MEDIA INDONESIA
Senin, 13 Juni 2005

Ketika Intel Mengepung Kita
Indra J Piliang, Peneliti CSIS, Jakarta


KETIKA Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia M Ma'ruf menyatakan keinginan 
pemerintah untuk membentuk Pam Swakarsa guna menghadapi kaum teroris, justru 
yang terbayang dalam benak saya adalah gelombang teror baru. Keberadaan Pam 
Swakarsa menjelang sidang tahunan MPR 1999 belum dievaluasi. Malahan, terdapat 
indikasi penggunaan dana nonbujeter Bulog ketika kelompok pengaman swasta yang 
dibentuk pemerintah itu aktif.

Dalam suasana destabilisasi dan demoralisasi alat-alat pengamanan dan 
pertahanan negara saat itu, pemerintah terkesan mengeluarkan langkah-langkah 
darurat, reaktif dan instantif. Pam Swakarsa lahir ketika negara dalam keadaan 
tidak menentu dan zaman yang tidak normal.

Ketika zaman sudah mulai normal, tiba-tiba pemerintah kembali mengemukakan 
pendapat itu. Tidak hanya itu, Mendagri yang tidak membawahi polisi ini 
bergerak lebih jauh dengan keinginan membentuk Desk Antiteror. Desk ini 
mengingatkan kita kepada Detasemen 88 yang dimiliki oleh Polri. Tumpang-tindih 
pertama langsung terlihat ketika Depdagri mengambil alih sebagian fungsi Polri 
yang juga memiliki Badan Intelijen Kepolisian (BIK).

Lantas, apakah langkah-langkah kuda Mendagri ini bagian dari rencana awal 
pemerintahan Yudhoyono? Seolah muncul keragu-raguan kepada kinerja Kapolri. 
Ataukah langkah ini justru bukan bagian dari rivalitas para elite, melainkan 
justru mengarah kepada pengebirian kehidupan demokrasi?

Nyatanya benar saja. Tidak kurang dari Presiden Yudhoyono dan Panglima TNI 
Jenderal Endriartono Sutarto sendiri yang mengungkapkan keinginan yang lebih 
dahsyat, yakni diaktifkannya Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda). 
Bahkan, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, koordinasi yang akan dilakukan 
intelijen Polri, TNI, kejaksaan, pemerintah daerah, dan masyarakat akan 
dilakukan hingga ke tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).

Prakarsa untuk membentuk Pam Swakarsa, Desk Antiteror, dan Bakorinda juga patut 
dianggap sebagai upaya konsolidasi pemerintah untuk menjawab berbagai spekulasi 
menyangkut kelemahan dalam menghadapi teror dan terorisme. Bom Tentena yang 
diduga bukan diledakkan oleh kelompok teroris paling dicari, yakni kelompok Dr 
Azahari dan Noordin M Top yang berkewarganegaraan Malaysia, serta dianalisis 
Sydney Jones bukan bagian dari gerakan Jemaah Islamiyah, melainkan datang dari 
'oknum' pegawai negeri sipil sendiri, mungkin juga bagian dari pemicu 
dimunculkannya kebijakan ini.

Sebuah bom rakitan yang meledak di rumah kontrakan Abu Jibril 'seolah' makin 
mengukuhkan argumen, betapa lingkungan warga tidak imun dari teror. Sebagaimana 
halnya dengan upaya bersih diri yang dilakukan oleh rezim Soeharto awal, 
tampaknya rezim SBY juga berpikir ke arah sana. Bom seolah mempunyai mata, 
mulai meledak di rumah penduduk, pasar tradisional, sampai angkutan umum yang 
membawa rakyat jelata.

Tetapi, lagi-lagi persoalannya bukan terletak di situ. Yang diabaikan oleh 
rezim ini justru modal sosial yang sudah dimiliki oleh bangsa ini. Semakin 
sedikit muncul gerakan-gerakan mobilisasi atas nama laskar-laskar sipil yang 
dibentuk oleh masyarakat. Isu-isu terorisme bahkan mulai dianggap sebagai bukan 
persoalan penting oleh masyarakat. Entah dari mana datangnya sumber informasi, 
justru media massa menghadirkan ketakutan dengan isu-isu yang mulai spesifik, 
misalnya 'tiga mobil pembawa bom masuk Jakarta'. Spekulasi itu pun tidak 
menimbulkan histeria massa, bahkan masyarakat dengan santai tetap menjalankan 
aktivitasnya.

Modal sosial yang semakin kuat, justru berbanding terbalik dengan beragam 
kegagalan antisipasi atas persoalan-persoalan sosial dengan tipologi yang 
hampir mirip. Kasus busung lapar, misalnya, sudah pernah terjadi, namun kini 
tetap terjadi. Akibatnya, masyarakat semakin kehilangan preferensi atas 
model-model penyelesaian persoalan yang mereka hadapi atas panduan pemerintah. 
Sikap apatis menguat, seolah persoalan-persoalan itu hanyalah bagian dari 
reality show yang dihadirkan oleh televisi. Atas kasus busung lapar itu, toh 
pemerintah tidak membentuk desk antilapar atau badan koordinasi antilapar 
daerah.

Dengan rencana pembentukan Pam Swakarsa, Desk Antiteror Depdagri, dan 
Bakorinda, pemerintah sebetulnya kian meminggirkan ruang-ruang partisipasi 
sosial dan modal sosial yang sudah tersedia. Bukan hanya itu, ketika iklim 
demokrasi sedang bangkit, selayaknya public sphere meluas. Namun kenyataannya, 
justru pemerintah semakin menunjukkan agenda-agenda terbuka dan tersembunyi 
untuk mengendalikan ruang-ruang itu. Sehingga yang terjadi adalah kian 
menjauhnya pemerintah dari publik. Pemerintah berjalan ke utara, ketika 
masyarakat justru sedang bergerak ke selatan.

Selain itu, tiga rencana pemerintah tersebut menjadikan potensi konflik komunal 
dan horizontal juga telah di ambang pintu. Selain akan bermasalah dari segi 
koordinasi, kebijakan-kebijakan itu akan bersentuhan dengan bangkitnya semangat 
militerisme dalam tubuh birokrasi dan masyarakat sipil. Padahal, sandaran hukum 
dan perundang-undangan atas keberadaan kebijakan-kebijakan itu juga belum 
akurat. Kalaupun ia dimaksudkan sebagai bentuk dari sishankamrata, tentulah 
dibutuhkan warga negara yang sudah menjalankan wajib militer. Padahal sampai 
sekarang undang-undang tentang wajib militer juga belum dibuat, sebagai 
pelengkap dari UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara.

Pada saat demokrasi sedang memekar di daerah-daerah lewat pemilihan langsung 
kepala daerah (pilkada), justru kuncupnya akan melayu ketika intel-intel 
beroperasi di wilayah paling intim bagi penduduk. Seluruh pembicaraan di 
rumah-rumah makan, kedai-kedai kopi, ruang kuliah, rumah-rumah ibadah, pasar, 
bahkan juga tempat-tempat indekos mahasiswa, dengan amat mudah disadap dan 
disedot oleh aparatur intelijen negara dan non-negara. Mobilitas sosial akan 
terkekang dan terkungkung apabila aparat intelijen itu mengeluarkan kebijakan 
lama, seperti pelaporan atau izin atas kegiatan atau bepergian.

Mahasiswa akan kesulitan lagi bercanda, ''Eh, pesen intel, dong!'' 
Jangan-jangan yang datang adalah aparat RT, RW atau kelurahan, bukan sepiring 
indomie telor panas yang siap disantap untuk pengganjal perut. Selayaknya, 
minimal, justru indomie telor itu yang banyak tersedia di tenda-tenda 
pengungsian atau rumah-rumah yang penduduknya kelaparan, bukan intel yang 
status intelnya pun masih dalam perdebatan. Kita justru akan mengalami zaman 
yang banyak ditangisi para penyair dan penulis, yakni ketika penduduk tidak 
ubahnya seperti kawanan ternak dalam sabana penggembalaan yang dipagari 
kawat-kawat berduri. Ketika demokrasi sedang mengukuhkan posisinya, intel-intel 
mengepung kita. Selamat datang di negeri intel! ***

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke