MEDIA INDONESIA
Kamis, 23 Juni 2005

Korupsi Membelit Birokrasi Agama
Ahmad Gaus AF, Direktur Voice of Pluralism and Peace, Jakarta



DEPARTEMEN Agama (Depag) bukanlah institusi yang suci. Oleh sebab itu, masalah 
korupsi yang belakangan ini menyeret para pejabat dan institusi Depag, tidak 
harus dipandang 'istimewa', hanya lantaran departemen ini berlabel agama. Tidak 
sepatutnya agama diseret-seret dalam kasus-kasus korupsi. Tidak sepatutnya 
pula, penangkapan para birokrat agama dalam kasus korupsi lalu menjadi moral 
laundry bagi para 'koruptor sekuler' untuk boleh merasa lega karena secara 
moral mereka lebih awam dari 'koruptor religius'.

Korupsi tetaplah korupsi. Dilakukan oleh agamawan ataupun ateis, bencana yang 
diakibatkan korupsi sama saja. Jika di Depag korupsi terkutuk, di departemen 
lain pun ia tetap terkutuk, tidak lantas menjadi 'wajar' karena di situ tidak 
ada agama. Korupsi bukanlah soal agama. Secara etis ia adalah masalah moral dan 
kemanusiaan, karena pengkhianatan atas amanat rakyat dan merugikan orang 
banyak. Dan secara politis ia masalah sistem yang lemah. Oleh sebab itu, 
seorang ateis sekalipun bisa saja bersih dari praktik korupsi karena sistemnya 
tidak memungkinkan dia untuk berlaku korup. Sebaliknya, seorang yang religius 
bisa sangat korup karena sistemnya memungkinkan dia untuk korupsi. Jadi, 
korupsi lebih merupakan masalah sistem, bukan soal taat atau tidaknya seseorang 
beragama.

Oleh karena itu, pernyataan bahwa Depag harus dibubarkan, hanya lantaran di 
situ banyak korupsi, dilihat dari sisi ini jelas berlebihan. Sebab, jika logika 
itu yang digunakan, semua departemen harus dibubarkan. Karena tidak ada satu 
departemen di Tanah Air ini yang bebas korupsi. Bukan hanya departemen, seluruh 
instansi swasta maupun pemerintah, rantai birokrasi yang terentang dari hulu 
sampai hilir, semua diindikasikan korup. Lebih dari sekadar budaya, korupsi 
telah menjadi peristiwa birokrasi yang dianggap lumrah di mana-mana.
***

Depag memang sejak lama dicibir sebagai institusi yang korup. ''Depag sudah 
seperti sarang penyamun. Praktik mark up proyek dan KKN telah menjadi budaya, 
maka wajar rakyat menyebut sebagai penyamun berjubah agama,'' ujar seorang 
pendemo di depan Kantor Depag Jakarta, Senin (20/6), sebagaimana dikutip situs 
PesantrenOnline.com.

Tapi korupsi di Depag, sekali lagi, tidaklah istimewa. Ia hanya cermin 
suryakanta yang memantulkan bayangan sistem yang korup dan budaya korupsi di 
negeri ini dengan gambar yang lebih besar. Di negeri yang dikenal religius, 
agama selalu dimintai pertanggungjawaban atas segala kebobrokan moral yang 
terjadi. Tetapi, serta-merta menjadikan agama dan institusi agama sebagai 
kambing hitam hanya akan mengaburkan persoalan yang sesungguhnya. Dalam politik 
modern, praktik korupsi harus dilepaskan dari dominasi isu budaya, apalagi 
agama, dan didorong menjadi persoalan membangun sistem yang bersih serta 
disangga oleh political will yang kuat. Tanpa itu, pemberantasan korupsi dan 
penegakan good governance hanya akan menjadi ilusi kaum moralis.

