Saya menunggu orang sekaliber BK dan Yasin untuk menyelesaikan masalah
Aceh secara bermatabat dan win-win solution;  Serta menunggu
reinkarnasi Daud Beureuh yang berani berjuang bukan dari Swedia sambil
menjadikan rakyat Aceh sebagai umpan peluru...
DG

On 7/15/05, trúlÿsøúl <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Harga Mati untuk Helsinki
> 
> Indra J Piliang, peneliti dari CSIS, Jakarta
> 
> KETIKA Azhari, sastrawan Aceh, menerima hadiah Free World Award, pada Mei, ia 
> menulis pidato berikut: ''Dan saya sebagai si terkutuk dilahirkan dan tumbuh 
> di tanah yang buruk itu, namun saya begitu mencintai Aceh dengan alamnya yang 
> elok dan masyarakat yang ramah untuk menyambung hikayat lama dan 
> menyampaikannya kepada dunia!''
> 
> Saya pun menyambutnya dengan kalimat: ''Mulut senapan harus disumpal dengan 
> selarik puisi dan sekelebat tulisan tangan sebagai tanda, masih ada 
> tangan-tangan nan bekerja untuk mempertahankan nafas-nafas kehidupan agar tak 
> kerontang dilanda taifun manusia-manusia mesin nan murka menyalakkan 
> senapannya.''
> 
> Ketertindasan dan keterpurukan selalu menjadi mesiu bagi manusia-manusia yang 
> berpikir. Berapa banyak darah yang tumpah yang lantas menjadi rangkaian 
> kalimat yang mencerahkan umat manusia? Sekalipun ribuan penghargaan hadir, 
> termasuk untuk almarhum Munir, tetap saja tragedi demi tragedi yang membalut 
> sebuah bangsa telah memakan korbannya.
> 
> Ratusan tangis telah kita dengarkan selama 26 tahun konflik tahap kedua 
> berlangsung di bumi Aceh. Pada fase konflik pertama dalam bentuk Tentara 
> Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia, pendekatan politik telah berhasil 
> mengimbau tokoh-tokoh Aceh agar turun gunung. Masa-masa itu memperlihatkan 
> betapa rapuhnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, ketika sejumlah 
> tentara melakukan pembangkangan di Aceh, Padang, Makassar, Ambon, dan Manado. 
> Kehadiran pasukan Siliwangi yang dikenal sebagai 'tentara multikultural dan 
> religius', dalam sejumlah operasi militer, turut memberi andil bagi 
> kembalinya tokoh-tokoh yang tidak menyukai gaya kepemimpinan Jakarta.
> 
> Kini keadaan sudah banyak berubah. Sekalipun beban pemerintah pusat semakin 
> berat, akibat pemborosan sumber daya alam, megakorupsi, dan ketiadaan 
> pemimpin yang memiliki kesantunan nurani di masa lalu, setitik harapan 
> kembali merekah untuk menyelesaikan masalah Aceh. Empat putaran pertemuan 
> informal di Helsinki memperlihatkan hal itu, sekalipun masih ada faksi-faksi 
> garis keras yang lebih menghendaki perang di kedua belah pihak.
> 
> Minggu ini, putaran kelima pertemuan informal itu kembali digelar. Persiapan 
> utamanya adalah menyusun draf memorandum of understanding (MoU) yang menjadi 
> kesepakatan kedua pihak. Dua titik pandang saling berhadapan. Pihak Gerakan 
> Aceh Merdeka (GAM) menuntut pemerintahan sendiri (self government), sedangkan 
> pihak Republik Indonesia (RI) menghendaki GAM menerima opsi otonomi khusus. 
> Kedua pandangan itu saling mendekat, termasuk formulasi paling pas untuk 
> melibatkan kalangan pemantau dari dalam dan luar negeri.
> 
> Dalam sistem perundang-undangan RI, memang dikenal adanya opsi otonomi 
> khusus. Dua UU sudah hadir, yakni UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus 
> Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus 
> Provinsi Papua. Kedua UU itu berstatus khusus, mengingat daerah lain 
> menjalankan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lahirnya kedua UU ini 
> juga bagian dari dinamika politik dalam tahun-tahun pasca-Soeharto. Revolusi 
> sistemik dalam bentuk perubahan konstitusi sampai undang-undang adalah bagian 
> dari proses perubahan yang sedang kita tempuh.
> 
> Dikaitkan dengan kepentingan GAM, terutama generasi GAM lama, sebetulnya opsi 
> otonomi khusus adalah hal baru. Patut diakui, status otonomi khusus juga 
> lahir dalam suasana gejolak politik yang tajam di Jakarta dan protes massal 
> di Aceh, tanpa keterlibatan GAM. Adanya desakan untuk menggelar referendum di 
> Aceh yang terinspirasi atas 'jajak pendapat' di Timor Timur, menyebabkan 
> pemerintah dan parlemen nasional mengeluarkan jalan alternatif lewat otonomi 
> khusus. Persoalan utama yang ingin diraih dengan adanya otonomi khusus 
> tentulah kesejahteraan rakyat Aceh. Sebagian besar rakyat Aceh masih hidup di 
> bawah garis kemiskinan. Proporsi pembagian keuntungan dari sumber daya alam 
> Aceh selama ini tidak seimbang, karena lebih banyak disedot bagi kepentingan 
> Jakarta. Konflik dan kekerasan juga menjadi penjara yang mendesak kaum lelaki 
> untuk sulit bekerja, serta menyebabkan kaum perempuan menyangga hidup 
> keluarganya dengan beban berkali-kali lipat dari perempuan di daerah lain. 
> Panggilan dan
>  patroli sewaktu-waktu menjadi hantu yang menakutkan.
> 
> ***
> 
> Kondisi ini tentu tidak terjadi di seluruh Aceh. Untuk Kota Banda Aceh, 
> misalnya, sebelum tsunami tetap menunjukkan aktivitas. Aparatur pemerintah, 
> polisi, tentara, kalangan terdidik, sampai kelas menengah Aceh menikmati 
> situasi keamanan yang lebih stabil, sekalipun rentetan peluru juga sesekali 
> hadir. Daya jangkau media luar juga lebih baik.
> 
> Sementara itu, warga yang hidup di daerah rural, sungguh sulit untuk diakses. 
> Korban-korban terus berjatuhan dengan sejumlah kontroversinya. 
> Meunasah-meunasah lamat-lamat kehabisan energi untuk mempertahankan 
> tradisi-tradisi yang sudah lama menjadi bagian dari keseharian masyarakat 
> Aceh. Kaum ulama dan intelektual terpandang satu demi satu hilang atau 
> diterjang peluru. Generasi baru yang lahir mengalami trauma perang yang dalam.
> 
> Operasi militer yang berlangsung selama dua tahun terakhir ini lewat 
> pengerahan 35.000 tentara dan brigade mobil, kian membatasi ruang gerak 
> Angkatan GAM. Namun, sebagai perang gerilya, apalagi dengan situasi 
> persenjataan militer RI yang kurang mutakhir akibat embargo pembelian 
> senjata, menyebabkan gerakan pasukan GAM tetap bisa berjibaku dalam 
> medan-medan yang sulit. Jalan panjang kekerasan akan terus terbentang, 
> apabila operasi militer diteruskan.
> 
> Ketiadaan dukungan publik Aceh yang melarat itu juga salah satu unsur yang 
> menyebabkan perang berlangsung lama. Rakyat yang terjepit dalam lorong 
> peperangan lebih memilih untuk bungkam, ketimbang memihak kepada salah satu 
> blok. Persoalannya bukan terletak pada rakyat Aceh yang tidak nasionalis, 
> melainkan pilihannya adalah hidup atau mati. Nasionalisme rakyat Aceh dalam 
> perang kemerdekaan dulu telah lama dikecewakan akibat konflik yang menahun.
> 
> Soal hidup dan mati itu pulalah yang layak disampaikan kepada pihak perunding 
> di Helsinki. Perdamaian adalah harga mati. Tidak ada tawaran selain itu, 
> karena siklus konflik ini telah menimbulkan penderitaan yang mahahebat bagi 
> rakyat. Ada sedikit pihak yang diuntungkan dengan perang, namun lebih banyak 
> yang dirugikan.
> 
> Perang ini harus dihentikan, karena sulit untuk melihat ada masa depan dengan 
> jalan peperangan. Soekarno pun pada akhirnya menempuh jalan damai, termasuk 
> dalam penyelesaian sengketa masalah Irian Barat (sekarang Papua) dengan 
> Belanda. Ironis, ketika sejumlah pihak yang menyebut sebagai pengikut Bung 
> Karno terus-menerus tidak menawarkan alternatif, selain mencoba terus 
> mengembuskan napas nasionalisme yang sudah semakin lelah itu. Ironi kaum 
> nasionalis hari ini juga terbentang, ketika begitu banyak aset strategis 
> dijual, seolah 'konsesi' kepada kalangan pengendali arus modal mancanegara. 
> Ketika kaum nasionalis itu berteriak, sebetulnya mereka sedang membongkar 
> kebijakan-kebijakannya sendiri yang anti-nasionalisme.
> 
> Sementara itu, kita melihat betapa persoalan sebenarnya bukan terletak dalam 
> paham nasionalisme yang kini menjadi halusinasi, melainkan lebih kepada 
> pengelolaan negara secara lebih baik. Nasionalisme hanya akan menjadi candu, 
> ketika kaum nasionalis lebih suka mengisap cerutu ketimbang memberikan 
> hak-hak mendasar bagi warga negara.
> 
> Pertemuan di Helsinki ialah bagian dari nasionalisme baru Indonesia. Tentu, 
> akan didapatkan sejumlah rumusan baru pasca-Helsinki. Rumusan-rumusan itu 
> akan menghadapi gelombang politisasi ketika masuk ke meja fraksi-fraksi 
> partai politik di Senayan. 'Pintu politik' itu akan menjadi ajang unjuk gigi 
> antara kaum nasionalis versus kaum humanis. Namun, kemenangan humanisme sudah 
> di depan mata, ketika perundingan demi perundingan sudah dilakukan di 
> Helsinki. Seandainya hasil perundingan itu ditolak Senayan, nanti, urusannya 
> menjadi sangat berbeda.
> 
> Berlikunya jalan menuju kesejahteraan dan keadilan hakiki bagi masyarakat 
> Aceh itu merupakan bukti betapa sulitnya bangsa ini melupakan banyak 
> perbedaannya. Sebagai negara yang terus mencoba untuk menata dirinya, 
> tentulah tantangan demi tantangan itu akan menjadi catatan kaki yang manis.
> 
> Media Indonesia, Rabu, 13 Juli 2005
> 
> 
> 
> ---------------------------------
>  Start your day with Yahoo! - make it your home page
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> ***************************************************************************
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
> Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
> ***************************************************************************
> __________________________________________________________________________
> Mohon Perhatian:
> 
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
> 
> Yahoo! Groups Links
> 
> 
> 
> 
> 
> 
>


***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke