http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/29/opi2.htm
tajuk rencana Rasa Keadilan dan Derita Psikologis Rakyat - Adakah hak rakyat untuk menyoal paradoks tentang rasa keadilan? Apakah rakyat hanya punya hak bertanya-tanya, bingung, kemudian bersikap apatis terhadap rasa keadilan? Apakah memang sepatutnya begitu: hukum tidak mungkin bisa dipahami oleh rakyat, karena memaparkan fakta-faktanya sendiri, dengan argumentasi dan logika yang hanya boleh dimengerti oleh sekelompok orang tertentu? Apakah seharusnya begitu: hukum yang mestinya menjamin tentang keadilan justru mendatangkan penderitaan psikologis, ketika rakyat merasa tertekan oleh kontroversi-kontroversi yang mengangakan kesenjangan? Salahkah ketika muncul kesan orang-orang kuat tampil makin kuat, dan mereka yang lemah makin terpinggirkan dalam meraih keadilan? - Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, dengan kemasan logika awam, tentulah mengemuka sebagai respons atas panggung keadilan dalam berbagai proses dan kemudian keputusan lembaga peradilan. Yang paling aktual, misalnya, keputusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang mengurangi vonis terpidana kasus penembakan hakim agung, Tommy Soeharto dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara. Kejanggalan-kejanggalan dalam keputusan tersebut telah disampaikan oleh para pakar hukum. Demikian juga dengan keputusan bebas Nurdin Halid dalam kasus korupsi pengadaan minyak goreng Bulog. Penyuapan yang dilakukan pengacara Abdullah Puteh kepada panitera pengadilan juga memperjelas selalu ada upaya membeli keadilan. - Rasa keadilan memang menjadi relatif manakala dilihat dari kacamata pelaku suatu tindak pidana dan korban. Tetapi juga bisa diobjektivitasi kalau ukuran-ukuran kemaslahatan publik yang lebih dimahkotakan. Di luar wilayah teori, rakyat sebenarnya bisa merasakan kepatutan dan ketidakkepatutan dalam jangkauan keputusan lembaga peradilan dengan fakta pelaksanaan hukum secara prosedural. Dan, bukankah pertimbangan sosiologis seharusnya berbicara dalam setiap langkah hukum? Misalnya, korupsi atau kecenderungan memperkaya diri sendiri di tengah kondisi kesenjangan sosial-ekonomi, logikanya tentulah mempertinggi tekanan penderitaan psikologis kepada rakyat. Begitu juga aksi-aksi mereka yang mempertontonkan kekuasaan. - Misalnya, mengupah pembunuh bayaran untuk menghabisi orang yang tidak disukai, dalam keadaan mabuk menembak orang, atau merasa tidak melakukan korupsi padahal terdapat bukti kerugian negara akibat tindakan-tindakannya, bukankah itu merupakan bentuk pengabaian terhadap penderitaan psikologis rakyat? Penanganan suatu perkara korupsi terhadap seseorang juga acap dituding sebagai bentuk konspirasi sistematis untuk menistakan kelompok tertentu. Hukum pun tertekan dalam kondisi pencitraan tidak lagi dipercayai oleh rakyat, karena ulah para aparatnya sendiri. Low trust terhadap hukum akan makin menjadi-jadi kalau kondisi tersebut tidak dengan penuh kesadaran diubah melalui pendekatan-pendekatan yang ekstrem. - Dirilisnya lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan ekstra, atau tim pencari fakta dalam kasus kematian aktivis HAM Munir, pada satu sisi memang meningkatkan harapan rakyat terhadap kesungguhan pemerintah dalam memberi daya tekan penyelesaian kasus-kasus luar biasa. Tetapi pada sisi lain harus diakui, hal itu merupakan cermin ketidakberdayaan aparat reguler. Terdapat perkembangan kondisi pelanggaran hukum yang makin akut, kasus-kasus dengan kualifikasi berat, dilakukan oleh orang-orang penting dengan akses kuat ke pusat-pusat ekonomi-politik, sehingga kemampuan penanganan secara reguler pun diragukan. Jadi bukankah akar masalahnya memang berpusat ke kekuatan reguler? - Tekad penegakan hukum yang dijanjikan pemerintah masih digerogoti dari dalam pusat-pusat hukum sendiri. Ketika rakyat tidak menemukan implementasi rasa keadilan dari lembaga-lembaga yang menjadi harapan untuk mewujudkannya, apa yang seterusnya akan terjadi? Pada skala mikro, terdapat pola instan untuk mendapatkan ''keadilan'', yang tercermin dari pengalaman sebagian masyarakat dalam penanganan copet, maling sandal, atau maling ayam yang tertangkap tangan. Tetapi penghakiman instan juga menggambarkan ketidakberdayaan: rakyat berhadapan dengan rakyat dalam ''kasus-kasus rakyat''. Ketika hukum tidak menghendaki ''penghakiman instan'', maka jaminan ketidakraguan pemerintah dengan bukti-bukti nyata itulah yang ditunggu. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/