http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/07/opi01.html
Perpres No 36/2005 dan Delegitimasi Presiden Oleh : Victor Silaen Menarik mencermati tulisan Usep Setiawan yang berjudul "Perpres No 36/2005: Dijalankan atau Dibatalkan" (Sinar Harapan, 2 Juli 2005). Atas fakta bahwa protes dan penolakan terhadap peraturan presiden (Perpres) itu dari berbagai kalangan dan daerah sudah bermunculan, maka Setiawan pun mengemukakan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, jika perpres ini dipaksakan, pemerintah akan segera membebaskan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan umum dan banyak proyek infrastruktur segera dibangun. Namun berbarengan dengan itu, ketegangan dan bentrok fisik karena sengketa tanah mungkin akan terjadi. Korban jiwa akan berjatuhan menyertai praktik penggusuran. Ini memicu delegitimasi pemerintah yang dipilih rakyat secara demokratis tetapi menerapkan kebijakan yang anti-demokrasi dan memancing pembangkangan sosial terhadap rezim yang berkuasa. Kedua, kalau perpres ini ditunda (atau dicabut/diralat), pembangunan kepentingan umum dapat menggunakan Keppres No.55/1993. Sembari menyusun RUU pengadaan tanah bagi pembangunan, pemerintah dan DPR menyempurnakan UUPA No. 5/1960 secara transparan melalui kepanitiaan negara. Pemerintah juga menyiapkan strategi komprehensif pelaksanaan pembaruan agaria atau reforma agraria. Atas dua kemungkinan itu, Setiawan kemudian menulis: "Lebih baik menangani penyelesaian konflik agraria ketimbang menjalankan perpres yang potensial memicu konflik agraria baru. Kebijakan ini akan mengukuhkan legitimasi politik pemerintah di mata rakyat. Ralat sendiri Perpres 36/2005 bukanlah aib yang memalukan pemerintah (khususnya Presiden), melainkan sikap elegan dari penguasa yang rendah hati meralat kebijakan yang dinilai keliru oleh banyak pihak." Saya setuju dengan Usep Setiawan, bahwa Pemerintah, dalam hal ini Presiden Yudhoyono, menunda pelaksanaan Perpres No 36 itu dan segera meralatnya. Dengan demikian, sosok Yudhoyono di mata rakyat tak mengalami delegitimasi politik atau penurunan citra. Milik Rakyat Sekarang, terlepas bahwa pemerintah (khususnya presiden) memiliki argumentasinya sendiri atas perpres itu, memang akan lebih elegan jika pemerintah memberikan waktu untuk mendengar suara dan aspirasi rakyat dari berbagai kalangan dan daerah. Bahkan, kalau perlu, dan untuk memudahkan, Yudhoyono bisa mengirim SMS (short message service) kepada sebanyak-banyaknya orang demi mengumpulkan pikiran-gagasan rakyat terkait Perpes 36/2005 itu. Kalau beberapa waktu lalu Presiden Yudhoyono mau mengirim SMS kepada rakyat dalam kaitannya dengan narkoba, mengapa untuk meminta umpan balik dari rakyat sekaitan Perpres 36/2005 ini tidak? Presiden Yudhoyono tak boleh lupa bahwa tahun lalu, di saat-saat kampanye, kerap menyuarakan "Bersama Kita Bisa" sebagai upaya meyakinkan rakyat bahwa dirinya adalah sosok yang akan selalu melibatkan rakyat. Kalau benar Yudhoyono seorang pemimpin yang layak dipercaya, maka ia mestinya membuktikan dirinya konsekuen dengan apa yang pernah diucapkannya. Sehubungan dengan itu saya perlu mengingatkan beberapa hal, khususnya yang terkait dengan politik. Pertama, Yudhoyono adalah pemimpin pilihan rakyat, bukan pilihan para politisi seperti pemimpin di era-era sebelumnya. Karena itu Yudhoyono hendaknya tak lupa bahwa dirinya menjadi presiden karena rakyat. Oleh karena itu secara politik ia adalah milik rakyat. Jika hal ini dihayati betul, mestinya Yudhoyono tak sekali-kali mengecewakan rakyat. Atau, katakanlah sebagai manusia, Yudhoyono tak luput dari berbuat salah. Tapi kalaupun itu terjadi, sikap rendah hati mau meminta maaf dan kemudian memperbaikinya, merupakan sesuatu yang terpuji dan akan membuat rakyat makin bersimpati padanya. Kedua, didasarkan sistem demokrasi dengan mekanisme pilpres secara langsung, maka sebenarnya antara Yudhoyono dan rakyat terjalin hubungan kontrak yang harus dihormati oleh kedua belah pihak. Jadi, dalam menyelenggarakan negara ini, terdapat dua pihak yang saling bersetuju: rakyat dan pemerintah (yang dalam konteks ini Presiden Yudhoyono). Karena pemerintah sudah menerima kekuasaan dari rakyat, maka pemerintah pun wajib mempertanggungjawabkan kekuasaan tersebut kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat sendiri berhak mengawasi jalannya penyelenggaraan negara oleh pemerintah yang sudah dipilihnya itu. Maka, jika suatu saat pemerintah dinilai menyimpang atau gagal, rakyat berhak pula menarik kembali kekuasaan/kepercayaan yang telah diberikannya itu. Makan Waktu Negara yang betul-betul menerapkan konsep semacam ini layak menyandang sebutan republik. Karena, di dalamnya, rakyat betul-betul berdaulat. Mereka berhak mengurusi negara, sehingga negara bukan hanya menjadi milik segelintir orang. Bentuk negara seperti itu disebut Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) res-publica - yang berarti "urusan publik". Memang negara terus-menerus mengalami perubahan dan secara sistemik, struktural, dan institusional kian lama kian kompleks. Namun, siapa dapat menyangkal bahwa rakyat manapun selalu ingin dilibatkan dalam hal-ihwal penyelenggaraan negaranya? Karena itu, siapa berani jemawa (angkuh) dengan mengatakan rakyat itu bodoh, sehingga tak patut dilibatkan dalam urusan bernegara? Jika Indonesia benar-benar ingin disebut demokratis, tak pelak, kinilah saatnya mengoperasionalisasikan konsep politik modern yang disebut republik itu: dengan cara terus-menerus mengakomodir aspirasi rakyat. Itulah negara yang sungguh-sungguh peduli terhadap rakyatnya, yang senantiasa meminta persetujuan dari rakyatnya sebelum memutuskan suatu kebijakan. Ahli politik Larry Diammond (1999) pernah mengatakan stability and persistence of democracy akan dapat berjalan baik bila terdapat hubungan negara-rakyat yang sama-sama kuat. Keduanya harus sama-sama aktif dalam menjalankan peran politiknya masing-masing, agar dengan demikian terjalinlah relasi yang interaktif, apresiatif, dan saling mempengaruhi. Memang makan waktu, jika setiap kebijakan negara diputuskan dengan terlebih dulu mendengar aspirasi rakyat. Namun, begitulah sejatinya demokrasi. Itulah seninya demokrasi; sebanyak mungkin orang merasa dipuaskan oleh negara. Bukankah untuk itulah republik ini didirikan? Maka, kalau keberadaan negara hanya membuat rakyat terus-menerus berkeluh-kesah, untuk apa ada negara? Penulis adalah dosen Fisipol UKI [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/