http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/05/opi3.htm
Biaya Haji, antara Fakta dan Subsidi Oleh: Imam Munadjat MUNGKIN hanya terjadi di Indonesia, ibadah haji ramai diperbincangkan sebelum datang masa pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut. Haji diperbincangkan dari berbagai aspeknya, diperdebatkan siapa yang berhak menyelenggarakan, didiskusikan berapa tepatnya biaya yang harus dikeluarkan calon jamaah agar dapat menunaikan dengan tenang dan damai, pelaksanaan ibadahnya tidak terusik, dan seterusnya. Apa pun namanya, apakah itu perbincangan, perdebatan, diskusi, atau apa pun, pembicaraan tentang haji akan enak didengar, memuaskan bagi siapa saja, mendatangkan kesejukan bagi calon jamaah ketika dilakukan oleh mereka yang paham seluk-beluk prosedur haji sejak dari pendaftaran sampai pulang. Atau oleh mereka yang tahu dan paham bahwa ada sisi tertentu yang kurang sesuai dengan tuntunan ibadah ritualnya, aspek manajerial pelaksanaannya, atau mungkin pembiayaannya. Aspek Biaya Sebaliknya, akan menjenuhkan - untuk tidak mengatakan konyol - apabila haji diperbincangkan tanpa dasar yang jelas, hanya atas perkiraan dan asumsi, atau hanya berdasarkan pengetahuan si pembincang yang seakan-akan dianggap sudah paling pas dan paling benar. Na'udzubillah, jangan-jangan ada juga pembaca yang memiliki penilaian terhadap tulisan ini sama dengan asumsi-asumsi di atas. Hanya sekadar menulis, berteriak tanpa bertindak apa pun. Namun mudah-mudahan tulisan ini merupakan hasil teriakan dan tindakan, atau tindakan dan teriakan sekaligus. Sejak dahulu, tema perbincangan haji lebih banyak berkisar pada aspek pembiayaannya yang mahal. Kritikan terpedas dari mana pun awalnya akan selalu bermuara pada biaya yang selalu dikatakan mahal. Sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlah wawancara maupun tulisan di media massa yang mengkritik haji, khususnya dari aspek biaya naik haji atau perjalanan ibadah haji. Kritik itu menjadi menarik ketika disampaikan oleh mereka yang berwenang atau memiliki kapasitas dan kapabilitas, apalagi kalau kemudian diikuti dengan ucapan akan berusaha agar biaya perjalanan haji mendatang menjadi lebih murah. Kaum muslimin dan calon jamaah haji saat mendengar ucapan itu pasti senang, apalagi ketika hal itu diungkap oleh anggota DPR atau juga Menteri Agama. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun teve, seorang anggota DPR dengan lantang mengatakan, terjadi pemborosan pada harga tiket penerbangan haji. Kemudian disebutkan jumlah tertentu harga tiket Jakarta - Jeddah yang dikalikan dua untuk pulang-balik jamaah. Mungkin saat menyampaikan pendapat itu ada perasaan bangga bisa mengungkap harga tiket bagi jamaah haji yang menurutnya mahalnya selangit. Mendengar itu penulis hanya bisa berucap, mungkin beliau lupa pesawat yang mengangkut jamaah haji itu bukan pesawat reguler seperti yang pernah beliau tumpangi atau beliau dapatkan harga tersebut dari biro travel. Ketika hal itu penulis konfirmasi dengan salah seorang rekan yang pernah menangani pemberangkatan dan kepulangan haji, serta paham tentang seluk-beluk penerbangan haji, rekan itu mengingatkan, membawa jamaah haji itu seperti mengangkut pemudik Lebaran. Penumpang penuh hanya saat pemberangkatan maupun pemulangannya. Ketika mengangkut keberangkatan jamaah, pesawat terisi penuh penumpang, namun kosong ketika kembali ke Indonesia. Padahal pesawat tersebut harus kembali meski tanpa penumpang untuk mengangkut rombongan jamaah berikutnya. Demikian pula ketika membawa jamaah haji pulang ke Tanah Air, dari Arab Saudi penuh penumpang, namun pada saat pesawat kembali untuk mengambil jamaah kloter berikutnya, kosong tanpa penumpang. Jadi membandingkan angkutan Lebaran dengan angkutan reguler adalah tidak tepat. Membandingkan harga tiket jamaah haji yang memakai pesawat carteran dengan harga tiket pesawat reguler untuk rute yang sama juga tidak tepat. Bukankah kita mengenal tuslah dan harga angkutan Lebaran yang juga jauh berbeda dari tarif angkutan reguler? Beberapa pesawat pengangkut jamaah haji adalah pesawat carteran yang memerlukan perawatan selama berada di Indonesia. Tentu peralatan perawatannya juga harus dibawa ke Indonesia, sehingga memakan biaya, dan itulah yang mungkin menjadi bagian dari biaya angkutan jamaah haji. Pada kesempatan lain, serombongan wakil rakyat yang dipimpin salah satu pimpinan DPR RI menunaikan ibadah haji sambil melakukan pemantauan. Mereka menamakan diri tim pemantau pada musim haji yang lalu. Konon berbagai kejanggalan ditemukan di lapangan. Terjadi penyimpangan pada beberapa aspek pelaksanaan haji. Pemborosan biaya bukan hanya pada tiket, tetapi juga pada banyaknya petugas. Temuan-temuan itu kemudian difilmkan dan siap putar setiap saat untuk melihat "coreng-moreng" pelaksanaan haji. Saat berita keberangatan tim dan hasil temuan itu dipublikasikan, terbersit harapan mudah-mudahan niat mulia untuk memperbaiki dan memperlancar (juga menjadikan ongkos haji lebih murah) pelaksanaan haji dapat terealisasi pada tahun 2006, dan penyelenggaraannya menjadi lebih baik, tidak terjadi kejanggalan-kejanggalan dan peristiwa yang mengganggu. "Bersih-bersih" Terhadap langkah "bersih-bersih" dan berbagai bentuk "pembenahan" di Departemen Agama yang dilakukan oleh Menteri Agama, banyak yang angkat topi untuk menjadikan institusi itu "bersih". Masyarakat semakin respek ketika pembenahan itu menyangkut pelaksanaan haji. Salah satu indikasi pemborosan yang konon terlalu banyak melibatkan petugas itu sudah dipangkas. Untuk musim 2006 terjadi perampingan petugas. Tentu konotasinya, dengan pengurangan petugas akan terjadi pula pengurangan beban biaya perjalanan haji, sebab jamaah tidak lagi "menyubsidi" petugas. Namun di balik itu, ternyata muncul perasaan waswas di kalangan masyarakat yang mempertanyakan, apakah pengurangan petugas yang terkesan sangat mendadak dan tanpa proses graduasi itu akan memperlancar ibadah haji bagi jamaah, atau justru sebaliknya? Sikap masyarakat tampaknya lebih banyak dilatarbelakangi oleh beberapa kebijakan dalam pelaksanaan haji yang lalu seperti taraddudi maupun penempatan pemondokan jamaah dengan klasifikasi-klasifikasi tertentu sebagai alternatif manajerialnya. Harapan mengenai efisiensi pada sektor lain di luar petugas haji juga ditunggu oleh masyarakat. Namun rasanya, sampai saat ini tidak ada dan tidak terjadi lagi efisiensi lain untuk memangkas biaya. Malah yang terjadi adalah pengumuman kenaikan atau tambahan biaya haji disesuaikan dengan zona masing-masing. Astaghfirullah, Maha Besar Engkau ya Allah, kembali sunah-Mu Engkau hadirkan untuk kami. Kalau ada langit maka ada bumi, kalau ada suka maka ada nestapa. Kalau ada pengurangan, itu karena ada penambahan. Kalau yang ditunggu pengurangan dan yang datang justru penambahan, bukankah itu bagian dari sunah-Mu juga? Sudah lazim tampaknya, dalam kondisi kontradiktif seperti pada kasus kenaikan biaya haji ini, hampir setiap anak cucu Adam akan mencari "kambing hitam" sebagai bahan legalisasi dan pembenaran atas ketidakberhasilan apa yang pernah diucapkannya. Memang telah ada usaha untuk menurunkan biaya haji, tetapi karena adanya kenaikan harga bahan bakar pesawat, maka yang terjadi justru kenaikan dan tambahan biaya haji. Karena bahan bakar itulah, kenaikan biaya ibadah haji menjadi keniscayaan yang tidak terelakkan. Apa pun keputusan pemerintah tentang biaya haji, bagi calon jamaah insya Allah tidak menjadi masalah karena memang sudah menjadi niat. Berapa pun kenaikannya akan mereka bayar, asal niat mereka terlaksana, karena dalam keyakinan jamaah mereka telah mencapai kadar istitha'ah atau kemampuan. Namun di balik keputusan itu ada sisi-sisi menarik untuk disimak. Ibadah haji yang mestinya merupakan salah satu "kebutuhan", dalam pelaksanaannya perlu difasilitasi pemerintah sebagaimana kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lain. Sebagai "kebutuhan" untuk dapat melaksanakan hak asasinya (dalam pengamalan agama yang diyakini) wajar kalau pemerintah memberikan fasilitas melalui subsidi. Bukankah beribadah haji sebagai kebutuhan asasi, sama posisinya dengan kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan yang lain? Tampaknya, itulah yang terlewatkan. Banyak kalangan bicara tentang pengurangan biaya haji, namun tidak pernah bicara subsidi dan pemfasilitasan. Besaran biaya haji akan dapat dikurangi apabila pemeritah memiliki kepedulian melalui subsidi sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat. Pada sisi lain, sulit untuk mengedepankan mana yang harus didahulukan, bertindak atau berteriak. Di masa kini ternyata orang lebih suka berteriak dan berbicara, sebab kalau tidak sesuai dengan ucapannya lebih mudah mencari kambing hitam daripada bertindak yang mudah dilacak. Tetapi di atas segalanya, rasanya menjadi lebih sulit untuk berkata, "Maaf saya salah karena tidak menguasai masalah", atau "Saya tidak punya data, sehingga perkataan saya salah dan tidak sesuai dengan kenyataan". (24) - Drs Imam Munadjat SH MS, anggota FPP DPRD Jateng, staf pengajar FAI Unissula Semarang. ++++ http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/05/opi4.htm BPIH Naik, Kualitas Pelayanan? Oleh: Toto Sugiarto PEMERINTAH, dalam hal ini Departemen Agama dengan Komisi VIII DPR-RI, 27 Juni lalu telah menyepakati besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 2006 yang mengalami kenaikan 64,21 dolar AS dan penurunan rupiah Rp 240.939. Nilai BPIH 2006, untuk zona I (Aceh, Medan Batam) sebesar 2.632,44 dolar AS dan Rp722.327 untuk komponen di dalam negeri, zona II (Jakarta, Solo dan Surabaya) 2.732,44 dolar AS dan Rp722.327 dan zona III (Makassar, Banjarmasin dan Balikpapan) 2.842,44 dolar AS dan Rp722.327. Dengan menggunakan asumsi nilai tukar per dolar AS dengan rupiah Rp 9527, setiap calon jemaah haji akan membayar untuk zona I Rp 25.301.582,88, zona II Rp 26.754.282,88 dan zona III Rp 27.802.252,88. Komponen penerbangan sendiri mencapai 45,60% dari BPIH, dengan tarif untuk zona I 1.235 dolar AS, zona II 1.335 dolar AS dan zona III 1.445 dolar AS. Sedangkan komponen biaya operasional haji di Arab Saudi 51,60 % senilai 1.397,44 dolar AS dan komponen operasional haji dalam negeri 2,80% senilai Rp 722.327. Menteri Agama M Maftuh Basyuni dalam raker dengan DPR tersebut mengatakan, sejumlah efisiensi telah dilakukan terhadap komponen BPIH, namun besaran BPIH tetap tidak dapat diturunkan karena terjadi kenaikan pada biaya penerbangan haji. Hal yang menarik dari proses pembahasan BPIH 2006 kali ini, yaitu DPR dan Pemerintah sama-sama berupaya menekan nilai pembiayaan BPIH 2006 melalui rapat pembahasan yang intensif dan kajian yang mendalam, baik di tingkat panja maupun komisi. Pungutan Sudah menjadi rahasia umum, jika calon haji Indonesia, selain melunasi BPIH juga harus membayar sejumlah pungutan. Dari mulai mengurus surat menyurat di kelurahan/desa dan kecamatan, periksa kesehatan, biaya manasik, pengambilan koper dan seragam. Bahkan ada juga panitia haji daerah yang memungut zakat, infak, dan sedekah (ZIS), sumbangan pembangunan rumah ibadah dan kegiatan sosial lainnya yang tidak terkait dengan ibadah haji. Besarnya pungutan tersebut sangat variatif, namun yang jelas semakin memberatkan para calon haji. Sebagai contoh, untuk calon haji asal Kabupaten Majalengka tahun 2006, harus membayar pungutan di luar BPIH senilai Rp 1. 645.000, yang diperuntukkan bagi pemeriksaan kesehatan, transportasi dari dari daerah asal ke embarkasi haji, seragam, bimbingan manasik , honor penceramah, honor petugas, konsumsi persiapan alat peraga, penerangan, air, persiapan obat-obatan, pengembangan yayasan dan sumbangan untuk Islamic Center. Lain lagi, calon haji yang bergabung dengan KBIH, pungutan yang menyertainya akan jauh lebih besar. Mengurus mutasi saja dari kabupaten yang satu ke kabupaten lainnya dalam satu provinsi, sebuah KBIH di Cirebon memungut biaya Rp 800.000. Sedangkan untuk pemeriksaan kesehatan kolektif yang dikoordininasi KBIH dipungut biaya Rp 200.000. Nah, pungutan di luar BPIH inilah yang seharusnya dipangkas dan ditiadakan dengan cara pemerintah daerah punya kemauan untuk mengalokasikan APBD-nya guna mendukung penyelenggaraan haji sebagai bagian dari pelayanan pemerintah daerah bagi warganya yang menunaikan ibadah haji. Peningkatan Pelayanan Hampir setiap musim haji selesai, selalu diiringi dengan munculnya berbagai keluhan jamaah terhadap penyelenggaraan haji. Keluhan yang paling sering dilontarkan jemaah berkaitan pelayanan petugas, akomodasi dan konsumsi selama di Arab Saudi dan kegiatan bimbingan manasik yang dirasakan belum memadai. Tuntutan masyarakat, khususnya para calon haji selanjutnya setelah BPIH 2006 mengalami kenaikan adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada jamaah haji, baik selama mereka di Tanah Air, maupun ketika melaksanakan ibadah haji di Arab Saudi. Sesuai dengan Undang-Undang No17 Tahun 1999, pasal 5, penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama, sehingga jamaah dapat melaksanakan ibadah secara mandiri dan memperoleh haji mabrur. Prioritas peningkatan pelayanan jamaah haji selama di Tanah Air adalah bimbingan manasik haji yang intensitasnya perlu ditingkatkan dengan model penyajian yang menarik dan mudah dipahami. Selain paket buku manasik yang ada, kemajuan teknologi informasi juga dapat dimanfaatkan untuk penyajian visual manasik dan penyuluhan dalam bentuk VCD/DVD yang dikemas secara menarik, lengkap dan sesuai dengan kebutuhan jamaah. Selain melibatkan ormas Islam, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), kegiatan manasik haji dapat mengoptimalkan peran dan fungsi KUA sebagai unit pelayanan Departemen Agama terdepan. Personel KUA dilibatkan sebagai tutor bimbingan manasik haji bagi calhaj di wilayahnya, karena secara psikologis dan sosial, mereka paling dekat dan memahami karakter dan budaya calon haji. Pola perekrutan petugas haji pun harus diperbaiki, dengan menekankan pada profesionalisme, berdedikasi, amanah, dan berakhlak karimah. Petugas haji yang dibutuhkan di Tanah Air maupun Arab Saudi adalah petugas haji yang penuh ikhlas dan bersedia melayani jamaah dengan baik. Peningkatan pelayanan jamaah haji di Arab Saudi, yang harus diperbaiki dan ditingkatkan adalah menyangkut akomodasi jamaah, baik di Makkah maupun di Madinah. Pada musim haji 2005, masih dijumpainya kualitas pondokan di Makkah dan Madinah yang kurang baik dan letaknya dikeluhkan jamaah. Penyediaan makan selama jamaah berada di Madinah disambut positif, namun untuk tahun mendatang perlu dipersiapkan dengan baik menyangkut menu yang disajikan dan cara pendistribusiannya ke jamaah yang efektif dan bermanfaat. Masih ada sederetan panjang perbaikan pelayanan haji yang harus dilakukan. Momentum kenaikan BPIH 2006 juga menjadi salah satu pendorong keingingan masyarakat agar pelayanan haji ditingkatkan dan semakin baik. Bahkan mewacana pula agar penyelenggaraan haji dilakukan oleh sebuah badan mirip Badan Tabung Haji Malaysia. Namun semua itu, berpulang pada ikhtiar pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk mewujudkannya. (24) - Toto Sugiarto, pengasuh Jurnal Medina, Jakarta. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/