Survei lembaga Transparency International menyatakan, Indonesia termasuk 10 
negara terkorup di dunia bersama-sama Tajikistan, Turkmenistan, Azerbaijan, 
Paraguay, Chad, Myanmar, Nigeria, Bangladesh, dan Haiti. Fakta bahwa Indonesia 
adalah bangsa religius (taat agama) tetapi pada saat yang sama juara dalam 
peringkat negara terkorup, menunjukkan bahwa religiositas dan perilaku korup 
memiliki korelasi yang lemah. Ini bukan berarti kita pesimistis terhadap peran 
agama dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dipelopori oleh NU dan 
Muhammadiyah. Yang ingin ditekankan ialah bahwa agama tidak akan cukup powerful 
untuk menanggulangi persoalan korupsi sendirian. Nilai-nilai agama mendorong 
para pemeluknya untuk menghindari perilaku keji seperti korupsi. Tetapi di 
dalam praktik, nilai saja tidaklah cukup. Ia, sekali lagi, harus disangga oleh 
sistem yang kuat dan political will yang juga kuat.

Political will yang kuat itu saat ini justru sudah mulai tumbuh di lingkungan 
Depag. Menteri Agama (Menag) M Maftuh Basyuni menyatakan, dirinya bertekad 
menciptakan Departemen Agama yang dipimpinnya menjadi departemen yang paling 
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga menjadi anutan bagi 
departemen lain. Termasuk dirinya, katanya, siap diperiksa jika diperlukan 
dalam pengusutan kasus korupsi.

Dalam sambutan pada acara pembukaan pentaloka manajemen strategis pejabat 
eselon II Depag di Jakarta, Senin (20/6), Menag mengatakan, pemerintah telah 
mencanangkan gerakan percepatan pemberantasan korupsi. ''Ini memerlukan 
keberanian dan kesungguhan. Saya minta agar seluruh jajaran Depag mendukung 
gerakan ini,'' ujar Menag Maftuh Basyuni. Ia juga mengaku, sejak dirinya 
diangkat dan dilantik sebagai menteri sudah melakukan kontrak politik untuk 
membasmi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi di instansi 
departemen yang dipimpinnya.

Ini contoh political will. Tugas Depag selanjutnya membangun sistem yang bersih 
dan kuat. Kebobrokan birokrasi Depag selama ini bermula dari lemahnya sistem. 
Akibatnya, banyak kebijakan yang merupakan improvisasi personal para pejabat 
yang 'kreatif'. Tidak mengherankan jika para aktivis yang tergabung dalam 
Koalisi Rakyat untuk Perubahan Departemen Agama (Korup Depag) yang berunjuk 
rasa di kantor Depag, menuding departemen itu sebagai sarang penyamun. Betapa 
tidak, seorang penguasa Depag bisa memiliki tidak kurang dari 20 kewenangan 
yang menjadikannya sangat powerful dan seolah menjadikan dirinya sebagai 
komisaris utama dalam sebuah bisnis travel beromzet Rp5 triliun.

Yang tidak kalah hebat ialah kewenangan menunjuk pelaksana transportasi haji 
dan kekuasaan untuk menyediakan akomodasi haji, di mana penguasa Depag diberi 
kewenangan penuh menentukan rekanan bisnis yang menyediakan dua sarana itu 
tanpa tender. Ini membuka peluang bagi penguasa Depag untuk bermain dengan 
segelintir pengusaha.

Lagi-lagi, penyakit kelemahan sistem ini jelas bukan hanya milik institusi 
Depag. Jika mau diberi makna spiritual, prinsip-prinsip good governance itu 
bisa dipahami sebagai pelaksanaan sifat-sifat shiddiq (transparency), amanah 
(accountability), tabligh (communicatibility), fathanah (intelligency), dan 
istiqamah (consistency). Dengan mentransendensikan prinsip-prinsip tersebut, 
maka good governance bukan hanya merupakan sistem yang kuat tetapi juga 
merupakan sikap pribadi yang kuat (political will). Penggabungan kedua unsur 
tersebut akan menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi dan penegakan good 
governance yang sedang digalakkan oleh pemerintahan SBY.***

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke