MEDIA INDONESIA
Senin, 20 Juni 2005

Siapa Rebut Pers akan Menang
Oleh: Benni Setiawan, Sekretaris Redaksi Majalah Kibar

PEMILIHAN kepala daerah secara langsung sudah dimulai. Sebanyak 226 daerah akan 
melakukan pesta demokrasi pada tingkatan lokal. Permasalahan demi permasalahan 
silih berganti. Akan tetapi, kita sering lupa akan salah satu komponen 
pemenangan pemilu yaitu pers.

Pers seringkali dijadikan media pemenangan pemilu. Lebih lanjut, ia menjadi 
kekuatan baru di dalam komunitas bangsa Indonesia. Artinya, ketika calon kepala 
daerah mampu menggunakan kekuatan pers dalam setiap kampanyenya, maka dapat 
dipastikan ia akan menuai kemenangan.

Netralitas pers dalam pilkada langsung adalah mitos belaka. Artinya, pers tidak 
akan mungkin netral dalam setiap agendanya. Seseorang yang mampu membayar 
sesuai agenda kegiatan kampanye akan diliput oleh pers. Pers disini tidak hanya 
media cetak saja, melainkan juga media elektronik.

Pada musim kampanye sekarang ini, pers akan banyak meraup keuntungan berlipat 
ganda. Artinya, pers banyak menyediakan ruang publik bagi calon untuk dapat 
dimuat atau ditayangkannya gagasan, ide program kerjanya. Kolom-kolom dalam 
ukuran kecil ataupun besar di surat kabar lokal telah banyak dipenuhi ganbar 
dan program kerja calon.

Lagi-lagi hal ini hanyalah menguntungkan calon yang mempunyai modal banyak. 
Artinya, seorang calon yang pas-pas-an dalam modal akan berpikir dua hingga 
tiga kali ketika ingin menguatkan posisinya di pers lokal.

Ambil contoh, media lokal yang ada di Yogyakarta. Beberapa kolom telah dijual 
kepada calon pasangan bupati dan wakil bupati. Kolom ini telah dikontrak hingga 
akhir masa kampanye. Lebih lanjut, media lokal berskala nasional tidak mau 
ketinggalan. Ia telah menawarkan kepada khalayak (calon bupati atau tim 
suksesnya) untuk mengiklankan program kerjanya lewat media.

Persaingan antarpers lokal --dalam hal ini media cetak-- menjadi semakin 
menarik ketika daerah jangkauan pers lebih menjurus kepada wilayah sang 
kandidat. Semakin lokal media tersebut, maka akan semakin banyak calon yang 
meliriknya. Biaya pembelian kolomnya pun sangat berfariatif.

Penulis pernah membeli beberapa space di halaman dalam harganya berkisar 
Rp250.000 - Rp300.000. Jadi, tinggal seberapa banyak space yang akan kita beli. 
Setelah space kita beli, kita akan mendapatkan beberapa koran yang telah memuat 
berita, sebagai bukti pemuatan.

Cara pengajuannya pun cukup mudah. Artinya, kita tinggal menyerahkan materi 
yang akan dimuat, kemudian kita membayar sesuai dengan ketentuan, besok apa 
yang kita inginkan sudah menjadi berita di media tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan media cetak, media elektronik seperti televisi juga 
berlomba menyuguhkan program yang berkenaan dengan Pilkada. Di Yogyakarta, 
beberapa televisi lokal telah menyampaikan proposal kepada calon-calon bupati 
yang akan berlaga pada 26 Juni.

Sebuah televisi lokal mematok harga Rp12 juta guna menyiarkan profil dan 
program kerja sang bupati secara live. Ia akan mendapatkan keuntungan 
diantaranya, tayangan live yang dipandu langsung pihak televisi, hiburan musik, 
dan akan ditayangkan ulang satu kali. Harga tersebut dapat berubah ketika 
memilih waktu yang nilai jual (reting) tinggi, yaitu mulai pukul 19.00 hingga 
22.00 WIB.

Media televisi lokal juga telah menetapkan harga Rp500.000 untuk menayangkan 
agenda kegitan calon hari ini. Tayangan dapat dimuat dalam program berita 
reguler, yang telah dijadwalkan setiap hari atau siaran berita khusus.

Beberapa contoh di atas menunjukkan kepada kita akan ketidakmampuan pers untuk 
netral dalam Pilkada. Artinya, ia juga akan berpikir bagaimana meraup 
keuntungan sebanyak mungkin dari event lima tahunan ini. Kapan lagi mendapatkan 
keuntungan yang berlipat ganda, kalau tidak sekarang. Kata-kata ini yang sering 
penulis dengarkan.

Guna membayar sejumlah uang tersebut, bagi sebagian masyarakat biasa adalah 
sia-sia belaka. Namun, bagi calon hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap 
psikologi massa. Kita tentunya masih ingat dengan pemilihan presiden tahun 
2004. Betapa semakin seringnya calon muncul di media massa baik cetak maupun 
elektronik, ia akan semakin terkenal dan mudah diingat oleh masyarakat. 
Tentunya kemenangan berada padanya.

Persoalnnya kemudian adalah, hanya calon-calon yang punya kecukupan modal saja 
yang mampu membeli media. Artinya, seorang calon yang bermodal pas-pasan akan 
sangat sulit mengakses media guna pemenangan pemilu. Betapa tidak, jika sekali 
tayang langsung di televisi, ia mengeluarkan uang Rp12 juta, berapa juta rupiah 
yang ia keluarkan untuk tampil selama lima kali dalam penyampaian program kerja 
serta visi dan misinya.

Ia akan mengeluarkan sekitar Rp60 juta guna kampanye di televisi saja. Hal 
tersebut tentunya, belum termasuk media pemenangan kampanye lainnya. Maka 
sungguh benar apa yang penulis temui beberapa bulan yang lalu ketika bertemu 
dengan seorang kandidat calon bupati di daerah pemilihan Sleman.

Ketika ditanya berapa kira-kira dana yang ia siapkan guna pemenangan Pilkada 
tahun ini, Bapak itu menjawab sekitar Rp10 miliar. Beberapa hari yang lalu 
penulis mendapatkan informasi dari seorang teman dari daerah pemilihan 
Kabupaten Kebumen, ia telah menghabiskan dana kurang lebih Rp22 miliar dalam 
Pilkada Kebumen beberapa waktu lalu.

Kembali kepada persoalan ketidaknetralan pers lokal dalam Pilkada, seharusnya 
pers meletakkan dasar kode etik dalam setiap agenda kegiatannya. Pers harus 
bersikap netral dan tidak diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk apapun 
dari seorang nara sumber, sebagaimana sering ditulis di pojok koran-koran.

Jikalau keadaanya demikian, bagaimana pers akan mengajarkan atau melakukan 
proses transformasi sosial di tengah masyarakat. Pers sebagai penyeimbang 
informasi dalam masyarakat dan merupakan salah satu ujung tombak perubahan 
sosial tidak selayaknya menjual idealismenya demi mendapatkan uang.

Ketika pers di Indonesia telah mampu dibeli, maka masyarakat tidak akan menjadi 
cerdas oleh berita atau tulisan yang ada di media massa. Ia akan banyak 
terkontaminasi oleh pasungan dan jeratan kepentingan pihak penguasa. Sehingga 
misi penguasa untuk melakukan 'penindasan' tersistem kepada masyarakat akan 
semakin mudah.

Mengembalikan pers pada cita-cita dan idealisme semula sebagai media yang mampu 
mengaktualisasikan berita yang berimbang sangatlah perlu. Artinya, penulis 
masih mempunyai sebuah keyakinan jika pers mampu netral dalam setiap apa yang 
telah diwartakan, ia akan banyak dilirik dan dinikmati khalayak ramai.

Sebaliknya, jika pers sudah tidak lagi menyuguhkan hal netral dan demi 
mendapatkan uang dari masing-masing calon, ia akan ditinggalkan pelanggan dan 
mendapatkan 'dosa sejarah' karena tidak mampu memberikan berita dan gambaran 
yang proporsional kepada masyarakat.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke