http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=112753


            Korupsi dan Ironi Keadaban Politik
            Oleh Zacky Khairul Umam 


            Rabu, 22 Juni 2005
            Kondisi negara kita memang sangat melunak. Sudah lama Karl Gunnar 
Myrdal (1909-1987) menilai negara kita sebagai soft state, "negara lunak", 
yaitu negara yang pemerintah dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang 
jelas, khususnya moral sosial-politik. (Madjid, Indonesia Kita, 2004). 
Kelembekan (leniency) dan sikap serba memudahkan (easy going) telah mengidap 
bangsa, sehingga tidak cukup peka terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan 
seperti korupsi, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest. 

            Dalam pandangan futuris Louis Kraar, seorang pengamat negara-negara 
industri baru di Asia Timur, pada tahun 1988 sudah meramalkan bahwa Indonesia 
dalam jangka waktu 20 tahun akan menjadi halaman terbelakang (back yard) Asia 
Timur, ditinggalkan oleh negara-negara tetangganya yang berkembang menjadi 
negara-negara maju. Sebabnya ialah etos kerja yang lembek dan korupsi yang 
gawat (lousy work ethics and serious corruption). Maka, krisis multidimensional 
merupakan gambaran nyata kerusakan bangsa dan negara in optima forma. 

            Kerusakan bangsa terlihat dari perilaku korupsi. Korupsi memang 
merupakan virus akut yang terus menghantui denyut nadi kehidupan bangsa. Dalam 
pengertian etimologis, korupsi (korruptie, bahasa Belanda) mengandung arti 
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, penggelapan, 
kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari kesucian. Dalam konteks 
politik, korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan 
wewenang. Jelas, ia adalah benalu dalam tetumbuhan kenegaraan yang sedang 
berkembang dan bermekaran. 

            Korupsi memang bukan barang langka di negeri ini. Barangkali bangsa 
ini sudah terjangkit dalam stadium kronis, yaitu bukan endemik saja, tetapi 
sudah menjadi sistemik. Bung Hatta bahkan dulu pernah mengatakan bahwa "korupsi 
telah menjadi seni dan bagian dari budaya Indonesia". Sulit rasanya bagi kita, 
khususnya pejabat publik, untuk mengatakan haram terhadap perilaku korup dalam 
kehidupan sehari-hari. 

            Padahal akibatnya sangat serius bagi masa depan bangsa. Lawrence E 
Harrison (2000) mengungkapkan, budaya korupsi adalah penyebab terjadinya 
kemunduran dan keterbelakangan suatu masyarakat. Syauqi Beik, sastrawan Arab 
terkemuka, menyatakan, "Sebuah bangsa akan hancur ketika moralitasnya hancur." 
Hal itu dipertegas Edward Gibbon secara empiris-historis berkenaan dengan 
runtuhnya kekaisaran Romawi, yang mengemukakan, kemerosotan moral adalah 
penyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia. 

            Dari konteks historis-universal (Benny Susetyo, Hancurnya Etika 
Politik, 2004), korupsi sudah terjadi semenjak Kekaisaran Romawi ketika terjadi 
kasus penyuapan hakim saat itu. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, 
Cina, Yunani, dan Romawi kuno, korupsi terjadi dalam bentuk dan aktivitas 
kepemerintahan. Misalnya, Hammurabi (Babilonia), yang memerintah tahun 1200 SM, 
pernah memerintahkan aparaturnya untuk menyelidiki masalah penyuapan. Shamash 
(Raja Asiria) sekitar tahun 200 SM menghukum hakim yang menerima uang suap. 
Berbagai cerita lainnya juga menunjukkan bahwa sejarah korupsi sudah setua 
sejarah manusia. 

            Dalam historiografi perpolitikan dan ketatanegaraan kita, 
barangkali sudah tidak awam lagi politik ideologi permissivisme ala 
Machiavelli, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, menjadi kelaziman. 
Betapa tidak! Bayangkan, melihat perilaku para elite politisi, kita dapat 
melihat bahwa modus operandi penipuan dan kejahatan publik dalam bentuk 
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dibungkus dengan rekayasa politis yang 
menyesatkan (political simulacrum). Persis seperti yang umum terjadi dalam 
kultur zaman Orde Baru. 

            Adagium Actonian yang masyhur dengan tesis Power Tends to Corrupt, 
Absolute Power Corrupts Absolutely, yang semestinya dikenal sebagai praktik 
kuno karena hukum belum berkembang luas, sedangkan posisi penguasa (Inggris) 
ketika itu masih sangat otoriter, justru di masa kini menjadi justifikasi. 
Maksudnya, siapa yang berkuasa maka ia akan dapat kesempatan dan peluang untuk 
berkorupsi sebesar kekuasaannya itu sendiri. Dari pemerintahan level bawah 
hingga atas di negeri ini, keniscayaan sindrom Actonian itu tak dapat 
disangkal. 

            Kasus tindak pidana korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau di 
Biro Haji Departemen Agama yang sedang mencuat saat ini, dalam fakta lain 
menunjukkan kredibilitas individu (intelektual-aktivis atau agamawan) telah 
terserap ke dalam sistem yang sarat korup. Banalitas korupsi (Banality of Evil, 
Hannah Arendt) seperti itu sangat wajar. Sebab, jika orang yang baik telah 
terjebak dalam pragmatisme kekuasaan yang sarat korup, dia mesti berada dalam 
domain pragmatisme tersebut. Hal ini membenarkan definisi bahwa dunia politik 
adalah bisnis manipulasi sebagaimana yang dinyatakan Max Lerner (1939), The 
politics is the business of manipulating and exploiting the basic yet complex 
drives of men and that all political progress must reckon with those drives. 

            Realitas seperti itu menunjukkan keadaban politik sudah menjadi 
ironi. Cara-cara yang beradab dan penuh dengan nilai-nilai keluhuran dalam 
wilayah politik seolah hanya utopia belaka. Justru persoalannya, bangsa kita 
secara fundamental merupakan bangsa religius yang sarat nilai-nilai moralitas. 
Akan tetapi, sarat pula dengan berbilang cara mencapai kekuasaan korup. Sejalan 
dengan hukum corruptio optimi pessima, "kejahatan oleh orang baik adalah 
kejahatan terburuk", maka perilaku korup yang dilakukan oleh bangsa yang 
religius dan bertata norma ini justru akan mendatangkan malapetaka berlipat 
ganda. 

            Oleh karena itu, revitalisasi keadaban politik perlu diterjemahkan 
dalam setiap ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni, melalui peralihan 
paradigma dari sekedar berpolitik ala low politics ke arah high politics. Dalam 
arti, politik praktis yang hanya mengejar orientasi kekuasaan saja (low 
politics) hanya berdimensi pendek dan parokial semata. Sedangkan politik 
"adiluhung" (high politics), bukan sekedar berpolitik praktis tetapi mempunyai 
tujuan teleologis berupa penanaman nilai dan cara kuasa politik yang 
demokratis, egaliter, dan berkeadaban, dalam rentang waktu yang visioner. 

            Cara politis model terakhir, bukan melulu melalui konsep who gets 
what, namun dapat berupa politik alokatif (ala David Easton) yang dapat 
dikontekstualisasikan melalui dinamisasi aspek kultural kehidupan bangsa. Dalam 
dimensi kultural, pengalokasian nilai-nilai keadaban dan moralitas ke tengah 
kehidupan politik memiliki jawaban solusi (panacea) yang optimis atas pelbagai 
dehumanisasi dan amoralisasi politik, yakni korupsi itu sendiri. Gerakan moral 
antikorupsi yang dulu disuarakan NU-Muhammadiyah semestinya dilanjutkan dan 
diikuti oleh elemen civil society lainnya beserta seluruh masyarakat, agar 
suara-suara etik-moral membias secara masif di berbagai lini kehidupan, 
setidaknya dapat meminimalisasi penyimpangan kekuasaan secara lebih besar. 

            Kesadaran masyarakat akan "pengibulan" janji politisi (oleh Milan 
Kundera disebut imagology; kemampuan untuk merubah citra sesungguhnya) mesti 
ditingkatkan. Semestinya para pemegang kuasa wibawa perlu sadar betul, bahwa 
mereka ialah sebagai orang yang mempunyai profesi politik- meminjam istilah Max 
Weber - politics as a vocation, pejabat publik diharuskan mempunyai etika dan 
moral untuk mempertanggungjawabkan terhadap profesi politiknya dan masyarakat 
yang melegitimasi kekuasaannya. Pada urutannya, relasi kuasa yang demokratis 
dan berkeadaban niscaya terwujud. 

            Keadaban politik sebagai bagian dari perwujudan moral-etik dalam 
kehidupan kenegaraan adalah salah satu wujud kedirian bangsa yang luhur. 
Dilihat dari sisi metafisis-transendental, keadaban dalam politik lahir dan ada 
karena percikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan kenegaraan. Bung Hatta 
pernah berwasiat, semua kegiatan kenegaraan harus berlangsung di bawah sinar 
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama itu menjiwai empat sila yang 
lain dalam Pancasila. Jika demikian, kegiatan kenegaraan kita memiliki dasar 
metafisis, sehingga menghasilkan komitmen yang total, yang tumbuh dari 
kesadaran bahwa semua perbuatan manusia adalah bermakna, dan akan 
dipertanggungjwabkan di hadapan Tuhan. 

            Melewati masa-masa krisis keadaban politik sejatinya dibutuhkan 
komitmen yang kuat dari segenap komponen bangsa. Dengan mengutip ucapan Bung 
Karno, kita memerlukan samen bundeling van alle krachten van de natie, 
"pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa". Seharusnya budaya ewuh pekewuh 
dalam menindak setiap pelanggaran kekuasaan yang dilakukan siapa pun melalui 
tangan hukum, mesti dienyahkan, tentu dengan asas praduga tak bersalah 
(presumption of innocence). Terakhir, pentingnya menghadirkan keadaban politik 
ialah investasi masa depan menuju kehidupan bangsa yang dinamis, demokratis, 
serta berkeadaban. *** 

            (Penulis, peneliti sekaligus Ketua Umum KSM
            Eka Prasetya Universitas Indonesia).  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to