http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=180385

Kamis, 14 Juli 2005,


Infantilisme dan Etika Jabatan Publik
Oleh Zacky Khairul Umam *


DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) tak menjamin kejujuran dan kedewasaan politik. 
Kisruh di DPR pada momentum lalu menunjukkan kebuntuan konsensus sekaligus 
kedangkalan berpikir anggota. Seperti anak kecil yang baru disapih, tingkah 
laku dan keinginan kebanyakan anggota DPR pun masih kekanak-kanakan. 

Bayangkan saja, aspirasi dan problem masyarakat tak digodok dengan diskursus 
komunikatif yang bermanfaat dalam ruang-ruang sidang maupun dalam realitas 
keseharian. Alih-alih mereka menggunakan fasilitas negara untuk keperluan 
privat. 

Faktanya, banyak anggota dewan yang berkunjung ke luar negeri dengan dalih 
studi banding atau menghadiri konferensi internasional, tapi ternyata tidak 
serius, hanya ekskursi dan jalan-jalan.

Berapa biaya yang dikeluarkan negara untuk keperluan itu? Tak secuil, bahkan 
sampai miliaran rupiah. Sungguh mubazir menyia-nyiakan uang rakyat. Pengeluaran 
yang boros dan tidak perlu itu sebetulnya menunjukkan ketidakdewasaan anggota 
DPR. Dengan kata lain, mereka belum akil balig dalam mengelola profesionalisme 
kerja seorang anggota DPR.

Terakhir, kita sangat kaget dengan dikeluarkan gaji ke-13 serta kenaikan 
tunjangan anggota dan pimpinan DPR hingga 80 persen lebih. Kenyataan yang 
terakhir itu menambah deretan irasionalitas berpikir anggota dewan. Hal 
tersebut menandakan bahwa jabatan anggota DPR hanya simbolik.

Mengapa irasional? Pertama, komposisi anggota d
an pimpinan DPR ialah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi. Hampir 
semua mendapat gelar sarjana hingga doktor, hanya sedikit anggota DPR yang 
berijazah SMU atau sederajat. 

Logikanya, semakin tinggi pendidikan, mereka semakin berpikir panjang dan 
matang dalam mengambil keputusan yang dewasa dan strategis. Namun, realitas 
menunjukkan sebaliknya. 

Hal itu perlu ditanyakan ulang, apakah gelar kesarjanaan sekadar gelar akademis 
yang tak profesional atau malah hanya gelar artifisial yang jauh dari 
pengorbanan menempuh pendidikan (baca: gelar komersial)?

Kedua, hampir sebagian anggaran APBN yang n
otabene sebagai sumber penghasilan DPR selain dari rakyat, juga berasal dari 
pinjaman luar negeri. Kenaikan gaji maupun bonus tunjangan yang besar itu 
hakikatnya merupakan pengeluaran yang tidak biasa. 

Dalam arti, pemborosan biaya pengeluaran. Secara ekonomis, beban negara untuk 
membayar utang luar negeri semakin berat dan akhirnya dikembalikan juga kepada 
pundak rakyat. Semestinya, mereka sadar bahwa alokasi yang benar seharusnya 
ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi.

Ketiga, masalah transparansi dan akuntabilitas publik. Setiap pengeluaran untuk 
keperluan anggota DPR seharusnya diaudit secara terang-terangan sebagai bukti 
penunaian tugas kenegaraan dengan baik. 

Rakyat pun mengerti bahwa tugas DPR dengan memakai fasilitas dan biaya negara 
ternyata digunakan sesuai sasaran dan tujuan negara. Kenyataannya, pergi ke 
luar negeri yang biasa dilakukan banyak anggota DPR ialah faktor kebocoran 
anggaran yang tak terdeteksi publik. Masalah kredibilitas personal yang pergi 
ke luar negeri pun tak dikalkulasi dengan layak.

Keempat, gaji ke-13 dan kenaikan tunjangan ialah sebuah ironi yang paradoks. 
Wajar jika profesionalitas kerja dan disiplin serta pencapaian yang tinggi 
mendapat kenaikan gaji yang pantas. 

Namun, tidak demikian dengan rata-rata kinerja anggota DPR. Yang didahulukan 
hanya hak sekunder, bukan kewajiban primer yang bersifat publik dan kenegaraan.

Yang lebih paradoks ialah kenaikan tunjangan itu terjadi di tengah krisis 
kebangsaan yang kritis. Mulai kasus polio, busung lapar, hingga berbilang model 
kemiskinan kaum papa yang butuh santunan dan pengurusan negara. 

Anjangsana ke pusat krisis itu pun hanya berbilang jam, yang dilihat media 
seolah sebagai kepedulian, padahal tidak. Pasal 34 UUD 1945 yang memerintah 
mengurusi kemiskinan seolah dilupakan begitu saja. 

Tampak ketiadaan philanthropy dan kewelasasihan anggota DPR pada nasib bangsa. 
Suara rakyat yang memilih tak berguna lagi. Mereka hakikatnya menunjukkan 
pengkhianatan justru dengan memamerkan pornografi kekuasaan yang vulgar.

Infantilisme tingkah laku kebanyakan anggota DPR itu seolah menggantungkan 
kapak guillotine ke leher rakyat kecil yang miskin. Di tengah keprihatinan 
bangsa, anggota dewan secara vulgar menunjukkan keglamoran yang melenakan. 

Kedewasaan menyikapi permasalahan bangsa pun tak dibuktikan dengan 
komunikasi-komunikasi politik yang liberatif. Harusnya, diskursus lebih banyak 
melingkupi ruang pikiran anggota dewan untuk menyelenggarakan demokrasi 
deliberatif (ala Habermas) yang tidak membelenggu rakyat.

Menjadi pejabat publik yang terpilih semestinya memperjuangkan etika kekuasaan. 
Yakni, kekuasaan diselenggarakan untuk kemaslahatan umum. Perihal pengayaan 
pribadi harus disadari betul sebagai fatsun yang apatis terhadap konteks 
kebangsaan. 

Pejabat publik seperti anggota DPR mestinya mengerti betul kewajiban dan 
keharusan memahami dan memperbaiki nasib rakyat kecil sebelum menerima hak. 
Etika pejabat publik ialah relasi kuasa yang demokratis sekaligus menggunakan 
kepekaan empati dan emansipatoris. Terakhir, penting merenungi filsafat Martin 
Buber berikut, I require a You, becoming I, I say You (Aku berkata Engkau, 
sambil menjadi Aku, Aku berkata Engkau)!

* Zacky Khairul Umam, ketua umum KSM Eka Prasetya UI Jakarta



[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke