OPINI
                                      Rabu, 29 Juni 2005 

                 

                 

                 
                  Orang Kuat dan Keadilan Hukum
                 
                  Benny Susetyo, Forum Diskusi Media Group
                 

                 

           

     
     

     SETIAP ada politikus atau orang kuat yang bermasalah dengan hukum, hasil 
keputusan pengadilan sudah bisa kita tebak jauh sebelum proses peradilan 
dilangsungkan. Setiap ada orang punya duit mengalami masalah dengan hukum, 
pengadilan sering ragu menentukan apa yang seharusnya dilakukan.

            Di tengah masyarakat kita sudah beredar semacam 'kebenaran' bahwa 
hukum memang bukan milik orang lemah dan tidak punya duit. Hukum enggan 
berpihak kepada kepentingan orang kecil karena aparat hukum yang mudah disuap. 
Tapi hukum siap-maju-tak-gentar membela orang kuat dan punya duit.

            Itulah 'kebenaran' yang hingga kini menancap di kalbu masyarakat. 
Dan 'kebenaran' itu berkembang biak di sebuah negara yang menyatakan dirinya 
sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum. Sebuah negara yang konstitusinya 
mengatur asas persamaan hak dan kewajiban di depan hukum. Inilah yang sering 
dikeluhkan masyarakat di era reformasi kali ini, mandul dan mandeknya hukum di 
hadapan politik.

            Prinsip dasar negara yang lebih mengarusutamakan rechstaat (negara 
hukum) dan bukan machstaat (negara politik) tidak bisa berjalan. Intrik politik 
melalui tangan-tangan kekuasaan selalu jauh lebih kuat. Sebagai bangsa, sejak 
dulu kita dididik untuk memahami bahwa penguasa selalu menang, dan hukum hanya 
berlaku bagi orang kecil.

            Tujuan hukum dalam masyarakat modern adalah untuk memakmurkan 
masyarakatnya, bukan memecah-mecahnya di mana hanya orang kecil bisa dikenai 
proses keadilan yang maharumit sedangkan 'wong gedhe' bisa mempermainkan hukum 
dengan mahasederhana. Hukum masih kalah kuasa dengan duit, preman, bandit, 
politikus busuk, dan jagal-jagal keadilan lainnya. Kasus hukum 'pencurian 
sandal jepit' oleh seorang buruh pabrik telah menjadi refleksi kita bersama dan 
jangan pernah dilupakan.

            Masyarakat sudah paham bahwa keadilan di negeri ini seperti 'angin 
lalu'. Angin itu berhembus menembus relung-relung sempit, dan di balik 
persoalan itu selalu ada kompromi dan konspirasi. Karena itu, siapa yang bisa 
membantah kalau kasus orang kuat selalu kental nuansa ketidakadilan? Sekali 
lagi, siapa pun tahu itu dan saya kira siapa pun boleh merefleksikan itu.

            Atas kasus belakangan ini, rakyat semakin menegaskan sikapnya 
selama ini, hukum hanya berlaku bagi orang kecil, bukan 'wong gedhe'. Alih-alih 
begitu, hukum bukanlah perangkat untuk menciptakan keadilan di tengah 
masyarakat, justru hukum sering kali melukai nurani rakyat dan tak bisa 
mengobatinya. Hukum telah lumat diinjak-injak kaki-kaki kekuasaan.

            Masyarakat menyadari sengsaranya hidup tanpa keadilan di republik 
yang mengaku bervisi reformasi tapi sejatinya deformasi; hidup di sebuah negara 
yang berlandaskan hukum, tapi hukum yang bisa diperdayai. Teks-teksnya bisa 
dipermainkan tanpa memedulikan sakitnya rakyat menyaksikan semua itu. 
Dianggapnya rakyat bodoh, tak bisa membedakan soal administratif dan soal 
politik.

            Kita selalu gundah. Hidup di sebuah negara dalam mana teramat sulit 
membedakan wajah-wajah manis para politikus, jaksa, hakim, pengacara, 
intelektual dengan wajah buruk koruptor. Mereka seperti bunglon, mengubah warna 
diri sesuai dengan kepentingannya. Mereka juga cerdik seperti buaya, diam tapi 
ganas, bersahaja tapi mematikan, seolah berwibawa tapi di hatinya tersimpan 
citra yang tidak saja busuk, tapi menjijikkan. Mereka seperti burung elang yang 
dalam kesahajaannya siap menerkam anak ayam yang lemah.

            Hukum telah lumat diinjak-injak dan dicakar-cakar dengan 
taring-taring kekuasaan. Hukum ada, tapi untuk dikibuli. Berpuluh-puluh 
undang-undang dan ketetapan dilahirkan untuk bisa dicari-cari sisi lemahnya, 
diperdayai. Masyarakat diajari hidup di alam yang amat-amat buas, bahwa yang 
kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah.

            Kata lagu Iwan Fals, truk gandengan selalu menang. Si kecil tak 
bisa bermain-main dengan teks hukum yang memang dibuat serumit dan seruwet 
mungkin. Si pencuri sandal jepit, harus meringkuk di ruang tahanan yang sempit, 
si pencuri ayam kampung harus mati karena dihajar massa. Tapi, sang perampas 
uang rakyat? Ya... kita memang hidup di sebuah negara yang semua nilai dan 
norma bisa dibeli dan disiasati.

            Meminjam Syafii Ma'arif, sudah hampir-hampir sempurna kerusakan 
bangsa ini. Tinggal sejengkal lagi bangsa ini sudah masuk ke jurang kegelapan. 
Politik kita selenggarakan dengan kebusukan, demikian pula ekonomi, budaya, dan 
aspek sosial.

            Hukum, satu-satunya yang bisa diandalkan, akhirnya juga tak mampu 
menunjukkan wibawanya. Dia tak lagi mampu menghadirkan wajah keadilan karena 
dikalahkan oleh realitas politik dan duit. Realitas politik dan duit menjadi 
panglima yang menentukan kehidupan publik ini.

            Kehidupan publik tidak lagi tunduk pada moralitas. Realitas inilah 
yang akhirnya menghancurkan peradaban kita sebagai bangsa. Kita menjadi bangsa 
yang tidak lagi perlu taat pada norma hukum, dan boleh saja melalui logika 
kekuasaan dan uang mengkhianati nilai-nilai keadilan. Keadilan sendiri sudah 
dibelokkan menjadi keadilan versi penguasa, dan keadilan sejati adalah barang 
klasik yang amat langka di negeri ini.

            Kasus pembebasan orang kuat dari jeratan pengadilan memang fakta 
hukum yang harus dihormati. Fakta itu harus dihormati oleh semua warga negara. 
Tapi juga nyata ketika kita merasakan fakta hukum yang amat-amat pahit. Di 
balik semua logika itu hukum dikhianati oleh kekuatan. Inilah yang membuat mata 
hati menjadi sirna.

            Harapan bahwa keadilan menjadi tiang utama bagi kehidupan bangsa 
ini menjadi sirna. Kata Bourdieu, masyarakat kerap kali tertipu dalam 
bahasa-bahasa manis hukum dan kekuasaan. Seolah-olah semua sesuai dengan 
prosedur tetapi di balik itu semua penguasa tak ada yang kalah. Tapi apa 
gunanya prosedur kalau pada akhirnya masyarakat tahu semua itu hanyalah 
permainan, tipu muslihat, aksi rekayasa dan akrobat politik belaka.

            Sampai kapankah hukum akan menjadi panglima di negeri ini? Ini 
adalah tanda tanya teramat besar. Hukum akan menjadi panglima bila kita berani 
memutus lingkaran kekuasaan korup di negeri ini. Ada celah (meski sempit) yang 
bisa kita gunakan untuk memutuskan lembaran hitam. Ialah dengan mengakhiri 
kontrak politik terhadap mereka dan partai yang jelas-jelas suka mempermainkan 
hukum.

             
           

     
      

       
     
       
      
      
      
     

 

 

 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to