--- In ppiindia@yahoogroups.com, Mas Bagong <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Matur Nuwun Mas Don,
> Memang sampai sekarang masih jadi masalah apakah yang nembak Alan 
Pope
> pilot AURI atau ALRI, tetapi kalau memang ditembak dengan meriam
> bofors 40 mm (yang menjadi senjata standar RI Sawega) pesawat ini
> harusnya meledak karena efek kinetis ledakan meriam yang begitu 
besar;
> kalau melihat cerita bahwa pesawatnya rusak sehingga mereka harus
> eject, maka kemungkinan bahwa pesawat ini ditembak dengan senjata 
0.5
> inch senapan mesin standar P-51  lebih besar karena efek kinetis
> peluru ini lebih kecil dibandingkan peluru bofors 40 mm. 
(kemungkinan
> peran Dewanto sengaja 'dikecilkan' sebagai efek persaingan antara AD
> dan AU serta AL).
> Anyway, memang waktu itu banyak sekali 'mercenary' yang bekerja
> sebagai freelance untuk berperang di daerah konflik termasuk di
> Indonesia.
> Tapi kok nggak disebut peran keluarga Aquino dan pemerintah 
Philipina
> ya dalam pemberontakan PRRI-Permesta? Padahal B-26 tidak mungkin
> terbang ferry dari Taiwan langsung ke Mapanget atau Sanga-sanga 
(dekat
> daerah Handil - Kutai sana).
> Tetapi saya angkat topi atas kehandalan BK dalam melakukan penukaran
> Pope dengan pesawat Hercules dan senjata 7 kargo untuk AD. Memang
> hebat beliau ini, sayangnya penggantinya tidak ada yang memiliki
> kemampuan diplomasi sehebat beliau...(sampai sekarang).
> DG
> 
------------------------------

DH: 

Mungkin kita dapat perdalam pengetahuan kita mengenai adegan 
pertarungan udara ini, membaca kesaksian seorang saksi 
sejarah,seorang pensiunan wartawan Antara:

Tertembaknya pembom B-26 yang diterbangkan agen CIA, Allan Pope, pada 
masa pergolakan Permesta (1958), masih diselimuti tabir. TNI AU 
bersikeras, pesawat tersebut rontok dihajar Mustang yang diterbangkan 
pilot Ignatius Dewanto.  

Dua Maret 1957, Permesta (Perjuangan Semesta) diproklamasikan di 
Makassar dengan dukungan 50 orang tokoh militer dan sipil Indonesia 
Bagian Timur. Berbarengan dengan proklamasi Permesta, Letkol H.N. 
Ventje Sumual, Panglima Tentara dan Teritorium VII/Indonesia Timur 
(TT/VII) Wirabuana menyatakan seluruh wilayah TT-VII dalam keadaan 
darurat perang serta berlakunya Pemerintahan Militer. 

Perundingan-perundingan yang dilakukan antara pemerintah pusat yang 
dalam hal ini Presiden Soekarno dengan Permesta serta Dewan Banteng 
(PRRI) di Sumatera tidak mampu menyelesaikan rasa ketidakpuasan 
daerah-daerah bergolak terhadap kebijaksanaan Pusat yang dianggap 
sangat merugikan kepentingan (pembangunan) daerah. 

Dengan dukungan Amerika Serikat (AS) awal tahun 1958, tidak kurang 10 
pesawat pembom-tempur plus para penerbang bayarannya muncul di 
wilayah Sulawesi Utara dengan mengambil basis lapangan terbang 
Mapanget (sekarang Bandara Sam Ratulangi), yang selanjutnya menjadi 
inti kekuatan militer Permesta. Pada 13 April 1958, lapangan terbang 
Mandai (sekarang Bandara Hasanuddin) Makassar dibom oleh Angkatan 
Udara Revolusioner (Aurev) Permesta di bawah pimpinan Mayor Petit 
Muharto. Menyusul Pelabuhan Donggala, Balikpapan, Ambon, Ternate, dan 
tempat lainnya menjadi target gempuran. Kapal perang TNI AL RI 
Hangtuah ­ satu dari empat korvet yang dihibahkan Belanda yang sedang 
buang sauh di pelabuhan Balikpapan, dibom hingga kemudian tenggelam. 

Pada 29 April 1958, satu batalion Permesta di bawah pimpinan Mayor 
Nun Pantouw menduduki Morotai. Dari pulau kecil ini Nun Pantouw 
menggeser pasukannya menyeberang ke Pulau Halmahera hingga menduduki 
Jailolo yang berada di bagian tengah Halmahera. Melihat perkembangan 
ini, Pangdam XV Pattimura Kolonel Herman Piters segera mengadakan 
rapat khusus dengan seluruh staf inti Kodam. Dari Jakarta muncul 
permintaan laporan situasi terakhir dari Kepala Staf Angkatan Darat 
(KSAD) Jenderal AH Nasution, KSAL Laksamana Subyakto dan KSAU 
Laksamana Suryadi Suryadarma. Laporan yang sama juga diberikan ke 
istana atas permintaan Bung Karno. 

Berdasarkan data yang diterima dari wilayah Indonesia bagian timur 
inilah, segera disiapkan satu kekuatan pemukul untuk merebut kembali 
Pulau Morotai secara khusus dan wilayah Indonesia bagian timur 
umumnya yang telah dikuasai Permesta. Pulau Morotai sendiri sangat 
strategis, dengan lapangan terbang yang terkenal sejak Perang Dunia 
II. Morotai pernah diduduki pasukan AS di bawah komando Jenderal 
Douglas Mac Arthur dalam "Operasi Lompat Kodok" pasukan Sekutu 
sebelum menuju Tokyo pada PD II. 

Pertengahan Mei 1958, satu armada yang didukung oleh beberapa kapal 
perang, kapal pengangkut, dan penyapu ranjau, bergerak dari Pelabuhan 
Halong, Ambon, menuju Morotai. Pada 18 Mei 1958 pagi ketika armada 
sedang bergerak di luar Pulau Ambon, sebuah pesawat pembom Aurev B-26 
Invader datang menyerang. 

Letkol Herman Piters, komandan "Operasi Mena I" yang berada di atas 
kapal pengangkut pasukan RI Sawega punya catatan sebagai 
berikut: "Sekitar jam tujuh pagi 18 Mei 1958, saat kami sedang 
bersiap-siap untuk makan pagi, sayup-sayup terdengar bunyi pesawat 
terbang. Saya yang berada di atas kapal Sawega bersama Mayor Laut 
Sudomo memerintahkan seluruh pasukan bersiap. Kapal-kapal perang yang 
dilengkapi peralatan mutakhir (kala itu) bergerak cepat dalam formasi 
tempur. Kapal pengangkut Sawega dijaga ketat. Berbarengan bunyi 
pesawat terbang, saya lihat bintik-bintik datang dari balik awan. 
Saya berteriak pesawat musuh pesawat musuh siap siap. Benar dugaan 
saya. Dengan kecepatan tinggi, pesawat yang kemudian kami kenal 
sebagai B-26 muncul sangat rendah. 

Kedatangan pesawat yang tidak punya tanda-tanda itu kami sambut 
dengan rentetan tembakan. Penangkis serangan udara yang ada di atas 
kapal perang memuntahkan tembakan-tembakan gencar. Pertempuran udara 
dan laut berkobar. Sebuah bom yang dijatuhkan dari B-26 meledak pada 
jarak hanya kira-kira 50 meter dari buritan Sawega. Kapal berguncang. 

Ketika B-26 akan menukik lagi untuk mengadakan serangan tiba-tiba, 
saya lihat api mengepul di B-26. Terbakar! Dalam keadaan terbakar itu 
nampak pesawat berusaha untuk naik dan membelok ke arah timur. Namun 
tidak berhasil, malah jatuh ke laut. Dua parasut muncul dari dalam 
pesawat yang sedang terbakar. Kami bersorak. Kedua parasut jatuh di 
sebuah pulau kecil. 

Saya bersama beberapa orang perwira dan prajurit KKO Marinir dengan 
perahu karet bermotor menuju pulau tempat jatuhnya kedua parasut. 
Kami temukan dua orang anak buah B-26 yang tertembak. Sesudah 
diperiksa ternyata seorang berkebangsaan Amerika bernama Allan 
Lawrence Pope dan seorang lagi berdasarkan dokumen yang dia bawa 
bernama Pedro kelahiran Davao, Filipina, 1930 (dialah Harry Rantung, 
kopral AURI di pangkalan Morotai yang kemudian bergabung dengan 
Permesta). 

Dokumen yang ada di tangan Pope disita. Namun sebuah dompet yang 
berisi uang dan selembar foto (istrinya) dikembalikan. Dari dokumen 
yang ada diketahui Pope punya kode 11 (sebelas) sebagai tentara 
sewaan yang digerakan CIA (Central Intelligence Agency) untuk 
mengacau Pasifik." Demikian penuturan Piters kepada penulis di Desa 
Poka, Ambon, 28 Juni 1996. 

Versi Rantung 

Penuturan Piters ini ditambahkan oleh Harry Rantung dalam percakapan 
dengan penulis yang secara tidak sengaja menemuinya di atas kapal 
penumpang Arumarinir ­ kapal penumpang yang dicarter PT Pelni untuk 
melayani rute Jakarta-Indonesia Timur pada 1963. Berikut 
pengakuannya. 

"Pada tanggal 15 Mei 1958 subuh, saya dan Allan Pope dengan B-26 
terbang dari lapangan udara Mapanget. Sasaran utama Ambon. Ketika 
memasuki pelabuhan Ambon, penangkis udara menyambut kedatangan kami. 
Allan Pope yang punya pengalaman tempur sejak dari Perang Korea, 
santai saja menuju sasaran. Sebuah bom dijatuhkan di lapangan 
terbang. Tembakan senapan mesin diarahkan ke kubu-kubu pertahanan 
yang tersebar di sekitar lapangan terbang dan pinggiran Kota Ambon. 
Pertempuran jadi ramai. Pope tanpa ampun menghantam obyek-obyek 
militer. 

Saya, Rantung, sebagai operator radio melapor ke Manado (Markas 
Permesta) tentang operasi yang sedang berlangsung di Ambon. Ketika 
meninggalkan wilayah Ambon, cuaca cukup cerah. B-26 yang digunakan AS 
pada PD II itu masih lincah. Ketika pesawat berada pada ketinggian 
sekitar 10.000 kaki, Pope bicara kepada saya. "Bung, coba lihat arah 
bawah, saya lihat ada titik-titik dalam jumlah cukup banyak. Dugaan 
saya konvoi kapal," kata Pope. Apa yang dilihat dari ketinggian 
10.000 kaki itu, kami laporkan ke Manado. Manado instruksi untuk 
diteliti. 

Atas instruksi Manado itu, Pope turun dari ketinggian 10.000 kaki. 
Sampai pada ketinggian sekitar 4.000 kaki, jelaslah bagi kami bahwa 
titik-titik itu adalah konvoi armada yang sedang melaju dalam 
kecepatan tinggi menuju utara. Pope melaporkan lagi ke Manado bahwa 
yang mereka lihat adalah satu konvoi armada kapal perang dan 
pengangkut Republik Indonesia. Untuk itu dia minta instruksi Manado. 
Hanya dalam waktu tidak cukup satu menit, datang instruksi dari 
Manado yang meminta agar armada yang sedang bergerak ke arah utara 
itu diserang. 

Tanpa banyak komentar, Pope turun pada ketinggian hanya beberapa 
meter di atas permukaan laut. Saat itu jelas terlihat kapal 
pengangkut ukuran besar bernama Sawega penuh pasukan dan tank 
pendarat (amfibi). Allan Pope dengan pengalaman tempur yang cukup, 
langsung menukik dan menjatuhkan bom. Sasarannya Sawega. Namun 
meleset hanya beberapa meter dari buritan kapal. 

Berbarengan dengan jatuhnya bom, datang rentetan tembakan pengangkis 
udara dari kapal-kapal perang yang mengawal Sawega. Saat itu saya 
melapor ke Manado bahwa pertempuran sudah berkobar. "Kami sudah 
menyerang dengan bom, tetapi sayang meleset," lapor saya ke Manado. 

Sesudah menghamburkan peluru maut dari mulut pesawat ke atas geladak 
kapal, Pope berputar dan naik pada satu ketinggian. Saat itu kami 
merasa ada goncangan keras. "Kita kena tembak, pesawat terbakar, 
segera lapor Manado," kata Pope. 

Api berkobar di bagian ekor pesawat. Manado sudah menerima laporan 
tentang tertembaknya B-26 itu dan menginstruksikan agar kami berusaha 
untuk terbang ke arah Irian Barat. Dengan segala keahliannya, Pope 
berusaha mengendalikan B-26. Pope berusaha untuk berputar dan naik. 
Tetapi tidak bisa. Kobaran api semakin menjadi. Menghadapi situasi 
yang sangat gawat, Pope memerintahkan saya untuk terjun. Kami jatuh 
di sebuah pulau kecil. Paha Pope robek. 

Dari pinggangnya Pope mencabut pistol dan menyerahkan kepada saya. 
Kemudian dia membuka mulut, maksudnya agar saya tembak. No no, tolak 
saya. Beberapa saat kemudian dua buah perahu karet merapat. Satu regu 
Marinir langsung mengepung. Pope dan saya dibawa ke atas perahu 
karet. Dalam pemeriksaan awal, saya mengaku bernama Pedro, 
berkewarganegaraan Filipina. Akan tetapi saya tidak bisa 
menyembunyikan samaran. Soalnya di atas Sawega kebetulan ada seorang 
sersan AURI satu angkatan dengan saya di Morotai." 

Dengan kondisi terluka di paha, Pope dinaikkan ke atas Sawega, lalu 
didudukan. Kepada Piters, Pope meminta rokok dan wiski. "Kebetulan 
saya punya satu kaleng rokok 555 dan sebotol wiski. Ketika 
disodorkan, Pope tersenyum dan bilang, "Thanks." Saya ganti kemejanya 
yang kotor dengan kemeja milik saya pribadi. Sesudah itu Pope geleng-
gelengkan kepalanya. Selalu saya unggul (dalam pertempuran udara), 
kali ini Indonesia yang unggul," kata Piters menceritakan dialognya 
dengan Pope. 

Tertangkapnya Pope dilaporkan ke Jakarta. Tapi tidak segera diumumkan 
dengan maksud untuk tetap menjaga kerahasiaan operasi di Morotai yang 
masih dalam tahap penuntasan. 

Allan Pope dijatuhi hukuman mati dan Rantung diganjar 15 tahun. Namun 
pemerintah AS berusaha keras untuk menyelamatkan Pope. Jaksa Agung AS 
Robert Kennedy diutus ke Jakarta menemui Presiden Soekarno. Dalam 
kunjungannya, Kennedy membawa surat Presiden Dwight D. Eisenhower 
yang isinya minta kebijaksanaan Soekarno agar Pope bisa bebas. 
Disamping itu, istri Pope yang cantik diterbangkan dari AS untuk 
secara khusus menghadap Bung Karno. Konon, Bung Karno menerima dengan 
penuh keramahan. Kekaguman Bung Karno kepada wanita cantik, 
dimanfaatkan AS untuk membujuk sang presiden. 

Kata Rantung lagi, satu ketika menjelang subuh pada Februari 1962, 
dia dan Pope yang dalam status terpidana didatangi beberapa anggota 
CPM bersenjata lengkap. Keduanya diminta ikut. Pope diminta mengemasi 
milik pribadinya, sedangkan Rantung diperintahkan ikut saja tanpa 
perlu membawa apa-apa. Di luar penjara sudah menunggu sebuah panser. 
Mereka naik, sesaat kemudian kendaraan melaju kencang ke arah yang 
mereka tidak tahu. CPM tidak ngomong sepatah katapun. Rantung buka 
mulut yang diarahkan ke Pope, "Kira-kira ada apa, ya?" Pope yang 
terlihat tenang menjawab, "Saya tidak tahu, tapi saya kira mereka 
tidak berani berbuat apa-apa kepada kita," kata Pope enteng karena 
tahu pemerintahnya sudah mengirim utusan khusus. 


Di Pulau Halmahera, Operasi Mena I (Mena berarti menang) di bawah 
pimpinan Kapten Suptandar berhasil merebut kembali Jailolo dari 
tangan Permesta. Jailolo merupakan kota cukup strategis di Halmahera 
dengan lapangan terbangnya yang pernah digunakan oleh Jepang pada PD 
II. Operasi tidak berjalan mulus. Medan terlalu berat hingga hampir 
tidak ada samasekali hubungan darat. 

Letnan Thom Nusi, mantan Komandan Baret Merat RMS (Republik Maluku 
Selatan) yang memimpin satu kompi Pattimura Muda terlibat dalam 
pertempuran sengit dengan pasukan Permesta yang bertahan di atas 
bukit-bukit kecil di pinggiran timur laut Jailolo. Walau pasukan 
Permesta dapat dipukul mundur hingga lari ke pedalaman Halmahera, 
beberapa orang anggota Nusi terluka. Karena medan sangat berat Kapten 
Suptandar, Komandan Operasi Mena I memutuskan naik kapal Bekaka 
ukuran 100 ton untuk bertolak menuju Desa Ibu yang terletak di 
pesisir barat Halmahera Tengah. Maksud Suptandar akan mengadakan 
gempuran dengan memotong dari pantai Desa Ibu. Perhitungannya dari 
Ibu untuk menjangkau pedalaman Halmahera lebih mudah. Akan tetapi 
pasukan bergerak ke arah pedalaman, hingga pasukan Suptandar mendapat 
perlawanan keras. Dua orang komandan peleton melapor bahwa medan 
sangat berat. 

Menghadapi medan yang sangat berat itu, Kapten Suptandar didampingi 
beberapa orang staf dengan kapal Bekaka menuju Morotai yang telah 
diduduki akhir Mei 1958. Tiba di Morotai, mereka langsung menuju 
markas AURI. Di lapangan berjejer beberapa buah pesawat tempur P-51 
Mustang (cocor merah) dan pembom PBY-5A Catalina. Dua penangkis 
serangan udara terlihat siaga di ujung landasan. Namun yang 
menimbulkan pertanyaan bagi saya, bendera setengah tiang berkibar di 
depan markas pangkalan. Belakangan saya ketahui, pengibaran bendera 
itu untuk menghormati tertembaknya P-51 yang diterbangkan Letnan 
Udara I Nayarana Soesilo oleh gerilyawan Permesta yang masih tersisa 
di sekitar landasan pada operasi udara 15 Mei 1958 yang dipimpin 
Mayor Leo Wattimena. 

Tiga orang berpangkat mayor udara menerima kami ­ Suptandar, 
ajudannya, dan saya. Dua orang langsung saya kenali karena wajahnya 
sering muncul di surat kabar. Mereka adalah Mayor (Pnb) Leo Wattimena 
dan Mayor (Pnb) Omar Dhani. Yang seorang saya tidak kenal. Tapi 
sepertinya penerbang Catalina. Ketiga penerbang itu masih muda, tegap 
dan gagah. 

Omar Dhani dan Leo Wattimena keduanya dikenal sebagai penerbang jet 
pertama yang pernah mendapat pendidikan di Inggris. Di Morotai, Leo 
dan Omar Dhani sebagai pimpinan dalam penyerangan ke kubu-kubu 
pertahanan Permesta di Minahasa, Sulawesi Utara. Waktu Morotai masih 
diduduki Permesta, Leo dan Omar Dhani merupakan penerbang-penerbang 
yang punya misi khusus dalam operasi jarak jauh Ambon-Manado. Ketika 
Morotai telah diduduki TNI, serangan udara Morotai-Manado lebih 
diintensifkan. Kepada Leo dan Omar Dhani, Kapten Suptandar 
membeberkan situasi terakhir di Pulau Halmahera, utamanya medan yang 
sangat berat. Dilaporkan tentang pasukan Permesta yang telah berhasil 
dipukul mundur sejak dari Desa Tauro dan Jailolo. 

Dengan alasan medan yang sangat sulit, Suptandar minta bantuan AURI 
untuk melumpuhkan pemusatan Permesta di pedalaman Halmahera. Leo dan 
Omar Dhani pada prinsipnya siap membantu, sejauh memang menyangkut 
keselamatan negara. Tetapi kata mereka, ada sedikit persyaratan yang 
menghambat yaitu bahwa setiap operasi melalui udara perlu diketahui 
oleh KSAU. 

"Lalu bagaimana?" tanya Suptandar. Sesudah dipertimbangkan secara 
matang oleh kedua perwira AURI itu, Leo berkata, "Baiklah, besok 
sekitar jam sembilan pagi, sesudah saya dan Pak Omar Dhani kembali 
dari operasi udara di Manado-Minahasa, kami akan singgah dan membantu 
Anda dari udara," janji Leo. Perwira bertubuh gempal itu lalu meminta 
peta pemusatan pasukan Permesta di sektor pedalaman Desa Ibu. 
Suptandar membuat gambar Pulau Halmahera di atas secarik kertas. Ia 
memberikan tanda-tanda khusus di pedalaman Desa Ibu. Gambarnya sangat 
kasar dan hanya merupakan perkiraan. Leo dan Omar Dhani memperhatikan 
peta buatan Suptandar, lalu mereka mengambil peta asli Halmahera. 
Sesudah menatap beberapa menit, Leo mengangguk. "Oke oke bisa, bisa. 
Pak Suptandar siap-siap saja di sana besok pagi," kata Leo.

Kami segera pamit. Dapat oleh-oleh dua kaleng biskuit. Kapal Bekaka 
sebagai kapal komandan kembali melaju menuju perairan Ibu. Pagi-pagi 
Suptandar telah menyatu dengan pasukan induknya di pesisir pantai 
Desa Ibu. Kapal-kapal pengangkut pasukan berjejer pada jarak sekitar 
200 meter dari tepi pantai. Suptandar memberitahukan kepada seluruh 
pasukannya bahwa pagi itu akan datang dua buah pesawat Mustang AURI 
untuk membantu memberikan tembakan dari udara. 

Beberapa menit menjelang jam sembilan pagi, muncul dari arah barat 
dua buah pesawat Mustang yang terbang rendah hampir rata dengan 
permukaan laut (on the deck). Mendekati Desa Ibu, kedua pesawat 
terbang meninggi dan kemudian membuat dua kali putaran. Keduanya 
mengelilingi empat kapal pengangkut yang sedang berlabuh. Sebuah dari 
Mustang itu seakan-akan menari, merendah turun naik di atas permukaan 
laut. Sesudah itu keduanya terbang tinggi menghilang ke arah timur 
menuju pedalaman Halmahera. Beberapa menit kemudian terdengar 
berondongan peluru maut dimuntahkan dari kedua pesawat Mustang. 
Kemudian kedua Mustang muncul lagi, merendah, berayun-ayun, seakan-
akan menyampaikan selamat bertempur kepada seluruh pasukan yang ada 
di Desa Ibu. 

Beberapa hari kemudian, Radio Australia yang cukup populer di Maluku 
menyiarkan berita tentang munculnya Mayor Nun Pantouw dan pasukannya 
di Irian Barat yang waktu itu masih dijajah Belanda. Penduduk Desa 
Kao (Teluk Kao) dan Desa Maba di pesisir timur Pulau Halmahera 
sebagai saksi mata mengatakan, pasukan Permesta turun dari hutan 
Halmahera tengah menuju Teluk Kao. Dengan perahu-perahu kecil mereka 
menyeberangi Teluk Kao, untuk selanjutnya memotong gunung tiba di 
Desa Maba. Dari Maba dengan menggunakan perahu menyeberang ke Irian 
Barat.
-----------------

Demikianlah secarik lembaran sejarah. Saya masih duduk di SMP kala 
itu, dan mengikuti tiap berita pertempuran dengan seksama. Maklum ini 
pertempuran besar pertama setelah usai Revolusi.

Salam

Danardono





***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke