MEDIA INDONESIA
Senin, 18 Juli 2005


Pemerintah Harus Cabut Subsidi BBM
Mohammad Yasin Kara, anggota Komisi II DPR, Jakarta



MENGAPA subsidi BBM harus dicabut sebagai langkah strategis penghematan? 
Bukankah dengan subsidi masyarakat bisa menikmati harga murah dan terjangkau 
sehingga meringankan beban hidup mereka. Betul, masyarakat bisa menikmati. 
Meski demikian, pertanyaan yang lebih substantif, siapakah sebenarnya yang 
menikmati subsidi BBM selama ini? Benarkah masyarakat yang merupakan warga 
miskin kebanyakan penikmat inti subsidi BBM di negeri ini? Inilah pertanyaan 
besar yang jawabannya adalah sebuah pengingkaran para pejabat negara terhadap 
rakyatnya selama ini. Tampaknya subsidi BBM memang sengaja dipertahankan 
pemerintah dalam rentang waktu yang cukup lama karena penikmat sejatinya adalah 
para pejabat negara itu sendiri.

Argumentasinya, bagaimana mungkin masyarakat Indonesia yang kebanyakan miskin 
itu bisa menikmati subsidi BBM, sementara mayoritas pengguna BBM adalah 
masyarakat menengah ke atas dan perusahaan atau industri besar? Sekali lagi, 
bagaimana mungkin masyarakat miskin bisa diklaim menikmati subsidi BBM itu? 
Layakkah masyarakat berada disubsidi? Ini jelas sebuah logika jungkir balik 
yang terus meminggirkan masyarakat kecil.

Dengan pencabutan subsidi BBM, maka APBN kita akan surplus dan otomatis 
penghematan tercapai secara signifikan dalam rentang waktu yang relatif 
panjang. Cobalah kita bayangkan, para pengguna BBM di negeri ini mayoritas 
(mungkin 90%) adalah kendaraan bermotor yang merupakan masyarakat kelas 
menengah dan berada secara ekonomi.

Kalau kita asumsikan pengguna mobil di negeri ini ada 8 juta sebagai taksiran 
minimal dan memiliki tanggungan rata-rata 5 orang, berarti masyarakat yang 
menikmati subsidi ada 40 juta orang. Jika populasi penduduk ada 220 juta, 
berarti hanya 18% dan mereka adalah kelas menegah ke atas. Di manakah keadilan 
itu bisa kita jumpai? Misalnya saat ini subsidi BBM mencapai 28 triliun selama 
6 bulan hingga Juni 2005, maka kurang lebih ada 4,67 triliun/bulan. Jika 
diasumsikan konsumsi per mobil Rp600.000, ada sekitar 4,670 triliun yang 
dikeluarkan untuk subsidi.

Oleh karena itu, jika subsidi dicabut, bisa diasumsikan APBN kita akan surplus. 
Jika harga jual BBM saat ini Rp2.400 kemudian menjadi Rp 3.900 ketika subsidi 
dicabut, berarti APBN kita surplus 62,5%/liter. Apabila angka ini dikalikan 
dengan 15% harga pokok produksi, akan terjadi kenaikan harga sekitar 9,37% 
(katakanlah 10%).

Dengan demikian, telah terjadi surplus produksi versus konsumsi BBM. Jika 
produksi perminyakan kita mencapai 300 ribu barel/hari sekitar 9 juta 
barel/bulan; sementara harga minyak mentah dunia US$60 per barel, maka terjadi 
surplus sekitar US$540 juta/bulan. Dengan demikian, paling tidak kita bisa 
menghemat sekitar Rp5,400 triliun/bulan. Jika dikali 6 bulan, surplus menjadi 
Rp32,4 triliun. Tetapi jika setiap pejabat memiliki dua mobil, jumlah ini 
menjadi Rp64,4 triliun dan seterusnya.

Dari sisi ini saja penghematan BBM bisa efektif. Untuk itu, subsidi mesti 
dicabut. Dengan dicabutnya subsidi BBM, secara otomatis terjadi penghematan. 
Lebih dari itu, memang sangat tidak pantas pejabat negara yang notabene kelas 
menengah mendapat subsidi, tetapi begitulah kapitalisme yang didukung oleh 
mekanisme kebijakan publik dan politik negara sehingga keadilan amat mahal dan 
kemiskinan menjadi realita yang tak terelakkan.

Inpres yang hanya memberlakukan penghematan energi di lingkungan instansi 
pejabat negara, seperti kantor para menteri, kejaksaan, kepala pemerintah 
nondepartemen, Panglima TNI, Kapolri, pimpinan kesekretariatan lembaga negara, 
seluruh gubernur, bupati, dan wali kota, dalam hemat saya tidak akan membantu 
secara signifikan terhadap upaya penghematan BBM itu. Belum lagi kalau para 
pejabat negara yang terkena sasaran inpres itu tidak semua menjalankan anjuran 
pemerintah seperti tertuang dalam inpres tersebut, maka jelas hal ini merupakan 
langkah politik yang sangat tidak strategis.
***

Dalam hemat saya, upaya penghematan BBM ini tidak bisa hanya diatasi dengan 
inpres, tetapi mesti melalui sebuah kajian komprehensif, bahkan akan sangat 
baik apabila ditetapkan melalui undang-undang. Memang ini butuh waktu yang 
relatif lama, sementara kelangkaan BBM telah mencapai titik kulminasi yang 
sangat mengkhawatirkan. Apalagi materinya semata menyangkut sarana penerangan, 
pendingin ruangan (AC), dan berbagai peralatan lainnya di lembaga pemerintahan. 
Sistem monitoring yang digagas pemerintah pun terlihat sangat lemah. Secara 
lebih substantif, inpres ini lebih merupakan imbauan moral yang tidak memiliki 
sistem kontrol sosial yang berfungsi efektif tatkala diterapkan di lapangan. 
Termasuk pembatasan siaran media elektronik di malam hari tidak akan berfungsi 
efektif.

Persoalannya sangat substansial. Yang menjadi standar perdagangan kini adalah 
hukum pasar yang melegitimasi kecenderungan manusia untuk mengonsumsi sesuatu 
yang lebih murah dan menjualnya dengan harga lebih mahal. Untuk itu, meskipun 
pemerintah menganjurkan agar mereka yang memiliki kendaraan berkapasitas mesin 
1.800 cc atau 2.500 cc hingga 3.000 cc harus menggunakan pertamax, ini tidak 
memiliki mekanisme dan sistem kontrol yang memadai. Artinya, masyarakat tidak 
mematuhi secara konsisten terhadap peraturan ini.

Lebih dari itu, terhadap kelangkaan BBM ini masyarakat sebenarnya 
bertanya-tanya, kenapa sampai terjadi kelangkaan, sementara negeri ini 
sebenarnya sangat kaya. Ada apa dengan manajemen pengelolaan perminyakan kita? 
Pertanyaan ini, secara psikologis akan memengaruhi tingkat kepatuhan masyarakat 
atau para pejabat negara yang terkena sasaran Inpres No 10/2005 itu.

Coba kita bayangkan, pada tahun 1970-an kurang lebih sekitar 70% APBN kita 
dibiayai hasil pengolahan minyak bumi, kenapa potensi yang sangat besar ini 
bisa turun drastis? Sudah pasti ada yang tidak beres di tubuh pemerintahan 
selama ini. Kalau kita mau jujur, pasti pengelolaan perminyakan kita selama ini 
terkorup, tidak dikelola secara benar dan memadai dengan jumlah yang tidak 
sedikit; pengalihan subsidi pun hingga kini tidak jelas. Oleh karena itu, demi 
masa depan bangsa dan negara seperti diamanatkan UUD 1945, penghematan BBM 
harus dilakukan dalam kerangka upaya mendorong terciptanya kehidupan masyarakat 
yang adil, makmur, dan sejahtera.

Untuk itu, kebijakan publik dan politik harus selalu mengedepankan kepentingan 
masyarakat luas, bukan semata melayani tercapainya kesejahteraan segelintir 
orang yang berada di ruas-ruas kekuasaan. Dalam kerangka pemikiran inilah 
mestinya upaya penghematan BBM kita letakkan. Kata kuncinya adalah bagaimana 
upaya penghematan ini bisa berjalan efektif, efisien, dan menguntungkan bagi 
kehidupan masyarakat yang berkelanjutan. Artinya, bukan sekedar penghematan 
bersifat instan.

Pengalihan subsidi mesti dilakukan secara transparan dengan berpegang ada 
prinsip keadilan dengan mekanisme kontrol yang jelas. Pada sisi inilah 
kelemahan mekanisme kebijakan publik dan politik pemerintahan kita selama ini 
sehingga berbagai bentuk kecurangan sepeti korupsi, kolusi, dan nepotisme 
terbukti telah menjadi malapetaka besar bagi kehidupan ini. Praksisnya, 
penghematan BBM mesti menjadi inti kebijakan bukan sekadar bagaimana pemerintah 
bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dari kelangkaan sehingga kesejahteraan hidup 
masyarakat tercapai. Tegasnya, pemerintah seharusnya mencabut subsidi BBM dan 
mengalihkannya pada aspek-aspek yang bernilai produktif dan ekonomis.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke