berbeda dengan keluarga korban lainnya. Kesulitan hidup yang menjadi drama sehari-hari dari sebagian besar korban kerusuhan Mei, menjadi sedikit mencair begitu pembicaraan secara perlahan mengarah kepada kerusuhan tanggal 13-14 Mei. Tak satu pun dari para ibu itu berbicara tanpa air mata sehingga beberapa kata tertelan dalam sedu sedan. Yang terjadi memang bukan wawancara, tetapi hanya mendengarkan. Dalam genggaman tangan, mereka mengungkapkan perasaan yang terendap setelah peristiwa keji itu terlewati lima tahun dalam pusaran waktu. Luka itu seperti dikucuri cuka tak hanya karena peristiwa yang menurut catatan Tim Relawan Kemanusiaan itu menekan 1.217 korban jiwa yang sebagian besar adalah anak-anak dianggap tidak cukup berarti dibandingkan mahasiswa yang tewas dalam aksi reformasi; tetapi terutama adalah stigma penjarah yang harus ditanggung oleh korban dan keluarga korban lain dalam aksi perusakan dan pembakaran yang terjadi di Jakarta pada tanggal 12-14 Mei 1998. Situasi ini memperjelas asumsi bahwa tragedi Mei tak hanya bias ras, tetapi juga bias kelas karena siapa pun yang merencanakan kerusuhan itu dengan jeli menggunakan isu kesenjangan sosial sebagai alat untuk mengesahkan tindakan biadab terhadap warga kelas sosial tertentu dalam masyarakat yang paling rentan untuk dilabeli stigma penjarah. Akan tetapi, waktu adalah perubahan. Juga persepsi manusia. Juga kemampuan untuk meginterpretasikan realitasnya sendiri. "Anak saya bukan penjarah," ujar Ny. Imas (44), ibu dari Holid Yusmana (17) yang tewas terbakar di Kompleks Pertokoan Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur. Warga Kampung Bulak itu menyatakan, "Saya tidak akan tinggal diam. Saya akan menuntut keadilan sampai di mana pun." Ia melanjutkan, "Mayat anak saya tidak pernah diketemukan, setelah peristiwa naas itu. Saya sedih sekali. Tapi lebih sedih ketika ada tetangga bilang, 'Sukur anak lu modar. Siapa suruh njarah?'" Hatinya memang sangat sakit. Kehilangan Holid yang disusul dengan datangnya Pak RT ke rumahnya untuk mencek surat-surat dari peralatan elektronik yang dimiliki keluarga itu tidak akan pernah ia lupakan. "Pak RT bilang, ada yang mau datang, mau ambil barang-barang yang siangnya diambil dari kompleks pertokoan itu. Barang apa? Di rumah ini kami cuma punya satu televisi 14 inch yang sudah terbakar karena kesamber geledek dan belum lunas dicicil. Saya siapkan bukti cicilan supaya dilihat, meskipun sebenarnya saya sangat tersinggung. Boro-boro ada yang dibawa, Holid saja tidak pernah saya temui setelah siang itu dia pamit pergi," sambung Ny Imas dengan wajah geram. Ny Maria Sanu juga belum bisa melupakan Stefanus Sanu, anaknya yang ketujuh dari 10 bersaudara, yang tidak pernah ia temukan kembali, meski hanya secuil pakaiannya. Kesedihannya seakan sempurna ketika sang suami menyusul anaknya beberapa waktu lalu. Ny Mina boru Manik juga kehilangan anaknya, Eddy Sidabutar, yang saat itu masih punya bayi berumur lima bulan. Yang juga sangat pahit adalah kisah Pak Sagino Malkewi. Pensiunan supir PPD ini kehilangan anaknya Valianto yang baru tamat STM. "Mayatnya gosong, tapi ketemu," katanya. Pak Kewi, begitu ia biasa dipanggil, tak bisa menahan diri setelah melihat kondisi anaknya. Ia pun pingsan. "Waktu saya pingsan itu, menurut seorang tetangga, ada tokoh pemuda di kampung kami yang mengangkat mayat Valianto sambil mengatakan, 'Inilah anak yang tidak nurut sama orangtuanya' . Saya sih cuma bisa diam. Saya tidak marah, apalagi dendam," sambung Pak Kewi. Seperti Bu Imas, malam harinya Pak Kewi didatangi petugas yang mengecek peralatan elektronik yang dimiliki keluarga itu. Sambungnya, "Disangkanya anak saya membawa barang-barang itu ke rumah. Kami miskin, tapi bukan penjarah." Penjarahkah mereka yang tewas terkurung oleh api di pusat-pusat perbelanjaan? "Saya melihat orang-orang berbadan tegap berambut cepak yang menyuruh anak-anak masuk untuk mengambil apa saja yang ada di dalam toko. Yang tidak mau masuk dipaksa masuk. Saya juga melihat orang membawa jeriken nggak tahu isinya, tapi baru tahu setelah toko itu dilempari api dan dibakar dari luar," ujar Bu Ruminah dalam beberapa kali wawancara. Bu Ruminah kehilangan anaknya, Igun, dalam peristiwa pembakaran pusat perbelanjaan di Klender itu. Ia menyaksikan bagaimana proses kompleks itu berubah menjadi lautan api. Saat itu, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya bolak-balik dari toko Yogya ke rumah sampai mungkin 10 kali. "Saya terus berlari, padahal jalanan sudah sepi sekali. Di lapangan saya melihat banyak laki-laki. Saya dengar ada yang bilang, 'eh… ada cewek… kita kerjain aja…' Yang lain bilang, 'Jangan … itu ibu-ibu,' Saya mulai takut," kisah Bu Ruminah sewaktu ditemui beberapa waktu lalu. Igun akhirnya ditemukan dalam keadaan terpanggang. Mereka sadar, keadilan tak mudah didapatkan meskipun rezim lama sudah tumbang. Sementara luka, amarah, dan rasa kecewa, itu secara perlahan juga membukakan kesadaran baru mengenai keadilan bahwa keadilan tidak hanya menjadi milik sekelompok orang yang menguasai sumber daya, berupa uang dan kekuasaan; bahwa mereka punya hak untuk mendefinisikan realitasnya sendiri dan merebut klaim kebenaran dari mereka yang berkuasa. NAMUN menyatukan keluarga korban kerusuhan Mei bukan hal yang mudah. Penyelesaian politik tidak secepat yang dibayangkan, sementara persoalan ekonomi terus mencekik. "Saya nggak bisa ikut kumpulan karena kalau pergi sehari saja anak saya nggak bisa sekolah. Saya harus mulai jualan jam lima pagi, supaya jam enam sudah ada uang Rp 10.000 untuk bekal anak-anak sekolah," ujar Ny Sanusi, Ibu dari Nur, yang tewas di kompleks Slipi Plaza. "Kalau tidak ada kegiatan seperti koperasi, sulit mengajak mereka berkumpul," ujar Ny Yati Ruyati Darwin, yang kini koordinator koperasi Paguyuban Keluarga Korban. Ny Darwin juga kehilangan anaknya, Eten Karyana, di kompleks pertokoan Yogya Plaza di Klender itu. Ketidakpastian, keterkatungan kasus, dan pertarungan politik yang kian dahsyat untuk membuat kerusuhan Mei tenggelam, telah menyebabkan banyak korban skeptis dan memilih untuk diam-diam melanjutkan hidup dengan energi yang tersisa. Mereka seperti tidak paham bahwa diam adalah teman bersekongkol yang paling baik bagi upaya-upaya pelupaan. Kalau upaya untuk mengingat ini akhirnya gagal, maka bangsa ini akan menghadapi amnesia sejarah dan sepanjang itu pula, meminjam potongan syair Bertold Brecht, nyanyian tentang zaman gelap akan terus berkumandang. Persoalannya kemudian adalah seberapa jauh boleh mengingat dan seberapa jauh boleh melupakan karena ingatan yang terlalu banyak pada masa lalu akan memenjarakan, sementara pelupaan berpotensi membuat peristiwa buruk itu terulang kembali. Penulis naskah drama Death and the Maiden, Ariel Dorfman menulis, "Bagaimana kami bisa menyimpan masa lalu tanpa harus terpenjara di dalamnya; bagaimana kami bisa melupakan tanpa harus menanggung risiko terjadinya pengulangan di masa depan." (mh) Kompas Senin, 12 Mei 2003 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/12/swara/306857.htm -- Tujuh Tahun Tragedi Mei Desakan Soal Pahlawan Nasional Meningkat Wawancara Ranesi di Hilversum, 12 Mei 2005 Rektor universitas Trisakti Thoby Mutis mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono supaya menetapkan empat orang mahasiswa Trisakti yang gugur pada 12 Mei 1998 sebagai pahlawan nasional. Apa latar belakang usul pahlawan nasional ini? Berikut penjelasan Chairuman Armia dekan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti saat terjadinya perisitiwa 12 Mei tersebut, sekaligus merangkap Pembantu Rektor III, bidang kemahasiswaan. Masalah HAM yang melibatkan aparat Chairuman Armia [ChA]: "Saya sangat setuju, saya mendukung, jadi semua mahasiswa yang menjadi korban yang dimulai pada 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti dan kemudian berlanjut ke Universitas Atmajaya dan tragedi Semanggi I Semanggi II, semuanya mereka dijadikan pahlawan nasional oleh pemerintah. Saya sangat mendukung ". Radio Nederland [RN]: "Masalah Trisakti ini belum tuntas di pengadilan, dan menurut jaksa agung masalahnya ada di DPR, karena DPR waktu itu mengatakan tidak ada pelanggaran HAM. Bagaimana komentar pak Armia ?" ChA: "Ya itu sekarang DPR terakhir menanggap tidak ada pelanggaran hak azasi manusia yang berat, kemudian dideb. Karena pergantian DPR masalah ini yah, sudah masuk lagi ". RN: "Tapi jaksa agung dalam hal ini menyalahkan DPR. Apakah mungkin jaksa agung sendiri yang takut, pak?" ChA: "Yah, jaksa agung ini 'kan baru. Jaksa agungnya baru sekarang dan DPRnya baru. Dan kemudian masalah ini setelah pemerintahan baru ganti, masalah ini belum dibuka kembali. Alasannya saya ndak bisa tahu secara pasti ya, karena, itu menyangkut masalah politik ya. Karena itu mereka-mereka yang korban itu semuanya adalah karena tembakan dari alat-alat negara yang bertugas pada saat tersebut ". "Saya tidak tahu pasti, tapi saya kira masalah-masalah demikian, hampir semua masalah-masalah di Indonesia yang menyangkut hak-hak azasi manusia itu, dan kalau pelanggaran dilakukan oleh militer, nah, militer ini juga terdiri dari polisi dan ABRI ya. Jadi ndak jelas siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab. Secara resmi alat-alat negara tersebut menolak tuduhan terhadap penembakan dengan segaja begitu ". Di bawah SBY Tragedi Mei bisa tuntas RN: "Ini masa depannya bagaimana? Apakah masih bisa diusut sampai tuntas?" ChA: "Kalau ini dalam pemerintahan baru dibawah SBY di mana keterbukaan itu transparansinya sangat tinggi, kita lihat saja masalah korupsi sekarang dihajar habis-habisan, ini kalau masalah ini dibuka kembali, saya yakin di tangan pemerintahan SBY ini, masalah Trisakti ini bisa diselesaikan secara hukum ". RN: "Jadi bapak setuju dengan pendapat kalau masalah Trisakti ini belum diselesaikan secara hukum maka demokrasi di Indonesia belum tuntas ?" ChA: "Ya benar. Itu satu indikator bahwa masalah-masalah yang terpendam masa kini agar itu bisa diluruskan. Saya punya keyakinan ke pemerintahan SBY, kalau melihat tindakan pemerintahan sekarang yang secara drastis melakukan tindakan-tindakan terhadap, terutama korupsi ya, yang mulai disapu bersih. Kalau tujuh tahun lalu ini masalah Trisakti itu ditimbulkan kembali, dibuka kembali, baik dari militer sampai ke pemerintah, saya yakin ini dalam masa pemerintahan SBY bisa tuntas barangkali ". Demikian Chairuman Armia, yang pada tahun 1998 menjabat Pembantu Rektor III, bidang kemahasiswaan Universitas Trisakti. http://www2.rnw.nl/rnw/id/topikhangat/arsipaktua/indonesia/tujuh_tahun_tragedimei050512?view=Standard __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> What would our lives be like without music, dance, and theater? Donate or volunteer in the arts today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/