http://www.indomedia.com/bpost/062005/28/opini/opini1.htm
Mahalnya Bangku Sekolah Oleh: Taufik Arbain Satu bulan lalu, seorang teman menelepon saya. Ia mengeluhkan mahalnya biaya masuk TK bagi anak pertamanya di Kabupaten Banjar yang mencapai Rp500 ribu. Ia meminta problem ini diwacanakan dan dilakukan sebuah gerakan. Keluhan teman ini membuka kembali rekaman diskusi antar-NGO se-Indonesia di Jakarta satu tahun yang lalu yang membahas strategi bertahan hidup penduduk marjinal perkotaan, termasuk kesempatan mendapatkan pendidikan. Selang dua minggu berikutnya, teman-teman NGO Sanksi Borneo mengajak sharing pemikiran di hadapan perwakilan penduduk yang berasal dari kantong miskin kota Banjarmasin dan memiliki minat besar untuk menyekolahkan anak mereka. Kemudian dilanjutkan hearing dengan anggota parlemen kota yang terhormat. Dari banyaknya informasi dan data sulitnya penduduk kota ini yang ingin menyekolahkan anaknya, memberikan gambaran betapa mahalnya bangku sekolah hari ini bagi orang miskin. Mereka dihadapkan pada beragam item pembayaran: dari uang seragam, uang buku, uang bangku hingga tambahan uang membuat pagar sekolah, parkir, dan taman yang include dalam uang pangkal. Kalkulasi dari item pembayaran --yang mengagetkan-- mencapai Rp150 ribu hingga Rp500 ribu itu, yang harus dibayar orang miskin untuk menyekolahkan anak mereka. Namun di balik keluhan mereka, ada sebuah keterharuan. Yaitu, kuatnya semangat untuk menyekolahkan anak mereka meski harus menggadaikan barang yang nilainya tak seberapa untuk menutupi biaya pendaftaran agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Meskipun ini dilakukan seorang saja, sementara yang lainnya pasrah mengikuti rezeki kehidupan yang diberikan Tuhan. Dalam pandangan mereka diyakini, sekolah sebagai instrumen efektif dan tempat untuk mengubah nasib anaknya. Pertanyaannya adalah, bagaimana komitmen pemerintah dalam dunia pendidikan dan bagaimana peran dinas pendidikan dalam melihat realitas ini? Pertanyaan ini barangkali akan memiliki makna, ketika ada sebuah penelitian yang mengagetkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan partisipasi usia sekolah pada penduduk. Faktor utamanya bukan disebabkan oleh rendahnya fertilitas, tetapi realitas karena mahalnya sebuah bangku sekolah buat orang miskin. Ini sama halnya ketika kekagetan merebaknya kasus busung lapar (marasmus) yang melanda penduduk Indonesia, akibat kurang optimalnya pelayanan kesehatan selama ini. Orang Miskin Dilarang Sekolah Ivan Illich (2000) mengungkapkan pikirannya, bagaimana kapitalis telah mengubah kebersahajaan manusia untuk hidup dipaksa mengikuti peradaban baru yang diperkenalkan paham kapitalis. Pemenuhan kebutuhan hidup dalam paham tersebut harus dibarengi dengan adanya uang. Pandangan Illich sebagai fakta empirik sulitnya orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam konteks dunia pendidikan, pandangan Illich semakin memperjelas terminologi bahwa 'orang miskin dilarang sekolah'. Keluhan orang miskin perkotaan, misalnya, adalah kenyataan berapa banyak anak-anak terancam tidak bisa membaca, berhitung dan menulis. Generasi pertama yang mempunyai hak atas membaca, berhitung dan menulis tanpa sadar terpaksa terus dilarang memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini merupakan cermin etos kerja kita yang amat minimalis. Artinya, kita belum bisa memahami bahwa pintu pertama untuk memberi ruang kepada anak-anak untuk mengenal dunia membaca, berhitung dan menulis telah kita tutup rapat bagi orang miskin. Sikap minimalis telah dibalut oleh pandangan, untuk pintar harus punya duit, dan di dunia ini tidak ada yang gratis. Perlakuan ini menyebabkan sebagian kita bertindak individualis yang tidak bisa lagi memberikan ruang toleransi bagi orang lain. Celakanya, sikap minimalis ini merambah ke ranah pengambilan keputusan dan kebijakan (policy). Akibatnya lahirlah keputusan baik berupa dengan istilah uang pangkal, uang gedung maupun uang solidaritas pembangunan sekolah yang dilegalkan oleh organisasi bentukan seperti BP-3 pada masa lalu dan Komite Sekolah masa sekarang. Sampai hari ini, penduduk selalu diributkan oleh sulitnya 'membeli' bangku sekolah setingkat SD setiap tahun ajaran baru. Sementara kita sadari, kondisi penduduk sebagaimana banyak terjadi di negara berkembang tidak terlalu meributkan 'membeli' bangku setingkat SMA atau bangku kuliah, karena penduduk kelompok umur setara jenjang pendidikan tersebut telah diterjunkan ke dunia kerja. Sesuatu yang ironis ketika hari ini kita masih tidak memikirkan kebijakan yang berorientasi memudahkan penduduk untuk memasuki pintu pertama sekadar belajar membaca, menulis dan berhitung. Kekejaman kita hari ini dengan sikap minimalis, semakin menyiapkan kuburan buta huruf bagi generasi berikutnya. Maka, sulit berharap terjadi perbaikan HDI (Human Development Index) di daerah ini yang di antara indikatornya tingkat pendapatan penduduk, pelayanan kesehatan dan melek huruf (pendidikan), jika kita tidak pernah berpikir cerdas dan kreatif untuk sekadar memudahkan orang lain menjadikan anaknya bisa membaca, menulis dan berhitung. Legalitas Kebijakan Keliru Konsep pelaksanaan Komite Sekolah yang dikembangkan saat ini sebenarnya sarat tujuan mulia, bahwa setidaknya pendidikan tidak sekadar tanggung jawab pemerintah, tetapi oleh orangtua dan masyarakat. Secara teknis pendidikan di sekolah baik berkenaan proses belajar mengajar dan penyediaan fasilitas, membutuhkan dukungan stakeholder yang ada dan dibukanya kran untuk memberikan fleksibilitas dalam pencarian dana terhadap sebagian kebutuhan sekolah. Namun realitasnya, di ranah fleksibilitas pencarian dana untuk sebagian kebutuhan sekolah masih menggunakan cara konvensional. Mengandalkan iuran pada orangtua murid dan setiap tahun ajaran baru dibebankan pada calon murid dan orangtua murid, dengan istilah uang pangkal dan uang pembangunan. Rendahnya pemahaman pengurus Komite Sekolah, membawa konsekuensi hanya memberikan legalitas terhadap rancangan anggaran pembiayaan yang dibuat pihak sekolah termasuk masyarakat munculnya tuduhan pesta tahunan. Ketidakmampuan melakukan analisa terhadap item pembiayaan prioritas dan bukan prioritas, akhirnya berdampak membengkaknya kewajiban yang harus dibebankan pada orangtua dan calon orangtua murid. Dalam kondisi demikian, secara sosiologis bargaining position orangtua murid sangat rendah karena masih menguatnya faktor psikis katakutan terhadap nilai belajar anak yang akan didapat rendah. Ketika kebijakan demikian mayoritas diambil oleh mereka yang amat rendah sikap toleransi kepada sesama, yang menjadi korban adalah orang miskin yang tidak mampu bersuara apa-apa dan memutuskan anaknya untuk berhenti sekolah. Ditambah antrean orang miskin lain yang siap-siap mundur di depan pintu sekolah ketika ada pengumuman bertuliskan; Biaya Pendaftaran Murid Baru Rp500 ribu. Jadi, plang nama Dewan Pendidikan Kota patut dipertanyakan. Karena lembaga tersebut diharapkan mampu memberikan sharing pemikiran terhadap problem pendidikan masyarakat, ternyata begitu sombong dan angkuh. Pembentukan lembaga yang didasarkan sekadar akomodatif politik, benar-benar tidak berpihak kepada orang marjinal yang menjerit untuk 'membeli' bangku sekolah. Langkah Strategis Dalam konteks ini, Dinas Pendidikan semestinya tanggap dan memberikan arahan atas problema pengambilan keputusan yang otonom dilakukan pihak sekolah dengan Komite Sekolah. Setidaknya ada langkah identifikasi terhadap profil penduduk, berdasarkan wilayah geografis keberadaan sekolah di tengah penduduk yang berpenghasilan rendah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman, setiap kebijakan yang berkaitan dengan anggaran yang dibebankan pada calon orangtua murid mesti memahami kondisi tingkat pendapatan penduduk di mana sekolah tersebut berada. Implementasi kebijakan ini tentu akan berbeda dengan wilayah yang tingkat pendapatan penduduknya cenderung tinggi atau heterogen. Mahalnya biaya masuk sekolah bagi orang miskin di wilayah heterogen, diantisipasi dengan subsidi silang. Orangtua murid yang berpenghasilan tinggi memberikan subsidi kepada calon murid yang miskin, dengan rumusan kebijakan pemberian dispensasi 50 persen lebih murah atau gratis sama sekali. Diikuti persyaratan pendukung lainnya, semisal surat keterangan miskin sebagaimana tahapan keluarga sejahtera yang didata BKKBN (secara sosiologis kesulitan yang dihadapi barangkali adalah masih adanya mentalitas yang sombong dan gengsi). Berkaitan dengan persoalan minimnya fasilitas di sekolah yang tersebar di wilayah kantong miskin ini, menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan untuk memprioritaskan alokasi dana dan proyek infrastruktur agar lembaga ini tidak didakwa sebagai bagian yang turut memperbesar rendahnya partisipasi usia sekolah penduduk. Paling tidak langkah demikian sebagaimana arahan bahwa pihak sekolah diharapkan mampu mendahulukan penerimaan murid yang tinggal di sekitar sekolah, sebelum menerima murid dari luar wilayah sebagai upaya agar orang tetap bisa mendapatkan bangku sekolah. Itulah realitas yang menyayat di sekitar kita, ketika melihat bola mata anak kecil yang berkelahi dengan waktu di perempatan jalan menawarkan suara merdunya dengan pakaian yang lusuh sambil memainkan krecik-krecik (tamborin kayu), padahal saat itu adalah jam sekolah. Rupanya dalam hiruk-pikuk pilkada, ternyata mereka tidak juga mendapatkan tetesan dana pilkada buat bayar sekolah. Kasian memang! Staf Pengajar Fisip Unlam, tinggal di Banjarmasine-mail: [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/