http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/15/opini/1818283.htm
"Politico in Absurdum"! - Catatan atas Kasus Supriono Oleh Donny Gahral Adian POLITIK itu absurd! Orang-orang kecil selalu diperlakukannya bak debu: halus dan tak teraba. Sosoknya selalu ditiup oleh isu-isu besar seperti pilkada, korupsi KPU, reshuffle kabinet, dan lain sebagainya. Contohnya adalah kasus Supriono yang menggendong jenazah anaknya di kereta listrik. Kemiskinan membuatnya tak mampu menyelamatkan nyawa anaknya. Tak kalah mengiris, ia pun tak mampu membeli kain kafan, apalagi menyewa mobil jenazah untuk membawa sang putri ke pekuburan. Saya yakin kasus itu bukan yang pertama. Namun, meminjam refleksi sosiolog Pierre Bourdieu, isu itu bukan komoditas semiotik yang laku di pasar bahasa politik dewasa ini. Persoalan kemiskinan kota bukan hal yang baru. Namun, entah mengapa para politisi sepertinya tak jua menggubrisnya. Di mata mereka kemiskinan sekadar data tak bernyawa. Sebagaimana layaknya data, ia tak berbicara tentang kematian dan air mata. Politisi lupa bahwa kemiskinan bukan sekadar rendahnya pendapatan. Kemiskinan adalah bentuk-bentuk ketakmampuan seperti malnutrisi, kelaparan, dan putus sekolah. Hal-hal seperti itu lepas dari pembacaan "berjarak" mereka. Celakanya lagi, manajemen informasi yang buruk membuat politisi semakin rabun jauh atas realitas sosial yang berkecamuk di bawah. SAYA berpendirian bahwa politik semestinya melampaui yang ekonomi. Sebagai bentuk tindakan, ia lepas dari segala konstrain ekonomi. Namun, berpijak pada kasus Supriono, prinsip-prinsip ekonomi justru bekerja secara sempurna di dalam raga politik. Alih-alih membela yang miskin, para politisi menghabiskan masa jabatannya guna menumpuk pelbagai modal simbolik. Modal yang nantinya dipakai guna mempertahankan atau mengangkat posisi politisnya. Itulah yang terjadi sekarang. Pengetahuan tentang kondisi sosial yang ada bukan digunakan untuk mengubah keadaan. Itu dijadikannya modal budaya demi keuntungan politis di kemudian hari. Celakanya, isu kemiskinan kota bukan modal yang bisa dikonversi menjadi posisi politik yang lebih baik. Bagaimana dengan partisipasi publik? Sebagai teoretisasi mutakhir dalam berdemokrasi, konsep itu sungguh memikat. Namun, pada kenyataannya tidak semua partisipasi digubris. Suara publik yang didengar adalah suara yang paling laku di pasar politik. Entah sudah beberapa kali kemiskinan kota disuarakan di hadapan para pengambil kebijakan. Namun apa tindak lanjutnya? Penggusuran demi penggusuran bak gelombang menghapus hak si miskin atas tempat bernaung. Hak atas tempat tinggal dikalahkan oleh isu politik yang lebih besar: pendapatan daerah. Si miskin bukanlah subyek pajak yang menjanjikan. Bisakah kita berharap pada pilkada? Sekilas, akuntabilitas demokratis pengambil kebijakan berarti keberpihakan. Jarak politis yang tadinya tersekat oleh partai sekarang lapang sudah. Rakyat akan memilih pengambil kebijakan yang paling berpihak pada kebutuhannya, bukan kebutuhan partai. Persoalannya, manusia berubah. Habitus politik yang mengambil pola transaksi ekonomi akan membentuk disposisi sang politisi baru. Pada gilirannya, rakyat pun gigit jari menyaksikan para politisi berbalas retorika yang tidak mereka mengerti. Inilah kesulitan saat politik semata dipahami sebagai perebutan kekuasaan lewat fasilitas demokratis. Sementara untuk apa kekuasaan itu diperoleh tetap tak tercerna sempurna di benak para politisi. Kekuasaan bukan simpul mati. Ia mesti luwes untuk digunakan demi kepentingan orang banyak. Dan dari sekian banyak orang itu, mereka yang paling tidak beruntung mesti mendapat prioritas. Demokrasi memang memberi batasan politis bagi kekuasaan. Namun, kekuasaan bukan sekadar membatasi atau dibatasi. Kekuasaan mestilah produktif, kreatif, dan inovatif dalam menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. SAAT ini kita tak membutuhkan politisi yang bertekuk lutut di bawah dominasi ekonomi. Kita membutuhkan mereka yang berani mendobrak habitus ekonomi dengan mengangkat isu-isu yang tak laku di pasaran politik ke permukaan. Meminjam refleksi Bourdieu, politisi mesti berani mengeksplorasi kemungkinan perubahan realitas sosial yang ada dengan mendekonstruksi citraan dominan tentangnya (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1995: 128). Realitas kemiskinan adalah salah satunya. Mereka harus berani berlaku bidáh dengan menyodorkan visi, utopia atau proyek yang bercorak subversif. Misalnya, mereka mesti berani mengusung isu tak populer seperti keharusan rumah sakit melakukan subsidi silang untuk membiayai pengobatan si miskin. Politisi subversif mesti siap ditinggalkan. Sebab, ia tidak berbicara dalam bahasa yang dimengerti politisi kebanyakan. Namun, target politisi subversif bukan popularitas yang juga berarti karier. Target utamanya adalah memperkenalkan pada politik sebuah kosakata baru: etika kepedulian. Kepedulian tidak mengangkat segala yang serba universal dan adiluhung. Sebaliknya, kepedulian mengais yang tak terbaca dari realitas sosial. Kepedulian membaca air mata, kehilangan, kepedihan, dan depresi dari data statistik mengenai kemiskinan. Dari kepedulianlah lahir kebijakan tak biasa buat persoalan publik yang telah diterangi mentari hati. Kembali pada politik riil negeri ini. Sampai kapan kita mesti bertahan dalam kondisi seperti ini. Beberapa Supriono lagi mesti kehilangan akibat absurdnya politik republik ini. Tujuh tahun sudah usia reformasi. Namun politik tak jua bermatakan nurani. Sementara para intelektual sibuk menjual diri dengan mengonversi modal budayanya menjadi materi. Semuanya itu mereproduksi absurditas politik yang menggadaikan kepedulian dan mengadopsi perhitungan. Keprihatinan dilokalisir pada wilayah pribadi. Dalam wilayah publik, politik mengubahnya menjadi seremoni harian yang bernama peninjauan lapangan. Pertanyaannya, seperti inikah wajah politik kita sekarang dan selamanya? Donny Gahral Adian Dosen Departemen Filsafat Universitas Indonesia [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/