MEDIA INDONESIA
Selasa, 28 Juni 2005
    

Wujud Neokolonialisme Baru
Batara M Simatupang, kandidat doktor Maastricht School of Management, 
Netherlands



MERUJUK buku Confessions of an Economic Hit Man atau 'Pengakuan (dosa) Seorang 
Penembak Ekonomi' yang diluncurkan Jhon Perkins di tahun 2004, ternyata buku 
ini telah membeberkan bagaimana sang aktor intelek memainkan peran penembak 
ekonomi yang mempunyai tugas utama untuk menggelembungkan utang negara ketiga 
yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Petualangan Perkins ini telah 
dimulai sejak 1971 dan konon Indonesia telah dijadikan sebagai target operasi 
(TO) oleh penembak ekonomi, dengan pada puncaknya negeri ini didera krisis 
keuangan yang sangat parah di 1997-1998.

Aktor ini telah berhasil dengan gemilang menjalankan perannya. Ia berhasil 
menggelembungkan utang Indonesia, dan kemudian muncul menjadi salah satu negara 
pengutang terkemuka di planet ini. Untuk Januari 2005 saja telah mencapai 
US$136,116 juta yang terdiri dari 58,27% pinjaman pemerintah; 38,51% pinjaman 
swasta; dan 3,22% dalam bentuk surat berharga (LB-EMP BI, April 2005).

Dari sisi internal, terciptanya akumulasi utang yang menggunung, tentu tidak 
terlepas dari segala trik dan manuver yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, 
yakni peruntukannya mungkin selama ini belum sepenuhnya didayagunakan untuk 
kepentingan rakyat atau negara, bahkan bisa saja terjadi kamuflase dalam bentuk 
pembelokan alokasi, baik itu untuk kepentingan golongan ataupun untuk 
kepentingan pribadi dan menjadikannya sebagai berhala baru, yaitu korupsi.
Dalam menjalankan aksinya, penembak ekonomi tidak saja menciptakan perangkap 
korupsi dan kesempatan itu tidak berdiri sendiri. Bersamanya ada juga permainan 
duniawi yang nikmat atau bahkan disertai tindakan aksi yang kurang bersahabat. 
Dapat dikatakan pekerjaan penembak ekonomi bukanlah pekerjaan seorang yang 
'waras' (baca: berlawanan dengan hati nurani) sehingga dia dengan sadar 
mengungkapkan secara terbuka ketidakwarasan yang diperankannya dari sang 
sutradara. Neokolonialisme baru

Dari wawancara Perkins pada 9 November 2004 dengan kantor berita Democracy Now 
di Amerika, ternyata Indonesia memang telah dijadikan target operasi yang 
secara sadar atau tidak secara perlahan telah masuk dalam perangkap. Dalam 
wawancaranya ia mengatakan, ''It was giving loans to other countries, huge 
loans, much bigger than they could possibly repay. One of the conditions of the 
loan, let's say a $1 billion to a country like Indonesia or Ecuador, and this 
country would then have to give ninety percent of that loan back to a US 
company, or US companies, to build the infrastructure''.

Jadi utang yang menggunung itu bukanlah terjadi sebagai suatu kebetulan atau 
kecelakaan, ia terjadi akibat akumulasi dari praktik-praktik neokolonialisme 
baru yang masuk sejak lama dan puncaknya meledak pada tahun 1997-1998. Mungkin 
akar masalahnya adalah pada kegiatan underground economy, baik yang dilakukan 
pihak asing maupun oknum domestik, dan akhirnya berujung pada kondisi ekonomi 
makro Indonesia yang rentan dari serangan spekulasi. Sayangnya, banyak anak 
bangsa yang kurang menyadari akumulasi ini terjadi, bahkan masih tega memancing 
di air keruh, baik itu menamakan kepentingan rakyat, bahkan juga memanfaatkan 
mahasiswa dan kelompok rakyat tertentu sebagai kendaraan politik mereka.

Pada saat yang sama kita dihadapkan pada proses internal kebijakan publik 
pemerintah. Proses yang ditampilkan pemerintah melalui kenaikan BBM adalah juga 
sebagai wujud 'neokolonialisme baru terhadap rakyatnya'. Model-model seperti 
ini sudah dapat dianggap wajar dan lumrah. Namun dapat dihipotesiskan, wujud 
neokolonialisme hanya berganti baju dan ditata lebih apik lagi, dengan tujuan 
akhir bagi kemaslahatan bagi rakyat. Namun, sayang dalam praktiknya belum 
tampak nyata.

Pemerintah jelas memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan otoritas yang 
ada di tangannya. Artinya, kalau penguasa tidak mau memerhatikan kepentingan 
rakyatnya secara kompromistis-logis, pada saat itulah praktik neokolonialisme 
pemerintah terhadap rakyatnya tengah berlangsung dengan sah. Kenapa sah? Karena 
pemerintah telah mendapat mandat dari rakyat dan terpilih sah secara demokratis.

Lihatlah praktik negara pada tingkat supermikro, rumah tangga misalnya. Apakah 
seorang anak dapat dengan sewenang-wenang diusir atau diperlakukan tidak wajar 
oleh orang tuanya? Tentu sang anak memiliki hak dan kewajiban, dan itu tetap 
melekat walau sekecil apa pun kelak yang ia dapatkan, dia sah menyandang 
predikat anak guna mendapatkan hak dan kewajibannya. Dengan alasan pengentasan 
kemiskinan, kenaikan harga BBM terpaksa dilakukan pemerintah untuk menutupi 
defisit, atau katakanlah menutup kebobolan APBN.

Apakah rakyat (seluruh rakyat, kaya dan miskin, berpendidikan atau tidak), 
tidak perlu mendapatkan haknya? Padahal, selaku anak bangsa yang menjadi ahli 
waris sumber daya alam yang ada di negeri ini mereka punya hak menikmatinya. 
Apakah kompensasi yang dihitung secara njelimet itu dapat menurunkan angka 
kemiskinan? Tidak dapat diragukan, output kebijakan publik yang dikemas dari 
ide orang per orang itu, pada dasarnya sudah melalui proses pengkajian ilmu 
ekonomi secara sophisticated, padahal kita tahu ilmu ekonomi adalah ilmu 
andai-andai, jadi alangkah ironisnya kalau nasib rakyat juga turut 
diandai-andaikan?

Bagaimana praktik ekonomi yang terjadi di pasar? Apakah benar alokasi biaya 
pendidikan dan pengobatan gratis dapat terwujud pada tingkat akar rumput? 
Apakah benar itu dapat menurunkan angka kemiskinan? Lihatlah juga, kalau kita 
ingin membangun masyarakat madani, kita tidak dapat membuat rakyat hanya 
menerima saja (seperti model kompensasi). Rakyat seharusnya tidak diberi ikan 
untuk makan, tetapi rakyat seyogianya diberi pancing untuk bisa menjadi 
masyarakat madani.

Pemerintah seyogianya harus lebih arif mendengar suara rakyatnya, kepentingan 
rakyatnya, bukan mengutamakan kepentingan konsultannya. Sebab, bagaimanapun, 
keputusan tetap berada pada pemerintah, bukan berada pada konsultannya. Tidak 
jarang kita saksikan, konsultan juga dapat menjadi mitra dalam mengegolkan 
kebijakan yang diinginkan pemiliknya. Inikah demokrasi yang kita inginkan?

Harga suatu demokrasi itu mahal, prosesnya perlu melibatkan rakyat, membutuhkan 
dana yang bukan sedikit (butuh proses edukasi) agar rakyat dapat melek akan hak 
dan kewajibannya, melek terhadap hukum yang melandasi kehidupan berbangsa dan 
bernegara, dan juga memahami bagaimana politik praktis dapat bergulir secara 
sehat. Sehingga bentuk-bentuk kebohongan publik semakin dapat ditekan.

Jadi jelaslah bagi kita, wujud neokolonialisme, apa pun bentuk dan kemasannya 
akan tetap eksis, ia tidak akan pernah mati. Ia akan selalu mengekor kepada 
orang/kelompok/penguasa/negara yang memegang kendali. Tinggal bagaimana kita 
mampu menatausahakannya, sehingga pola itu tidak semakin memurukkan kita, malah 
mengubahnya sebagai pendorong semangat untuk bangkit dari keterpurukan, 
sehingga gap yang terjadi semakin tipis! ***

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke