Kalau yang ini tulisan gagal muat, hiks... Susah juga menembus Khazanah 
"Pikiran Rakyat". Namun selamat buat Inal yang cerpennya barusan dimuat.

Salam,

Rohyati Sofjan

Esai Sastra
Semacam Sampel dari “Bunga yang Berserak”Perempuan dan Cara Baca SemestaOleh 
Rohyati Sofjan 

 


MENULIS sastra adalah politik (R. Valentina).

Ehm, boleh juga makalah sambutan yang ditulis R. Valentina dalam pandangannya 
sebagai seorang feminis. Benar-benar herois.

Bagi kaum feminis, politik memang sebuah domain yang tidak dikotomis dengan 
domain “tidak politik”. Salah satu prinsip feminisme adalah “personal is 
political”. Dalam phrase ini terkandung makna yang sangat luas, di antaranya 
misalnya bagaimana pengalaman-pengalaman dan suara perempuan hadir dalam 
masyarakat sebagai sebuah upaya politik mengubah relasi yang tidak adil yang 
menimpa kaum perempuan. Di sinilah kita diyakinkan bahwa pengalaman setiap 
perempuan memiliki kekhasannya sendiri, personalitasnya sendiri. Pengalaman 
menstruasi, memiliki payudara, vagina, bagi setiap perempun, adalah 
pengalamannya yang sangat personal. Siapakah yang bisa memahaminya, selain dia 
sendiri? 

Maka, ketika membaca antologi Bunga yang Berserak, pernyataan Valentina seolah 
mewakili apa yang berusaha dituangkan oleh sepuluh perempuan penulis yang 
merangkum personalitas mereka dengan kekhasannya masing-masing.

Dari Nenden Lilis A. yang telah mencapai fase matang sebagai perempuan penulis 
yang sekian lama malang melintang, sampai yang termuda Ratna Ayu Budhiarti yang 
berusaha mencapai fase seperti yang Nenden capai.

Eriyanti Nurmala Dewi, dengan bahasanya yang lugas dan menghentak dalam 
“Simponi Pentatonik”, seolah mendedahkan perasaannya sebagai perempuan yang 
dihadapkan pada situasi bercabang.

“Kita harus perjuangkan hak kita sebagai wanita!/tidakkah kau lihat betapa 
banyaknya penindasan/di kedai-kedai di hotel-hotel di kantor di pasar/di 
pelabuhan di rumah sakit di pabrik-pabrik di sekolah/bahkan di rumah kita 
sendiri/wanita wanita tergusur kekuasaan terkebiri konsep patriarki/kalau kita 
tidak terjaga tidak akan ada yang menjaga/mainstream ini harus kita perangi!”//.

Namun bagaimanapun, toh nurani bawah sadarnya sebagai perempuan tetap 
mempertanyakan ingar-bingar slogan macam itu. ”tapi di manakah rahimku?/di 
puncak bicaraku aku bisu/kecemasan menelikungku, di manakah tangis itu/di 
manakah pilu itu?/aku ingin mengecapnya lagi/hitam putih bukan duniaku/jiwa tak 
cukup mewadahi daya, ia juga butuh rasa/o… aku rindu rahimku sendiri”//.

Perempuan senantiasa mendua, di satu sisi ia ingin berontak pada belenggu yang 
mengekangnya dalam dominasi sistem patriarki, namun di sisi lain ia gamang pada 
posisinya sebagai perempuan. Kenyataan itulah yang membuat Eriyanti merenungkan 
kelindan perasaan, pemikiran dan aspirasinya sebagai perempuan.

Sedang Heni Hendrayani dengan puisinya yang liris dan melankolis (baca: lembut 
dan feminin), membahasakan personanya sebagai perempuan (dan juga ibu) yang 
dicengkeram kesepian dalam “Sajak Hujan”. Hujan turun lagi malam ini/Anak-anak 
lelap sudah di ranjangnya/Cahaya lilin di ruang tamu berkedap-kedip/Sedang kau 
yang ditunggu belum datang juga// Malam beranjak tua/Dan hujan turun lagi 
dengan suara/Yang menakutkan di atas genting, di batang/Pohonan, dan kau entah 
di mana// Di balik pintu aku menunggu//. 

Terasa ada pengaruh gaya pengucapan dari suaminya yang juga penyair, Soni Farid 
Maulana. Namun meskipun kerangka lumayan “mirip”, bisa jadi apa yang dirasakan 
Heni berbeda dari Soni; ia tetap menyuarakan sisi terdalamnya sebagai 
perempuan, dengan segenap kelembutan. Saya tidak tahu apakah itu merupakan 
style Heni dari sononya, mengingat ia generasi terdahulu. Namun saya 
berandai-andai Heni bisa mengembangkan daya ucapnya menjelajahi semesta bahasa 
agar ia lebih memiliki varian imajinasi puitis yang mandiri dan berwarna-warni.

Dan varian macam itulah yang dicapai Khaterina dengan “Gelembung Sabun”. Masih 
sempatkah anak-anak itu bermain/gelembung sabun/di tengah berondongan 
peluru/yang lewat berdesingan di atas kepala mereka?/Sementara ibu mereka 
membuka kancing-/kancing bajunya,/melewatkan malam di tangsi-tangsi/demi 
sepotong roti./Lalu ke mana ayah mereka?/Ah, para lelaki itu/kalaupun dikatakan 
beruntung,/pulang/lantas mendapati dirinya sebuah sangkar kosong/ditinggalkan 
seluruh penghuninya.//. Menawarkan satir yang menyayat. Menyuarakan degup 
pemberontakan atas ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan dan anak-anak, 
yang termarjinalkan dalam “peperangan”. Dan Khatherina tak terlalu peduli pada 
bingkai puitis bagi puisinya. Baginya yang terpenting adalah inti dari apa yang 
hendak ia sampaikan.

Dan inti macam itulah diolah Nenden Lilis A. dengan pilihan diksi yang matang 
dan mengena dalam “Pengintai”. Ketika perempuan hanya bisa menyaksikan tanpa 
terlibat dalam atribut kehidupan lelaki, namun “sesuatu” membuatnya terpaksa 
membaur dalam atribut macam itu. Kau telah sampai di ujung/aku tak 
sampai-sampai/karena berkali-kali kembali ke rumah/mengintai dari balik 
kaca/taplak meja kusut dan separuh kopi/yang telah membusuk// aku masih ingin 
meminum kopi itu/sambil membuka-buka kenangan kuning/mencari mata/yang tertuju 
padaku// namun, si ringkih yang tergopoh dari pintu/dengan gumaman kacau dan 
hujan anyir dari mulutnya/kerap mengusirku, menyuruh menyusulmu ke ujung//. 

Bahasa bagi Nenden, tetaplah perlu diolah sedemikian rupa agar nilai yang ingin 
ia sampaikan mengena namun tak kehilangan plastisitas daya dan imajinya. Andil 
penyair Beni R. Budiman (alm), tampaknya tak bisa diabaikan bagi perjalanan 
kepenyairan Nenden. Saat duduk di sampingnya di acara “Malam Sastra, Bangkit 
dan Bergerak”, 1 Juni 2003, saya tanya apakah ia tak mengira akan berada di 
sini (dunia menulis). Dan takdir tampaknya selalu punya rahasia tersendiri. 
Semoga makin banyak Nenden-Nenden lain yang bermunculan dalam khasanah sastra, 
agar minoritas perempuan penulis bisa diminimalkan; kalaupun tetap minoritas, 
semoga gaungnya tak hilang dengan karya yang dihasilkan secara cerdas dan 
bernas.

Nina Minareli yang karyanya saya amati sejak kami diadu bareng Maftuhah Jakfar 
di Gelanggang Penyair “PR”, 1 Agustus 1999; terasa matang mengolah imaji dan 
metafora sehingga bahasanya terasa “berat”. Dan Nina beruntung memiliki guru 
secara langsung seperti Acep Zamzam Noor. Jika setiap orang bebas memersepsikan 
makna sendiri, bagi Nina “Sendiri” adalah: Seperti merencanakan abad pada 
telapak tangan/Malam-malam dan penjara-penjara semuanya tersusun/Dalam peta 
kantukku, bulan pun berlabuh di atas kota/Di atas tungku, di atas kuburku//.

Sajak pendek yang pekat. Sepekat itulah Nina mengolah bahasa dan rasa dengan 
komposisi yang cukup apik. Kesegaran bahasa dan imaji tentunya tak melulu 
mengandalkan bakat semata tetapi harus terus diasah dengan terus menulis, 
mengasah rasa, mengolah pikiran, dan jangan lupa ruang kontemplatif. Sebab 
puisi membutuhkan kontemplasi bagi kita pembaca dan penulisnya. Tanpa itu, 
percuma saja. Cuma sederetan kalimat tanpa ruh.

Dan ruh, bagaimana ruh dalam sajak-sajak Nuning Damayanti? Biasa saja. Namun 
sebagai perupa, Nuning berusaha agar deskripsi dalam puisinya tak berakhir 
biasa. Ya, sebagai perupa, tampaknya ia cenderung membuat deskripsi dari 
peristiwa, seperti dalam “Mimpi Pulang”. Musim gugur akan berakhir/Burung putih 
mulai gelisah/Bersahutan/Mungkin saling berpesan/Sebentar lagi musim gugur akan 
bergegas pergi/Dan hari-hari dingin akan datang// …Aku ingin 
pulang!/Samar-samar ada gunung Tangkuban Parahu di sana/Sayup-sayup kecapi 
suling mendayu tentang rindu/Kilau matahari membias di mataku/Aku bermimpi, 
mimpi pulang//.

Menurut Soni Farid Maulana dalam Semacam Kata Penutup (hlm. 111), “Setiap 
pilihan kata yang digunakannya dengan gaya pengucapan naratif itu, tampak 
biasa-biasa saja. Namun yang dikejar Nuning dalam konteks yang demikian adalah; 
apakah dirinya mampu atau tidak menyajikan kembali suasana yang hadir dalam 
dirinya ketika itu. Puisi pada sisi yang demikian boleh jadi berupa cuplikan 
dari sebuah peristiwa yang dibekukan.”

Barangkali Nuning bisa berusaha lebih keras untuk mengembangkan deskripsi 
dengan rasa agar lebih mengalir dan menyentuh kalbu pembaca secara langsung, 
atau menohok mereka seketika juga. Seperti apa yang dilakukan Ratna Ayu 
Budhiarti dengan “Surat-surat Jarak” yang spontan namun hangat dan menggoda.

Halo, mudah-mudahan kau tak terlalu/sibuk untuk membaca suratku!/prakiraan 
cuaca di televisi meleset/sekali (aku curiga jangan-jangan/peramal cuaca itu 
sibuk ngerumpi/soal odol dan sikat gigi)/kemarin ayah dan ibuku 
menanyakan/cincin yang kugadai, bingung…/aku mesti jawab apa?/ah ya, sejak 
kapan kau belajar/mengukur jarak tanaman di ladangku/sampai-sampai obat anti 
hama/yang kau kirim serba pas-pasan//.

Dengan usianya yang masih belia, Ratna tampak membiarkan humor mengalir dalam 
puisinya sehingga jika penyair lain rata-rata serius, Ratna mencoba menawarkan 
letupan bagi “keseriusan” yang dibawakan KSDS. Paling tidak, saya bisa tahu di 
mana letak “pelangi” itu.

Baiklah, dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Ratna memiliki potensi untuk 
menemu jati diri bagi puisinya. Apakah akan jalan di tempat atau terus, terus, 
terus berproses tanpa henti selama Tuhan masih memberi napas untuk hidup di 
muka bumi. Be fighter, Sister!

Usia muda-usia tua. Usia. Keduanya sama-sama membuat saya tercenung. Ya, apa 
arti usia. Perjalanan. Ke mana? Ke suatu tempat. Apa saja. Atau bahkan terpaku 
di depan “Pintu Mati”. Seperti yang Shinta Kusumawati paparkan di bawah ini: 
Lalu arah mana lagi menujumu?/Setelah begitu banyak pintu ditutup/paksa/Hingga 
kita tidak punya pilihan selain/tertegun di balik pintu mati//.

Ahoi, kaum berpikir, lelaki dan perempuan; tidakkah kita menyadari bagaimana 
seandainya posisi kita tak berdampingan atau berhadapan secara lepas dan bebas 
lagi? Bagaimana jika pintu mati telah memisahkan jiwa dan raga kaum perempuan 
dengan kaum lelaki, karena suatu sebab atau suatu hal yang bernuansakan 
patriarkal?

Mungkin daya dan gaya ucap Shinta biasa saja. Tak sematang Nenden, tak 
sekaliber Oka Rusmini; namun inti dari puisi yang Shinta sampaikan adalah 
bagian dari suara perempuan yang personal namun bisa mewakili secara komunal.

Apa jadinya dunia ini jika tak ada perempuan. Namun apa pula jadinya bentuk 
kehidupan ini jika tak ada lelaki. Lelaki dan perempuan harus ada. Mengapa? 
Karena itu telah ditentukan Tuhan. Namun mengapa pula demikian? Demi 
keseimbangan. Ah, ini hanyalah impresi spontan J.

Namun bagi Tetet Cahyati, dalam “Cahaya Jiwa” ia punya impresi lain: Kuingin 
kau tersenyum/Menggapai kedalaman samudra kalbuku/Jangan kau pandang aku/Dengan 
hanya/Separuh jiwa// Sentuhlah tanganku/Tanpa kau curiga;/”Aku adalah 
seseorang/Yang bukan dirimu!//.

Tentunya tanda seru (!) itu bukan semacam kenyinyiran dari pihak yang sering 
merasa termarjinalkan, melainkan semacam gugatan halus namun pedas untuk 
menyentil kaum perempuan agar mampu berpikir secara otonom. Dan kaum lelaki 
menyadari otonomi semacam itu adalah sunah, agar tak memosisikan perempuan 
dalam barisan belakang semata dengan alasan kodrat. Karena kodrat tidak bisa 
digeneralisasikan dalam perspektif yang sempit, baik dalam pandangan lelaki 
maupun perempuan.

Chye Retty Isnendes, dalam cerpen “Istriku”, mendeskripsikan perempuan dalam 
pandangan lelaki secara simpatik. Adakah itu semacam gugatan dari Chye agar 
bisa menilai perempuan dalam kacamata yang adil? Namun Chye pun mencoba adil 
dengan menelanjangi perempuan: Tatapanku kuarahkan ke luar rumah. Kulihat 
ibu-ibu tetangga bergerombol di sudut rumah Ceu Anih. Pasti deh sedang 
ngerumpi. Apalagi kulihat ada yang sedang mencari kutu. Ih. Mereka tertawa 
bersama-sama. Terbahak-bahak. Lalu ngobrol lagi. Lalu tertawa lagi. Sepanjang 
hari dan setiap sore selalu begitu. Untung istriku makan bangku sekolahan. 
Kalau tidak, kaluman aku dibuatnya. Tapi tampaknya mereka tidak pernah kaluman 
terhadap apa yang diperbuatnya. Kasihan memang. Ironis untuk sebuah kehidupan 
yang digembar-gemborkan masyarakat intelektual tentang kehidupan mondial, go 
international; global; modern; atau bahkan post modern. Tak tahulah. Tapi 
tampaknya mereka justru berbahagia. Jadi salah jika aku mengasihaninya. 
Pandangan
 borjuis saja mungkin. Atau pandangan lainnya: Istriku mulai panik. Aku heran. 
Mengapa tidak sedari tiga belas jam yang lalu dia menyuruhku nelpon. 
Perempuan-perempuan. Perasaan selalu dikedepankan. Logika? O..oo belakangan!

Cerpen yang asyik dan humoristik. Meski sayangnya terlalu banyak penggunaan 
bahasa daerah (Sunda) yang tidak diketik miring apalagi diberi keterangan akan 
arti suatu kata. Okelah tak apa, namun semoga kelak Chye bisa lebih lancar 
menulis dalam bahasa Indonesia, sebuah wilayah baru bagi penjelajahan 
imajinasinya, setelah bahasa Sunda yang sangat lancar ia kuasai. Selancar 
imajinasinya yang jernih dan mengalir.

Namun cerpen “Gerimis di Sungai Seine”, Tetet Cahyati, tampaknya belum mewakili 
kelancaran bahasa dan imajinasi meski ditulis dengan bahasa Indonesia yang 
utuh. Ada loncatan peristiwa begitu tiba-tiba, sebelum saya sempat mencernanya. 
Ada dialog-dialog yang masih kaku. Ada deskripsi yang tak utuh. Ada masalah 
kebahasaan yang belum sesuai EYD, entah dari tanda baca yang koma sebelum tanya 
(“Sudah kau pikirkan baik-baik,?”, hal.95), atau tanda petik sebelum titik 
(titik di luar petik). Bukankah hal itu amat mengganggu. Apakah proses 
editingnya berjalan tergesa-gesa?

