http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/08/opini/1877293.htm
Reformasi Intelijen Oleh: A Malik Haramain Akhir-akhir ini muncul keinginan untuk mereformasi lembaga intelijen negara. Ada tiga alasan di balik keinginan kuat itu. Alasan pertama, intelijen kurang maksimal dalam mengantisipasi aksi-aksi terorisme. Kedua, pro-kontra seputar rencana pemerintah mengaktifkan kembali Badan Koordinasi Intelijen Daerah dan Komunitas Intelijen Daerah. Upaya ini sebagai langkah pemerintah pusat untuk mendeteksi secara dini aksi teror sampai ke tingkat daerah. Kalangan yang menolak rencana ini lebih dilatarbelakangi kekhawatiran bakal kembalinya pola represif intelijen seperti pada era Orde Baru. Saat itu, intelijen lebih berfungsi sebagai alat kekuasaan untuk memata- matai warga. Sementara kalangan yang menerima karena memahami kian terancamnya jaminan keamanan masyarakat. Terakhir, lembaga intelijen seakan-akan selalu luput dari pengawasan. Lembaga ini sepertinya tidak tersentuh hukum, bergerak tanpa pengawasan. Perlu direformasi Lembaga intelijen negara memang perlu direformasi mengingat persoalan internal negara dan global kian kompleks. Intelijen tidak bisa lagi berpersepsi, ancaman hanya dari sisi security yang bersifat militer, tetapi sudah berkait human criminal, transnational crime, bussines criminal, bahkan trade criminal. Maka, yang harus direformasi tidak hanya struktur dan kelembagaan intelijen, tetapi juga harus menyentuh akar masalah. Pertama, perubahan intelijen harus menyentuh ranah paradigma. Pergeseran paradigma (shifting paradigm) perlu didekonstruksi dan disesuaikan dengan perkembangan sejarah yang cenderung bergerak ke arah demokrasi dan penegakan HAM. Di negara yang sistem pemerintahannya terpusat dan menganut sistem otoriter, lembaga intelijen lebih berorientasi sebagai pengawal penguasa. Pada era Orde Baru, lembaga intelijen negara lebih berorientasi pada combatan intelligence, didominasi kader militer. Padahal, yang dibutuhkan adalah civilian intelligence atau setidaknya perimbangan dan sinergi antara kekuatan sipil-militer. Ke depan, lembaga intelijen harus lebih berwatak humanis intelligence daripada military intelligence. Kedua, intelijen negara mutlak membutuhkan payung hukum sebagai instrumen untuk melakukan koordinasi dan tindakan. Hingga kini Badan Intelijen Negara (BIN), yang seharusnya berfungsi sebagai koordinator utama lembaga-lembaga intelijen sektoral, belum terwujud secara baik. Hal ini disebabkan lemahnya (kurang tegasnya) payung hukum yang memberi otoritas. Aturan main tentang intelijen tidak hanya mengatur otoritas bagi intelijen, tetapi juga dalam rangka mengawasi kinerja dan perilaku intelijen kita. Seperti yang menjadi kegelisahan sebagian kalangan, sudah saatnya dirumuskan mekanisme kontrol atas kinerja intelijen sehingga kerja intelijen tidak berarti lepas dari sorotan hukum dan tetap bisa dipertanggungjawabkan. Selain BIN yang berfungsi melaksanakan tugas keintelijenan, TNI memiliki Badan Intelijen Strategis yang lebih fokus pada masalah pertahanan, intelijen Polri menangani kriminal dan ketertiban sosial, intelijen Kejaksaan Agung membantu penegakan hukum, intelijen Bea dan Cukai mengantisipasi penyelundupan, juga lembaga intelijen negara lainnya. Semua lembaga intelijen ini harus rapi terkoordinasi kepada induk intelijen, BIN. Agar kerja lembaga intelijen tidak tumpang tindih, dibutuhkan konstitusi yang mengatur secara rinci pembagian wewenang, otoritas, dan spesifikasi domain kerja masing- masing intelijen. Perlu regulasi Ketiga, di beberapa negara, intelijen dianggap sering kecolongan dan gagal mengantisipasi serangan teroris. Padahal, sistem keamanan kita belum memiliki kekuatan guna mencegah sebuah kejahatan. Lembaga intelijen tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan pre-emtif dan preventif untuk melakukan pencegahan secara dini. Karena itu, guna mengatur apakah intelijen perlu diberi otoritas untuk melakukan tindakan pre-emtif dan preventif dan apakah intelijen diberi kewenangan menangkap orang tanpa menunggu bukti hukum, semuanya membutuhkan regulasi yang tidak hanya memberi otoritas bagi intelijen, tetapi juga mengatur mekanisme kontrol. Keempat, peningkatan peralatan intelijen yang lebih memadai sesuai dengan kian canggihnya instrumen (hardware) pelaku kejahatan dan kian kompleksnya masalah yang dihadapi. Nasib peralatan intelijen Indonesia mirip peralatan (alutsista) TNI yang jauh dari memadai. Lemahnya upaya pencegahan juga disebabkan kurang memadainya infrastruktur, berupa peralatan intelijen. Collecting, penyampaian data, dan koordinasi informasi antarintelijen membutuhkan peralatan yang lebih canggih. Problem ini tidak bisa dikesampingkan karena menyangkut mobilitas kinerja intelijen. Terakhir, profesionalisme sumber daya manusia. Kerja intelijen harus jernih, obyektif, dan akurat. Lembaga intelijen harus terbebas dari afiliasi partai politik agar bisa netral. Maka, sistem rekrutmen harus dirombak, termasuk pola pembinaan dan pendidikan. A Malik Haramain Pengajar Pascasarjana UI [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/