ANGKASA ANGSA LIAR 

[16]


TEMU SASTRAWAN BORNEO- KALIMANTAN DI SANDAKAN [2].



Temu sastrawan Borneo-Kalimantan ini jika dilihat dari segi meluaskan cakrawala 
atau langit pandangan, ia mempunyai arti penting. Saya, termasuk yang menganut 
dan menganjurkan desentralisasi pembangunan kebudayaan di negeri ini, karena 
menganggap konsep Republik dan Indonesia masih suatu konsep agung yang belum 
terwujud. Belum terwujud tidak berarti tidak bisa dilaksanakan. Dengan menganut 
prinsip desentralisasi yang sesuai dengan "bhinneka tunggal ika", saya menolak 
kepongahan sentralisme, yang sekarang secara kongkret adalah Jakarta sentris. 
Saya menganggap? Jakarta sentris adalah jalan buntu untuk pengembangan 
kebudayaan di negeri, bahkan jika diusut bisa jadi anti kemanusiaan atas nama 
budaya.

Secara kongkret dalam mewujudkan desentralisasi budaya ini saya menyokong 
konsep Halim HD dan teman-teman tentang "sastra-seni kepulauan" dan tegas 
menolak konsep kebudayaan Indonesia sebagai "puncak-puncak kesenian daerah" 
yang hakekatnya akan jadi domonasi kekuasaan, khususnya bisa menjurus ke 
Javanisasi yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan konsep republik dan 
Indonesia sebagai politik budaya.Sastra-seni kepualauan adalah sastra seni yang 
mendorong perkembangan sastra seni di berbagai daerah, pulau dan etnik tanpa 
mendorongnya menjadi daerahisme, ethnosentrisme, pulauisme yang sektaris dan 
berbahaya, bahkan anti kebudayaan sama berbahayanya dengan Jakarta sentras yang 
otoriter.

Dengan pandangan ini maka saya sangat mendorong pengembangan-pengembangan 
komunitas-komunitas sastra-seni di berbagai daerah seperti Komunitas Terapung 
di Palangka Raya, Sanggar Sastra Tasikmalaya, Rumah Dunia pimpinan Gola Gong di 
Banten, kegiatan sastra-seni buruh migran, Lingkom di Batu, Komunitas Gunung di 
Lumajang, JPK di Kaltim, di Tegal, dan komunitas-komunitas sastra-seni lainnya 
di berbagai daerah dan pulau, lebih-lebih jika mereka bergerak di daerah 
terpencil seperti Rumah Dunia di Banten atau Komunitas Gunung di Lumajang. Saya 
menganggap ini adalah suatu alternatif berperspektif untuk pembangunan 
kebudayaan Indonesia dan keindonesiaan serta republik, dan bukan seperti yang 
dilakukan oleh penganut Jakarta sentris.

Saya membayangkan pada suatu ketika bahwa komunitas-komunitas sastra-seni akan 
bisa melakukan suatu pertemuan nasional untuk tukar pengalaman, mempererat 
kerjasama dan merumuskan plan bersama, strategi kebudayaan bersama melalui 
pertemuan nasional dari akar rumput. Keikut-sertaan pemerintah tidak ditolak 
tapi tidak lebih dari peserta biasa. Pertemuan nasional antar komunitas 
sastra-seni begini kukira tidak terlalu utopis jika kita bersandar pada 
kaki-sendiri tanpa menolak bantuan pelaksananaannya dari mana pun asal tidak 
mendikte. Tentu saja persiapan-persiapannya patut dilakukan secara cermat.

Dalam konteks ini, saya melihat Temu Sastrawan Borneo-Kalimantan yang ke-VIII 
temrasuk dalam kerangka konsep kebudayaan republiken dan kemajemukan. Karena 
Indonesia pada galibnya adalah tidak jauh dari kemajemukan budaya. Lebih jauh 
dari konsep Indonesia, Temu Sastrawan Borneo-Kalimantan adalah gejala dari 
keterbukaan menolak tutuppintuisme dan sektarisme yang sama dengan jalan buntu, 
tidak tanggap zaman, anti sejarah dan bahkan tidak sesuai dengan hakekat 
kebudayaan itu sendiri. 

Saya tidak tahu apakah konsep begini juga dimiliki oleh penyelenggara dan para 
peserta? Saya hanya bisa berharap karena jika ia disadari maka Temu sastrawan 
Borneo-Kalimantan akan punya perspektif dan menjawab zaman. Sastrawan yang 
bertangungjawab kukira bukan hanya orang yang berkilah dengan estetisme murni 
yang konyol untuk menutup ketidakmampuan berpikir, tapi justru menggerakkan 
otak menawarkan alternatif. Jangan dikira abstraksionisme Picasso tidak 
dibarengi dengan konsep tawaran.Karena itu saya merasa sedih ketika saya 
mengantar seorang cendekiawan dan aktivis LSM [Lembaga Swaya Masyarakat] Dayak 
ketika saya tunjukkan Montmartre Paris dan pergulatan para senimannya, ia 
dingin tidak memperlihatkan kegairahan sama sekali. Sedih karena agaknya ia 
masih jauh dari punya pemahaman tentang kebudayaan. Padahal memanusiawikan 
manusia, kehidupan dan masyarakat tidak sebatas mengurus bagaimana menjadi 
berduit.Pemberdayaan bagiku pertama-tama adalah pembudayaan. Pemberdayaan tanpa 
pembudayaan tanpa kebudayaan, kuanggap sama dengan menciptakan kan suatu sistem 
perbudakan tipe baru. Pemberdayaan jadi penjara dan bukan membebaskan. 
Pembangunan sejati tanpa pemberdayaan barangkali suatu nonsens. Ngedobos dengan 
menggunakan bahasa asing pada orang kampung!


Paris, Juni 2005.
----------------
JJ.KUSNI



[Bersambung...]

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke