Berikut artikel yang dimuat di Kompas hari ini. Semoga bermanfaat. http://kompas.com/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1769074.htm MENGAKUI HAK PENANGKAPAN IKAN TRADISIONAL Oleh: ARIF SATRIA Dosen IPB; Mahasiswa Program Doktor Bidang Marine Policy di Kagoshima University-Jepang KASUS nelayan kapten KM Gunung Mas yang meninggal saat disekap dan kasus pembakaran nelayan kita oleh aparat Australia (Kompas, 13 Mei 2005) serta aneka kasus penyekapan lain sebelumnya mengingatkan kita soal konsep hak penangkapan ikan tradisional (HPT) atau traditional fishing right. Karena, sebenarnya sudah ada kesepakatan antara Australia dan Indonesia berkaitan dengan HPT ini melalui MoU Box 1974. Yakni bahwa nelayan tradisional masih diperbolehkan menangkap berbagai jenis moluska di lima pulau wilayah Australia, yaitu Pulau Ashmore, Pulau Cartier, Pulau Scott, Pulau Seringapatam, dan Pulau Browse yang jarak teredekatnya dengan NTT sekitar 120 km (DKP, 2005). Artinya, sebenarnya dulu Australia pernah mengakui HPT nelayan kita. Namun demikian, HPT tentu tidak sembarang dimiliki nelayan tradisional, karena umumnya HPT merujuk pada pengertian hak yang diwariskan secara turun-temurun. Tulisan ini tidak secara khusus mengupas soal HPT dalam kaitan dengan kasus di atas, melainkan mencoba mengingatkan kembali soal pentingnya pengakuan HPT oleh negara. Mengingat saat ini pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pemberdayaan nelayan. Karena itu perlu dikaji lebih jauh lagi: sejauhmana hukum dan konvensi internasional mengakui HPT ? Bagaimana pengalaman negara lain dalam mengakui HPT, dan bagaimana posisi kita dalam soal HPT ini ? Perspektif Internasional Hak penangkapan ikan tradisional di wilayah negara lain dan internasional dimungkinkan mengingat dalam UNCLOS 1982 ada pasal 51 yang isinya tentang penghormatan terhadap eksistensi HPT. Pasal ini memberi kekuatan hukum terhadap perlindungan HPT tersebut. Namun demikian, mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang memiliki HPT tetap saja mesti diatur secara bilateral dengan negara lain. Begitu pula Agenda 21 pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada perlunya berkonsultasi dengan nelayan lokal (indigenous people) dan melindungi akses mereka terhadap sumberdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan local menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dan, seperti dirinci Tsamenyi dkk (2000) setidaknya ada 17 peraturan internasional yang mendukung pengakuan HPT tersebut. Ketika saya menghadiri World Indigenous Fisheries Forum - April 2004 lalu di Kanada, saya baru sadar bahwa meski secara internasional HPT diakui, praktek di berbagai negara seringkali berkebalikan. Sehingga nelayan-nelayan aborigin yang dulunya punya HPT pun perlu bertemu dalam forum tersebut untuk memikirkan bagaimana memperkuat posisi mereka di negara masing-masing. Di Australia, misalnya, nelayan aborigin menjadi marjinal karena pengelolaan sumberdaya perikanannya menggunakan prinsip pasar (market based) dalam bentuk sistem quota, yakni Individual Transferable Catch Quota (ITCQ). Dengan mekanisme ITCQ ini, nelayan tradisional aborigin kurang dianggap posisinya karena tentu tidak bisa memenuhi batas minimum quota yang ditetapkan pemerintah. Artinya, HPT yang mereka miliki secara turun temurun tidak diakui karena tidak masuk dalam logika pasar. Tidak adanya pengakuan ini juga tercermin dari produk hukum perikanan Australia, seperti Fisheries Management Act 1991, yang hanya mengenal statutory fishing rights, fishing permits, scientific permits, dan foreign fishing boats licenses, dan tidak muncul istilah traditional atau aboriginal fishing right atau semacamnya. Memang antar negara bagian memiliki aturan berbeda, namun secara umum seperti dianalisis Tsamenyi dkk (2000) bahwa kerangka hukum mereka kurang pro terhadap aborigin. Begitu pula Fisheries Management Act 1994 di New South Wales, sama sekali tidak mengecualikan nelayan Aborigin. Pendekatan pasar yang dianut dalam pengelolaan perikanan mereka telah memakan korban termarjinalkannya nelayan aborigin. Sementara itu, di Selandia Baru terdapat suku Maori yang merupakan penduduk asli. Dalam dunia perikanan yang pola pengelolaannya mirip Australia itu, suku Maori juga dalam posisi terjepit karena dianggap tidak eligible untuk mendapatkan quota, dan dalam Undang-Undang Perikanannya tidak disebutkan adanya HPT untuk Maori. Namun demikian atas perjuangan nelayan Maori yang berdasar pada Waitangi Treaty 1841, akhirnya ada kesepakatan baru melalui Maori Fishery Act 1989, yang isinya antara lain memberikan quota sebanyak 10% kepada nelayan Maori dari Total Allowable Catch (TAC). Bahkan terakhir muncul lagi Treaty of Waitangi Settlement Act 1992 yang menegaskan perlindungan HPT. Ada pun di Kanada, Aboriginal fishing right milik nelayan First Nation, sebutan untuk warga asli Kanada, diakui oleh Konstitusi Kanada. Namun tetap saja posisi mereka marjinal. Namun kini sudah makin membaik setelah nelayan First Nation mendapat tempat di British Columbia Aboriginal Fisheries Commission (BCAFC). Dan para ilmuwan mulai mendukung eksistensi BCAFC tersebut seiring dengan kebutuhan adanya kolaborasi antara sains dengan pengetahuan local (traditional indigenous knowledge) yang dimiliki nelayan First Nation. Terakhir, adalah Jepang. HPT diakui dan diberikan kepada nelayan lokal sejak era Edo. Namun demikian, di era Meiji, HPT tersebut pernah dicabut, namun berkat perjuangan nelayan akhirnya diakui lagi dan berlanjut hingga sekarang karena masuk dalam Undang-Undang Perikanan-nya. Nah, di Jepang tidak ada istilah tradisional・yang ada hanyalah fishery right・(gyogyo kyoodo ken) yang berlaku kepada seluruh nelayan yang beroperasi di wilayah pesisir dengan batas teritori yang jelas, baik untuk budidaya maupun penangkapan. Ini merupakan bentuk perlindungan terhadap nelayan kecilnya. Dan, koperasi perikanan adalah yang bertugas mengurus pemberian dan pencabutan fishery right ini. Bagaimana dengan Indonesia ? Perspektif Indonesia Kasus Australia, Selandia Baru, dan Kanada yang mengenal adanya warga aborigin memang agak beda dengan kita. Konflik negara dan nelayan melibatkan sentiment ras, sementara di kita tidak. Jepang barangkali yang lebih mendekati kita. Namun semuanya ternyata butuh perjuangan. Upaya memperjuangkan hak tersebut adalah upaya untuk memperjuangkan keadilan perikanan (fisheries justice). Artinya, bahwa nelayan yang miskin juga berhak menikmati sumberdaya perikanan, yang makin lama makin diperebutkan oleh para pelaku dengan kekuatan penguasaan kapital yang timpang. Tanpa HPT, niscaya nelayan tradisional akan makin terpinggir. Lihat misalnya pada lokasi-lokasi budidaya mutiara yang seringkali konflik dengan nelayan tradisional yang HPT-nya tak diakui. Begitu pula pada kasus reklamasi, wisata bahari, dan industri padat modal lainnya. Di Indonesia sebenarnya pada jaman Belanda, HPT diakui. Lihat, misalnya, di Staatblad 1916 No 157 tentang siput mutiara, tripang, dan terumbu karang pada Pasal 2 diakui eksistensi HPT nelayan local. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di dalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai, kecuali bagi nelayan yang telah melakukannya secara turun temurun. Nah, pasca kemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun sayangnya, pasal ini kurang dieloborasi dan diimplementasikan secara memadai, meski pada pasal sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi HPT. Tapi, pada era ini ada Kepmentan No 607/1976 tentang jalur-jalur penagkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang sentralistik. Nah, di era reformasi ini muncul UU 22/1999 yang lalu disempurnakan menjadi UU 32/2004 serta UU Perikanan No 31/2004. Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 gross ton atau di bawah 15 PK. Karena itu, saya melihat pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil, namun pasal ini belum memperhatikan fakta sosiologis bahwa nelayan kecil dimanapun memiliki de facto-property right (termasuk exclusion right), sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan・melaut ke seluruh wilayah, tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan andon biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right dengan berbagai persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis. Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya secara komprehensif. Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam RPP pemberdayaan nelayan nanti perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap HPT dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam Perda. HPT ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal. Pengakuan HPT ini bisa didesain dengan model TURF (Territorial Use Right in Fisheries) yang sebenarnya saat ini secara de facto ada, seperti halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui secara de-jure sebagaimana di Jepang. Kedua, pengakuan eksistensi HPT juga mesti diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas, sehingga tidak saja -meminjam istilah Ostrom (1990)-- hak akses dan hak mengambil sumberdaya (access and withdrawal rights) yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan (management right) dan hak mengeluarkan (exclusion right). Apa artinya diberi HPT tapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi kuat karena otoritasnya sebagai pengelola sumberdaya laut diakui. Jadi makna HPT mesti diperluas dari sekedar hak menangkap ikan. Ketiga, bagaimana pun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal untuk mengelola sumberdaya mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk di dalamnya dalam membangun kesepakatan antar komunitas/organisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumberdaya bersama maupun resolusi konflik. Dan, disinilah pemberdayaan politik nelayan berangkat. Bagi nelayan, HPT merupakan hak dasar, dan mestinya dalam pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu (necessary condition). Jadi, pengakuan HPT merupakan salah satu dimensi pemberdayaan nelayan, yang selama ini sering dikonotasikan hanya dengan bantuan modal usaha. Dimensi baru pemberdayaan ini perlu memperoleh kekuatan hukum. Jangan sampai dunia internasional sudah begitu mengakui HPT, sementara kita yang merupakan basis nelayan tradisional justru ragu untuk memberikan HPT. Ironis, bukan ? (versi asli)
--------------------------------- Do You Yahoo!? Yahoo! Small Business - Try our new Resources site! [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Ever feel sad or cry for no reason at all? Depression. Narrated by Kate Hudson. http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/