Menciptakan karya apalagi menerbitkannya, membutuhkan ketenangan dan ketelitian 
agar karya tersebut cukup sempurna sebagai bahan dokumentasi. Harapan saya, 
Tetet Cahyati bisa terus mengembangkan bahasa dan imajinasinya agar lebih 
teratur dan berkelindan sehingga layak diperhitungkan bukan sebagai karya yang 
ditulis (seorang) perempuan, namun karya itu memiliki kelebihan meskipun 
ditulis (seorang) perempuan. Demikianlah saya berandai-andai, sebagai seseorang 
yang juga berkecimpung dalam dunia menulis. Dan demikian pula R. Valentina 
menganalogikan perempun ideal dalam pandangannya sebagai feminis, “Dengan 
bicara dan menulis, perempuan membangun hidupnya, pengetahuannya, meneguhkan 
pengalamannya… memengaruhi dunia… mengubah dunia…”

Halo kaum perempuan, bisakah kita?

Halo kaum lelaki, kita tetap partner dalam segala hal! (Meski kadang-kadang 
malah nge-rival.)

Acara launching-nya di Griya Seni Popo Iskandar (GSPI) sudah lama usai memang, 
namun bagi saya geliat peristiwanya tidak menguap. Saya senang berada di sana. 
Sebagai penyimak. Namun saya bertanya, di manakah perempuan-perempuan penulis 
lainnya. Masih banyak yang bertebaran namun mereka tak berkabar. Dan Jawa Barat 
bukan hanya Bandung, Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasik, dan Ciamis semata. Lagi 
pula, perempuan penulis di Jawa Barat bukan hanya Eriyanti, Heni, Khaterina, 
Nenden, Nina, Nuning, Ratna, Shinta, Tetet, dan Chye saja. Bagaimana dengan Dwi 
Heryanti Budi Rahayu, Josepha Violetta Simatupang, Miranda Risang Ayu, Tati 
Haryaty, Syilfi Purnama Sari, berikut nama-nama lain yang tak saya deteksi: ke 
mana saja mereka? Atau yang produktif seperti Wida Widyana Waridah yang suka 
memakai nama pena Widzar Al Ghifary atau Moningka Guevara atau Sireum Hideung, 
yang karyanya tersebar di HU Pikiran Rakyat, Galamedia, Republika, majalah 
Annida dan Sabili, Dian Sastro for President #2 Reloaded,
 Dian Sastro for President End Of Trylogy, Cybersastra, atau situs-situs 
lainnya. Juga embrio jebolan Yayasan Jendela Seni Bandung seperti Eka Retnosari 
dan Siti Mutiaraningsih yang diam-diam siap meletupkan bakat terpendamnya ke 
arah yang lebih matang namun masih butuh bimbingan. Ke mana saja mereka? Kalian 
semua ngapain tuh? Ayo terus, terus, terus… MENULIS!

Dan bagaimana dengan KSDS, bisakah merangkul mereka dalam satu wadah demi 
tujuan dan cita-cita yang sehaluan. Atau malah lebih suka jalan sendiri 
masing-masing. Jadi apa arti KSDS? Semoga bukan seremoni. Amin.**  



 

 
Biodata Penulis 


Rohyati Sofjan lahir di Bandung, 3 November 1975. Anggota Mnemonic Gank Menuliz 
yang bermarkas di Wabule (Warung Buku Lesehan), pembelajar gramatika bahasa 
Indonesia di milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Mengambil mata 
kuliah di universitas kehidupan berupa aku berpikir maka aku ada, aku bertanya 
maka aku mengada, dan aku menulis maka aku akan merasakan keberadaan orang lain 
pula dalam hakikat ada dan ketiadaan. Sebagian proses kreatifnya dalam 
memandang hal-ihwal kehidupan tersebar di Pikiran Rakyat, Galamedia, Jendela 
Newsletter, antologi bersama Bandung dalam Puisi versi Yayasan Jendela Seni 
Bandung (YJSB), Annida, Republika, www.cybersastra.net. Syir’ah, Jawa Pos, BEN! 
WAE, Dian Sastro for President! End of Trilogy, www.angsoduo.net, dan beberapa 
milis lain. 

Sejak 3 Mei memutuskan berhenti dari toko elektro tempatnya mencari sumber 
penghasilan tetap (sehingga bisa membaca dan menulis) selama lebih dari 3 
tahun; agar bisa memulai babak baru untuk total menulis setelah setiap hari 
lelah dihantam urusan pekerjaan yang 8 jam -- lalu 12 jam lebih -- minus libur. 
Alamat korespondensi: [EMAIL PROTECTED]  


                
---------------------------------
Discover Yahoo!
 Find restaurants, movies, travel & more fun for the weekend. Check it out!

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke