Menurut Kurtubi, produksi minyak di Indonesia turun
dari 1,4 juta barrel per hari (bph) pada tahun 1999
menjadi 0,9 juta bph. Hal ini disebabkan pemerintah
mau pun Pertamina hanya menunggu masuknya "investor
asing" guna mengeksplorasi dan menambang minyak.
Ternyata "investor asing" tidak terlalu bersemangat.
Padahal dengan return on investment yang tinggi,
harusnya Pertamina bisa mengeluarkan obligasi kemudian
membayarnya dari hasil produksi.

Pada artikel bawah, ternyata meski ceritanya dalam
bagi hasil dgn KPS pemerintah mendapat 85% dan KPS
hanya 15%, namun jumlah itu dipotong oleh biaya
produksi serta investasi KPS. Sehingga Pemerintah
justru mendapat hanya 35% dan KPS 65%. Penulis di
bawah juga menyatakan lebih menguntungkan jika bagi
hasil 50-50 tapi dari hasil produksi. Tidak dipotong
ini-itu.


--- Ambon <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>             SUARA KARYA
> 
>             Kontrak Cepu, UU Migas dan Kelangkaan
> BBM
>             Oleh Fahruddin Salim 
> 
> 
>             Jumat, 8 Juli 2005
>             Masalah perpanjangan kontrak produksi
> migas Blok Cepu dengan ExxonMobile dan Pemerintah RI
> termasuk Pertamina ternyata tidak sepenuh-nya
> melegakan banyak pihak. Persoalan yang mengemuka
> adalah mengapa pemerintah tidak memberikan konsesi
> pengolahan Blok Cepu pada Pertamina? Bukankah
> seharusnya sumur Cepu harus dijadikan modal untuk
> belajar mengeksploitasi sendiri? 
> 
>             Ada beberapa alasan yang bisa diajukan
> untuk mendukung argumentasi tersebut. Blok Cepu
> diperkirakan memiliki kandungan minyak mencapai
> 180.000 barel per hari. Suatu jumlah yang cukup
> besar hanya dari sumur Blok Cepu saja. Sementara
> itu, selama ini kemampuan produksi yang dimiliki
> oleh Pertamina melalui ladang-ladangnya (own
> operation) maksimal hanya 60.000 barel per hari dari
> total 1.025.000 bph termasuk kondensat. Dari
> 1.025.000 bph tersebut di dalamnya telah termasuk
> Caltex sebanyak 500.000 bph, Medco Energy
> International sekitar 80.000, dan sejumlah
> perusahaan contract production sharing lainnya. 
> 
>             Argumentasi lain adalah sesuai dengan
> keinginan merubah UU No 8/71 tentang Pertamina ke UU
> Migas No 22/2001, yang mengatakan akan menjadikan
> Pertamina sebagai world class company (perusahaan
> berkelas dunia). Langkah ke arah tersebut sudah
> dimulai saat Dirut Pertamina masih dipegang Baihaki
> Hakim yang mengemukakan bahwa visi dan misinya
> adalah menjadikan Pertamina harus mampu
> mengembangkan diri menjadi perusahaan multinasional
> seperti halnya BP, Shell, EM, dan sebagainya. 
> 
>             Lantas, jika Blok Cepu tidak berhasil
> diolah sepenuhnya oleh Pertamina, dari mana
> Pertamina dapat mulai merintis menjadi world class
> company? Padahal selama ini Pertamina sudah telanjur
> menjadi organisasi bisnis yang besar, sedangkan
> cadangan minyak kita terus menyusut bahkan kemampuan
> produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja
> harus impor. Seharusnya mulai saat ini Pertamina
> memulai langkah menjadi perusahaan multinasional
> yang besar. Sebab, jika berhasil menjadi perusahaan
> multinasional maka saat cadangan minyak kita sudah
> habis, Pertamina dapat mencari ladang-ladang baru di
> luar wilayah kita sendiri. 
> 
>             Cadangan minyak kita memang akan habis.
> Tetapi potensi eksploitasi dari sumur-sumur baru
> bisa dilakukan, dengan mengundang investor baru.
> Sayangnya, sumur minyak Blok Cepu yang sudah jelas
> potensinya justru lepas dari Pertamina. Seharusnya
> investor asing bisa mencari ladang-ladang baru,
> sehingga produksi minyak kita bisa meningkat. 
> 
>             Sayangnya, hal itu tidak dilakukan.
> Padahal kemampuan produksi migas kita cenderung
> terus merosot. Dalam APBN (Anggaran Pendapatan
> Belanja Negara) memang diasumsikan produksi migas
> mencapai 1,2 juta barel per hari, tetapi realitasnya
> mungkin saja tidak sampai satu juta barel per hari.
> Sudah beberapa saat terakhir ini, Indonesia masuk
> kategori net importer. Produksi minyak bumi
> rata-rata Mei 2004 tercatat di bawah 900.000 barel
> per hari (bph), sementara konsumsinya setara dengan
> 1 juta bph. Produksi minyak tersebut, bagian
> pemerintah (termasuk pajak) sekitar 600.000 bph. 
> 
>             Bukti adanya penurunan produksi minyak
> kita adalah penyediaan BBM (bahan bakar minyak) yang
> cenderung labil bahkan langka karena kemampuan
> produksi kita sudah tidak mencukupi untuk memenuhi
> domestik. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kita
> justru impor, sementara harga minyak di pasar
> internasional sudah sangat tinggi sehingga membebani
> APBN karena harga tersebut disubsidi oleh
> pemerintah. 
> 
>             Anehnya, hal itu tidak ditanggapi oleh
> pemerintah secara serius sehingga produksi migas
> Indonesia terus turun dan pada saat harga minyak
> melambung, kita kehilangan peluang untuk meraih
> windfall profit. Bahkan Indonesia dirugikan dengan
> naiknya harga minyak karena Pertamina harus mencari
> pasokan dolar untuk memenuhi kebutuhan impor BBM.
> Setiap bulan tidak kurang Pertamina harus menyiapkan
> dana 1 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan BBM
> dalam negeri. 
> 
>             Sesungguhnya Indonesia merupakan negara
> yang kaya minyak. Hal itu sudah diketahui oleh para
> pemburu minyak dunia. Namun hal itu masih sekadar
> potensi dan belum sepenuhnya bisa diproduksi. Banyak
> kendala yang menghambat investor untuk masuk,
> seperti ketidakjelasan aturan hingga masalah
> perpajakan yang menyebabkan investor migas berpikir
> ulang. 
> 
>             Sementara itu, pada saat ada cadangan
> minyak yang sedemikian besarnya dan sudah bisa
> diproduksi dalam beberapa tahun ke depan, seperti
> Blok Cepu, pada sisi lain, investor mengeluhkan soal
> investasi dalam dunia pertambangan kita. Penciptaan
> iklim yang sehat diperlukan untuk menjamin
> kelangsungan usaha yang ditanamkan. 
> 
>             Hasil survei Frasser Institute tahun
> 2003 menunjukkan bahwa ketidakstabilan politik
> menjadi masalah terbesar investasi pertambangan (73
> persen menyatakan itu menjadi penghambat investasi).
> Faktor lain, peraturan dan sistem administrasi (70
> persen), perizinan yang tidak pasti dan
> berulang-ulang (61 persen) di tempat kedua dan
> ketiga. Sementara masalah peraturan tentang
> lingkungan hidup justru dianggap cukup bersahabat
> dengan iklim investasi (64 persen responden dan
> hanya 20 persen yang menyatakan sebaliknya). 
> 
>             Menyangkut Blok Cepu, pembagian daerah
> juga perlu dipikirkan. Bahkan beberapa daerah selain
> Bojonegoro juga berkeinginan untuk memiliki saham
> dan porsi hasil migas. Terutama jika hasil produksi
> migas ini juga meliputi daerah yang luas melibatkan
> banyak daerah otonom. Daerah ini juga memiliki
> potensi untuk memperoleh bagi hasil migas. 
> 
>             Sementara itu, ExxonMobile mengaku sudah
> memasukkan modal yang cukup besar untuk mengolah
> Blok Cepu yakni tidak kurang mencapai 1,9 miliar
> dolar AS, selama pengambilalihan blok itu dari
> tangan Humpuss Petro Gas (HPG), beberapa tahun lalu.
> 
> 
>             Meskipun demikian, Pertamina juga bisa
> membiayai pengolahan Blok Cepu dan masalah pendanaan
> bisa dilakukan melalui pinjaman sindikasi bank-bank
> besar. Sebab, potensi minyak di Blok Cepu sangat
> besar sehingga dengan mudah bank-bank dapat
> membiayai proyek tersebut. 
> 
>             Sayangnya, pemerintah masih bersikap
> ambigu, antara berupaya membangun kemampuan dan daya
> saing industri minyak dalam negeri dengan
> langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan hal
> tersebut. *** 
> 
>             (Penulis anggota tim ahli di
> DPR-RI/analis
>             di Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik -
> LPKP).  
>      
>       ++++
> 
>       SUARA KARYA
> 
>      
> http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114416
> 
>       Mempertanyakan Kontrak Migas Indonesia
>       Oleh Tumpal Wagner Sitorus 
> 
> 
>       Jumat, 8 Juli 2005
>       "Bila kembali pada Mr Mohammad Hassan (1951)
> dan mengacu pada Kontrak Production Sharing Libya,
> pola bagi hasil migas Indonesia selama ini tidak
> menguntungkan negara." 
> 
>       Pengamat masalah migas (minyak dan gas bumi)
> Dr Kurtubi dalam suatu berita media massa mengaku
> mendengar ihwal penggunaan dana cost recovery yang
> tidak sesuai dengan upaya meningkatkan produksi
> migas di Indonesia. Direktur Center for Petroleum
> and Energy Economics Studies (CPEES) ini menyebutkan
> bahwa kenaikan biaya produksi migas dari 2,2 miliar
> dolar AS pada tahun 1999 menjadi 4 miliar dolar AS
> pada tahun 2004 tidak disertai dengan kenaikan
> produksi migas, malah sebaliknya, penurunan produksi
> migas dari 1,5 juta barel per hari (bph) menjadi 1
> juta bph. 
> 
>       Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, Badan
> Pemeriksa Keuangan (BPK-RI), sesuai UU RI No 15
> Tahun 2004 pada Pasal 8 dan Penjelasan, dapat
> mempertimbangkan informasi dari masyarakat termasuk
> kajian, pendapat atau berita media massa. Dr Kurtubi
> dalam kesempatan di suatu media massa mengaku
> mendengar ihwal penggunaan dana cost recovery yang
> tidak sesuai dengan upaya meningkatkan produksi
> migas di Indonesia. Beliau pun menyebutkan bahwa
> kenaikan biaya produksi migas dari US$2,2 miliar
> tahun 1999 menjadi US$4 miliar pada tahun 2004 tidak
> disertai 
dengan kenaikan produksi migas, malah sebaliknya,
yaitu penurunan produksi migas dari 1,5 juta barel per
hari (bph) menjadi 1 juta bph. 

      Proporsi bagi hasil (baca: cash settlement)
sesuai kontrak (PSC) di Indonesia senyatanya
berfluktuasi. Sesuai PSC, Pemerintah RI (BP Migas)
dapat memberikan insentif kepada KPS seperti
investment credit serta menggantikan operating costs
(baca: cost recovery) termasuk transfer cost from gas
to oil yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor (KPS). 

      Tabel 1 berikut yang merupakan ilustrasi bagi
hasil (termuk pajak) yang menunjukkan, katakanlah,
pola bagi hasil 85:15 akhirnya tidak menguntungkan
negara. (Lihat Tabel) 

      Analisis pertama, mengacu pada pendapat Vice
President Indonesia Petroleum Association (IPA),
proporsi bagi hasil migas sebesar 85:15 menunjukkan
bahwa pihak KPS memiliki andil dalam cost recovery
sebesar 15%. Dengan demikian, cost recoverable sebesar
320,000,000 dolar AS setara dengan 85% yang ditanggung
oleh Pemerintah RI (BP-Migas) dan belum
memperhitungkan time value of money (nilai waktu dari
uang). 

      Kedua, dengan memperhatikan hal pertama, pola
bagi hasil berdasarkan desain Kontrak Production
Sharing (PSC) Indonesia pada Tabel 1 tersebut di atas
memberikan hasil bagi negara sebesar 35% (setelah
pajak). Jelas, pembagian ini belum sepenuhnya bersifat
win-win solution. 

      Ketiga, PSC dapat menjadi tidak sesuai dengan UU
No 22 tentang Migas tahun 2001 pada Penjelasan Pasal 6
Ayat (2) yang menyatakan bahwa bentuk Kontrak Kerja
Sama adalah Kontrak Bagi Hasil (PSC) yang lebih
menguntungkan bagi negara. Oleh karena itu, kontrak
Migas Indonesia (PSC) patut dipertanyakan. 

      Keempat, berbeda dengan Indonesia dengan sistem
bagi hasil (PSC) yang sangat rumit dengan memakai
banyak variabel, Kontrak Production Sharing ala Libya
sangat sederhana dan cukup dengan satu variabel saja,
yaitu langsung mengambil bagian hasil produksi yang
seimbang tanpa menerapkan pajak penghasilan kepada
kontraktor (KPS) dan Libya tidak perlu lagi
menggantikan biaya operasi yang dikeluarkan oleh KPS.
Pertanyaannya, apakah Pemerintah RI (BP Migas) lebih
menyukai pola yang rumit-rumit namun dapat merugikan
negara? Bukankah lebih baik dengan pola yang sederhana
namun jelas berapa bagian negara yang sebenarnya? 

      Rudi M. Simamora (2000) menilai pendekatan yang
diambil oleh Libya baik diterapkan oleh BP Migas
dengan penjelasan sebagai berikut: 

      "Pendekatan yang diambil oleh Libya ada baiknya
dilakukan jika memang pengawasan yang seharusnya
dilakukan oleh Pertamina (sekarang BP-Migas). Selaku
manajemen BP Migas tidak atau belum dapat diandalkan
untuk berjalan secara efektif, dan faktor kepercayaan
juga berperan dalam hal ini. Dari sisi kontraktor,
pendekatan ini cenderung akan mendorong efisiensi ke
arah optimalisasi, karena biaya operasi sepenuhnya ada
di pihak kontraktor. Semakin kecil biaya operasi maka
revenue (pendapatan) akan semakin besar. Sedangkan
jika kita membandingkan dengan konsep bagi hasil yang
diterapkan di Indonesia, biaya operasi pada prinsipnya
ditanggung negara, maka yang paling merasakan dampak
dari efisien atau tidaknya penggunaan biaya operasi
adalah negara. Semakin besar biaya operasi berarti
semakin kecil penerimaan negara. Oleh karena itu,
peranan BP Migas selaku manajemen atau pengawas akan
sangat menentukan. Dari sisi praktikal, fungsi audit
tidak lagi menjadi faktor penting dan kebebasan
berdiskresi yang lebih besar dapat diberikan kepada
kontraktor untuk optimalisasi efisiensi." 

      Sejalan dengan praktik di Libya, pada Agustus
1951, Mr Mohammad Hassan, Ketua Komisi Perdagangan dan
Industri di Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar
pembagian 50%-50% diambil dari hasil produksi, tanpa
ikut serta dalam pembiayaan operasi. Pada Maret 1954,
Pemerintah RI dan Stanvac mencapai kata sepakat untuk
memperbarui konsesi Stanvac dengan ketentuan antara
lain penerapan perpajakan yang akhirnya menghasilkan
pembagian 50%-50% dengan jangka waktu konsesi untuk
empat tahun. Kemudian, hasil tersebut diikuti oleh
Konsesi Caltex dan Shell. 

      Kelima, bila mengacu pada sejarah Indonesia dan
PSC Libya, dengan mendasarkan pada ilustrasi Tabel 1
tersebut, negara selama ini tidak lebih diuntungkan
sebesar 39%
{[50%xUS$400,000,000]-S$143,900,262}/S$143,900,262}. 

      Tidak hanya "Ibu Pertiwi" yang berharap dan
memanggil anak bangsa terbaiknya untuk mewujudkan
suatu pola yang sungguh-sungguh win-win solution,
negara pun tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang
besar untuk BP Migas dan tidak perlu lagi menanggung
inefisiensi dengan cost recoverable yang dibuat
semakin besar pula. (Kurtubi, 2005). Selain itu, BP
Migas tidak perlu lagi terlibat jauh sebagai manajemen
dan tidak perlu menyibukkan diri dengan perhitungan
bagi hasil serumit Tabel 1 namun cukup dengan mengecek
gross production-nya saja (baca: lifting). Terakhir,
fungsi audit akhirnya juga tidak menjadi faktor
penting. Pertanyaannya, siapa yang mau sungguh-sungguh
membela kepentingan negara dan mencintai negerinya
sendiri? 

      Dengan BP Migas mengacu pola "rumit", BPK-RI
selaku supreme di bidang audit keuangan negara, sangat
diharapkan kiprahnya dalam meningkatkan fungsi
pertanggungjawaban BP Migas terutama dalam hal audit
cost recovery (baca: cost recoverable). *** 

      (Tumpal Wagner Sitorus, SE MSi Ak, auditor pada
Auditama KN V BPK-RI) 




Ingin belajar Islam? Mari bergabung milis Media Dakwah
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]


                
____________________________________________________
Sell on Yahoo! Auctions – no fees. Bid on great items.  
http://auctions.yahoo.com/


***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to