http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=111809
Fenomena "Bank dalam Bank" Oleh Susidarto Senin, 13 juni 2005 Kejahatan perbankan memiliki banyak sisi/muka. Salah satu wujud kejahatan perbankan yang menarik untuk dicermati adalah munculnya praktik "bank dalam bank". Yakni, sebuah praktik mirip bank (menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya) yang dilakukan oleh oknum bankir, namun dana masyarakat yang masuk tidak diadministrasikan dalam pembukuan bank. Salah satu kasus yang belakangan mencuat ke permukaan membuktikan hal ini. Salah satu kasus yang belakangan mencuat terkait dengan raibnya simpanan beberapa nasabah Lippo Karawaci Tbk, sebuah perusahaan properti di kelompok usaha Lippo. Mereka mengadukan dugaan penipuan berkedok bilyet deposito "Kavling Serasi" yang konon menawarkan keuntungan (suku bunga) yang aduhai tinggi, berupa suku bunga 12-14 persen, jauh melebihi rata-rata suku bunga deposito perbankan pada umumnya. Namun, saat jatuh tempo, dana-dana itu tidak dapat dicairkan kembali. (Kompas, 27 Mei 2005). Dua pelanggaran yang telah dilakukan manajemen Lippo Karawaci adalah mengumpulkan dana nasabah yang dilakukan lembaga keuangan non-bank, dalam hal ini oleh perusahaan properti Lippo Karawaci Tbk, dan dugaan penipuan dengan surat bilyet "Kavling Serasi" yang ternyata berujung wanprestasi. Nasabah baru terkesima, sewaktu kesulitan untuk mencairkan hasil investasinya. Maklum, dana yang sudah diivestasikan ternyata sudah ditilep oleh oknum-oknum bankir yang bersangkutan. Produk Bodong Kasus di atas sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 2004 lalu. Maklum, yang dijual adalah "produk bodong", yakni produk yang bukan merupakan produk bank, tapi dijual oleh (oknum) bankir. Karena bukan merupakan produk pendanaan dari bank, maka produk ini pun tidak masuk dalam skema penjaminan pemerintah (unit pelaksana penjaminan pemerintah/UP3) alias mengandung risiko tinggi. Namun, sejak diluncurkan beberapa periode sebelumnya, produk yang mengait dengan properti (kapling tanah) "kavling serasi" ini laris manis bak kacang goreng. Sebelumnya, produk ini belum menuai korban. Namun, akhir tahun lalu, produk ini mulai menuai badai. Pasalnya, beberapa nasabah yang memiliki investasi bernilai miliaran rupiah, ternyata tidak bisa menjual kembali (mencairkan pokok simpanannya) produk yang sudah terlanjur dibelinya. Sebab musababnya, oleh oknum petugas bank yang bersangkutan (kepala cabang yang merangkap sebagai tenaga pemasar), dana hasil investasi ini tidak disalurkan ke perusahaan yang memang mengelola investasi tersebut, namun dipakai untuk keperluan pribadi dan kelompok (kolega)-nya. Jadilah produk ini sebuah investasi bodong, alias palsu. Untuk itu, dibuatlah bilyet produk investasi yang dijual secara palsu dengan cara memalsukan nomor bilyet investasi. Karena oknum yang menjual sekelas Kepala Cabang sebuah bank besar - selain juga menjanjikan iming-iming suku bunga (yield) yang cukup tinggi-, maka banyak nasabah yang (keblinger) percaya dan kemudian membenamkan dana miliaran rupiah ke dalam produk bodong ini. Nilai kumulatifnya mencapai puluhan miliar rupiah. Untuk menarik, dibuatlah hasil investasi yang cukup menggiurkan, sehingga mampu memancing nasabah yang memang sensitive price (peka terhadap suku bunga/yield). Pada saat awal, segala bentuk pembayaran bunga sanggup dipenuhi oleh oknum yang bersangkutan. Namun, lama kelamaan, setelah beberapa nasabah menjual kembali hasil investasinya (mencairkan pokok dananya), maka oknum tersebut mulai kelimpungan alias kesulitan likuiditas, akibat dananya sudah dipakai untuk keperluan lain. Bagaikan bank sakit, dia mulai kesulitan likuiditas, dan akhirnya terjadilah fenomena "gagal bayar", di mana nasabah tidak bisa mendapatkan pokok simpanannya seperti yang dijanjikannya semula. Dalam konteks ini, bank yang bersangkutan tidak bertanggung jawab, karena memang bukan produk bank dan tidak mendapatkan jaminan dari BI. Kasus kedua lainnya adalah produk reksa dana bodong (alm) Bank Global. Awal kehancuran dan meledaknya skandal Bank Global hingga akhirnya menyeret bank ini ke dalam status dilikuidasi, berawal dari pengaduan para pemegang unit penyertaan reksa dana bodong, yang tidak masuk dalam pembukuan bank tersebut. Dana tersebut ternyata kembali masuk ke dalam pembukuan pribadi para pengelola sekaligus pemilik bank. Karena tidak masuk dalam pembukuan bank, maka bank menjadi kesulitan untuk membayarkan hasil penjualan kembali produk reksa dana bodong. Dari kedua contoh itu, terlihat jelas adanya fenomena praktik "bank dalam bank", yang akhir-akhir ini marak terjadi. Oknum petugas bank, dalam hal ini tenaga pemasar dana hingga ke level kepala cabang, bahkan direksi bank, ternyata mencari sampingan penghasilan dengan menjadi agen penjual dari produk tertentu di luar bank. Dengan memanfaatkan profesinya, produk investasi yang dijual, disulap seolah-olah menjadi produk bank yang bersangkutan. Tingginya suku bunga (yield) sebagai hasil investasi layaknya bunga deposito, ditambah dengan kepercayaan pada bank yang menjual, maka banyak nasabah yang akhirnya tergiur untuk membeli produk ini. Produk bodong ini sangat berbeda dengan produk reksa dana, yang memang produk resmi pasar modal, dan bank merupakan agen/subagen penjual/ pemasar. Produk investasi yang berhubungan dengan properti ini tidak dijual secara resmi oleh bank, dalam artian bank bukan merupakan agen pemasarnya. Tak aneh kalau pasca-mencuatnya kasus ini, pihak manajemen bank yang bersangkutan terlihat cuci tangan terhadap permasalahan yang muncul, karena memang tidak ada kesepakatan kerja sama dalam menjual produk tersebut. Fenomena ini murni ulah dari petugas bank, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan bank yang bersangkutan. Meski dibantah oleh manajemen bank yang bersangkutan, maka kalau kita mencermati masalah ini secara lebih luas, maka praktik semacam ini bisa disebut sebagai praktik "bank dalam bank" dalam artian ada unsur penghimpunan dana dari masyarakat luas layaknya bank, namun tidak masuk dalam pembukuan bank. Praktik bank dalam bank semacam ini jelas tidak sehat dan sama sekali tidak mendidik masyarakat untuk berhubungan dengan bank secara sehat. Tindakan tegas dari BI jelas diperlukan, terutama untuk membendung ulah dari para penjahat yang berprofesi sebagai bankir. Mereka adalah "serigala berbulu domba" yang harus dipantau gerak-geriknya. Munculnya kasus semacam ini, jelas akan merugikan bank, nasabah (masyarakat) serta sistem keuangan (ekonomi) keseluruhan. Setidaknya ada beberapa hal yang kontraproduktif di dalamnya. Pertama, dengan adanya praktik semacam itu, maka bank menjadi kesulitan mendanai sektor usaha/kredit, karena dana-dana yang masuk tidak masuk dalam pembukuan bank dalam arti masuk ke dalam dana pihak ketiga, namun (masuk) ke dalam pembukuan pribadi oknum petugas. Bank menjadi kesulitan dalam masalah pendanaan, karena dana masyarakat tersedot ke dalam bentuk investasi bodong, yang menawarkan suku bunga di atas 10 persen. Jelas, di tengah rendahnya suku bunga deposito yang belakangan hanya sekitar 6 persen, maka produk investasi bodong yang menjanjikan suku bunga tinggi menjadi laris manis. Kedua, citra bank yang bersangkutan dan industri perbankan secara umum setidaknya akan tergores/tercoreng. Citranya sebagai lembaga kepercayaan masyarakat menjadi terdegradasi (turun), gara-gara ulah dari segelintir oknum bank yang memang memanfaatkan profesinya untuk kegiatan illegal semacam itu. Bukan tidak mungkin, apabila yang dirugikan cukup meluas dan berskala nasional, citra bank akan benar-benar memburuk. Kondisi semacam ini jelas tidak diinginkan oleh awak-awak perbankan, yang belakangan ini tengah melakukan proses perbaikan citra melalui konsolidasi perbankan. Ketiga, fenomena semacam ini jelas tidak mendidik masyarakat untuk belajar dan latihan berinvestasi secara sehat. Si pemilik uang (investor) dalam hal ini bagaikan spekulan (untung-untungan) karena yang dilakukan dalam berinvestasi mirip "membeli kucing dalam karung". Mereka tidak memahami dengan persis kemungkinan risiko yang muncul dibalik investasi yang menjanjikan itu. Tingginya suku bunga serta bonafiditas bank penjual (bankir), tampaknya lebih dominan. Di sini, proses edukasi kepada para investor sama sekali tidak ada. Yang ditonjolkan justru pemberian informasi asimetris, yang sekadar menonjolkan sisi manfaat (keuntungan) semata, tanpa menyinggung risiko yang menyertainya. Keempat, asas keterbukaan (transparansi) perbankan tidak ada sama sekali. Padahal, sebelum nasabah menitipkan dananya di bank, si petugas bank seharusnya memberi informasi yang seimbang dan jelas bahwa simpanan/investasinya masuk atau tidak masuk dalam skema penjaminan bank. Mengenai transparansi produk ini, melalui paket Januari 2005, BI sudah mengantisipasi dengan beleid terbarunya yang mengait dengan transparansi produk perbankan. Ke depan, bank tidak bisa menjual produk tanpa diskripsi yang jelas. *** (Penulis praktisi perbankan di Yogyakarta. Tulisan di atas merupakan pendapat pribadi). [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/