sumber hukum positif indo dalam kasus pidana adalah sumber hukum materiil
(KUHP) dan sumber hukum formil (KUHAP)..., klo ternyata NAD menerapkan
hukum yang berbeda berdasarkan syariah Islam yang dasar hukumnya adalah UU
no 12 thn 2001. klo dikaitkan dengan otonomi daerah, indo dalam pengaturan
negara bukanlah mengatur neg dalam sistem neg bagian or state spt di US,
stp state punya law sendiri2 (bahkan untuk kasus pidana misalnya ada neg
bagian yang masih menerapkan death penalty for such as chamber gas for
severe crime but in another state applied different penalty for the same
case), and diatas state law,  ada federal law. Federal law biasanya
mencakup  tax case, drugs, immigration etc.
klo di indo, dengan adanya UU otonomi daerah membuat konsep hukum neg jadi
berubah, apalagi denga kasus hukum cambuk, makin blur aja neh...:))...,
penyelewengan hukum dengan alasan politis memang sering dilakukan gak cuma
kasus penerapan syariah Islam di aceh, tp kasus2 lainnya.



                                                                           
             "Ambon"                                                       
             <[EMAIL PROTECTED]>                                              
             Sent by:                                                   To 
             [EMAIL PROTECTED]         <Undisclosed-Recipient:;>           
             ups.com                                                    cc 
                                                                           
                                                                   Subject 
             07/21/2005 12:54          [ppiindia] Kekacauan Hukum dan      
             AM                        Konstitusi                          
                                                                           
                                                                           
             Please respond to                                             
             [EMAIL PROTECTED]                                             
                  ups.com                                                  
                                                                           
                                                                           




http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/20/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------


Hukum Cambuk:

Kekacauan Hukum dan Konstitusi


J Soedjati Djiwandono

HUKUMAN cambuk telah dilaksanakan pada 15 dari 26 orang penjudi di Aceh
oleh Mahkamah Syariah di Bireuen karena terbukti melanggar Qonun (Peraturan
Daerah) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Maisir (Perjudian) yang merupakan pelaksanaan Syariat Islam. Peraturan
Daerah itu sendiri didasarkan pada UU No 18 Tahun 2001 tentang Provinsi
NAD.

Pelaksanaan hukuman cambuk itu mencerminkan adanya kekacauan hukum dan
konstitusi di negeri ini. Kekacauan atau kerancuan legal dan konstitusional
seperti ini sebenarnya sudah dapat diduga sejak secara resmi Syariat Islam
diberlakukan di daerah itu.

Gagasan tentang penerapan Syariat Islam di Aceh itu disepakati oleh Gus Dur
ketika dia masih menjabat presiden. Saat itu saya sudah kaget dan menyesal
bahwa gagasan itu datang dari seorang tokoh yang justru kita kenal sebagai
penentang penerapan Syariat Islam di negara ini, yang sangat dihormati
karena sikap dan pikirannya yang berani sebagai seorang nasionalis dan
pluralis, jauh dari sektarianisme.

Ketua PB NU yang sekarang, Kyai Hasyim Muzadi, telah menanggapi penerapan
Syariat Islam melalui pelaksanaan hukum cambuk di Aceh itu dengan
mempertanyakan kepada MPR, DPR, dan pemerintah, mengapa dalam NKRI "bisa
ada dua sistem hukum yang berbeda seperti di Aceh". NU sendiri tetap
berpendirian untuk mengikuti hukum positif nasional.

NU sejak awal dalam melaksanakan syariat itu inklusif dan tidak eksklusif,
maka nilai-nilai agama kemasannya adalah kemasan kebangsaan, dalam tata
hukum yang mengikuti hukum positif nasional. Sementara khusus mengenai
keislaman kita lakukan dalam civil society (masyarakat sipil), tidak dalam
nation-state.

Lagi pula, menurut Pak Hasyim Muzadi, penerapan hukum cambuk ini adalah
masalah yang pelik. Orang yang berjudi, termasuk minum-minuman keras dan
berzinah, memang ada sanksinya. Akan tetapi, bentuknya menurut NU tidak
selalu cambuk. "Bahwa yang berjudi dapat sanksi, ya. Tetapi bentuknya tidak
selalu cambuk. Berbagai macam alternatif bisa diambil," katanya.

Lebih penting lagi, Pak Hasyim mempersoalkan, bagaimana pemerintah bisa
memberlakukan dalam suatu negara dua hukum yang berbeda, bagaimana sebuah
negara kesatuan mempunyai perspektif hukum yang berbeda?" (Kompas,26/6).


Tidak Boleh Bertentangan

Saya ingin mengatakannya secara lebih jelas dan tegas. Sebenarnya bukan
hanya dalam negara kesatuan, tetapi juga dalam suatu negara federal, hukum
lokal (kabupaten, provinsi, atau negara bagian), tidak boleh bertentangan
-secara diametral dengan-bukan sekadar "berbeda"- dari konstitusi yang
berskala nasional.

Sulitnya, kalau kita mau jujur, konstitusi kita sebenarnya juga bersifat
ambivalen, rancu, kabur, sekurang-kurangnya dalam pemahamannya, khususnya
yang menyangkut asas pertama dari dasar atau ideologi negara yang
terkandung dalam Pembukaannya. Ideologi ini selalu disebut "Pancasila",
meskipun istilah itu sendiri tidak terdapat dalam seluruh naskah UUD 1945.

Asas "Ketuhanan yang Maha Esa" tidak pernah dipahami bersama, apa lagi
secara jelas dan terbuka. Banyak orang, khususnya dari kalangan Islam, asas
itu cenderung dimengerti sebagai "agama". Lalu, bahwa negara berdasarkan
Ketuhanan YME - yang terus terang saya juga tidak pernah memahaminya benar
- diartikan bahwa setiap warga negara "wajib" beragama, dan itupun hanya
salah satu agama yang "diakui" negara, meskipun sebenarnya agama tidak
memerlukan pengakuan negara.

Apa dasarnya?Lagi pula, apakah "percaya kepada Tuhan YME" itu harus melalui
agama, dan setiap orang harus sekurang-kurangnya mengaku beragama?

Di sini kita lihat kekacauan pikir banyak orang di negeri ini, terutama di
antara para politisi, karena tidak mengerti atau sengaja atau tidak,
cenderung memahaminya dari segi kepentingan sektarian.

Contoh pertama yang sangat menyolok adalah bahwa "bebas" itu sama dengan
"wajib", sehingga "kebebasan beragama" sama dengan "kewajiban beragama" dan
harus mengaku serta mengatakannya demikian. Kalau tidak, orang tidak bisa
nikah, karena orang nikah harus menurut agama masing-masing, menurut UU
Perkawinan yang konyol itu! Juga kawin antara dua orang yang berlainan
agama tidak dimungkinkan. UU tentang Sikdinas demikian juga, yang
mewajibkan pendidikan agama.

Di situlah letak akar kekacauan atau kerancuan hukum dan konstitusional
itu. Dan mewajibkan beragama sebenarnya menanamkan benih kemunafikan (Lihat
J Soedjati Djiwandono, Setengah Abad Negara Pancasila: Tinjauan Kritis ke
Arah Pembaruan, CSIS, 1995).

Sebab itu kita juga tidak pernah bersikap tegas bahwa hukum agama, agama
apa pun, tidak bisa menjadi sumber hukum negara. Orang biasa menyebut
identitas negara kita "bukan sekuler" dan "bukan teokratis". Sikap
ambivalen inilah yang oleh Prof Bill Liddle disebut sebagai incompleteness
atau in-between ness.



Kerancuan dan kekacauan hukum dan konstitusional itu tercermin juga dalam
rencana revisi KUHP (Djiwandono, "Rancangan revisi kuhp: Cermin kerancuan
hakikat negara RI", Suara Pembaruan, 16 Oktober 2003). Kerancuan itu dapat
juga mempersulit kerja Mahkamah Konstitusi (Djiwandono, "Judicial review
may be problematic", Jakarta Post, 26 November, 2001).

Pak Hasyim Muzadi juga menuturkan adanya "perkembangan yang menarik di
dunia internasional bahwa orang- orang GAM yang ada di Swedia dan Helsinki
justru menggunakan manuver tema-tema sekuler kepada dunia internasional
bahwa apa yang terjadi di Aceh bukan mau mereka, tetapi maunya Pemerintah
Indonesia.

Akhirnya Pemerintah Indonesia dianggap eksklusif oleh dunia internasional.
Jadi ada pembalikan antara yang terjadi di Aceh dan kampanye orang-orang
GAM di Helsinki."

Pemberontakan DI/TII di Aceh tahun 1953 bukanlah gerakan separatis, tetapi
seperti halnya DI/TII di Jawa Barat sebelumnya, gerakan atau pemberontakan
itu adalah usaha mendirikan negara Islam untuk mengganti RI hasil
proklamasi 17 Agustus 1945. PRRI/Permesta tahun 1957 juga bukan gerakan
separatis, tetapi hendak menggantikan pemerintahan RI di Jakarta yang
dianggapnya telah dikuasai kaum komunis.

Sebaliknya, GAM, seperti halnya juga RMS di Maluku dan OPM di Papua, adalah
usaha separatis untuk memisahkan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat
lepas dari NKRI.

Mungkin saja jika GAM berhasil, Syarikat Islam akan menjadi basis negara
Aceh merdeka, tetapi bukanlah dasar dari gerakan separatisme Aceh itu
sendiri yang kini diperjuangkan.


Pasal Baru

Kekacauan atau kerancuan hukum dan konstitusi kini tidak semata-mata karena
kerancuan hakikat NKRI atas dasar UUD 1945 dengan dasar ideologinya
Pancasila yang rancu dan disakralkannya Pembukaan UUD, tetapi juga dengan
pasal baru yang ditambahkan sebagai hasil reformasi yang masih amburadul.

Bab VI tentang Pemerintahan daerah berisi pasal 18A, ayat (1) berbunyi,
"Hubungan dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah".

Tetapi tidak jelas apa makna "kekhususan" itu, dalam hal apa, dan sampai
seberapa jauh. Meskipun begitu jelas, bahwa perundangan daerah, dalam
pengertian provinsi atau tingkat-tingkat di bawahnya sebagai bagian negara,
kesatuan ataupun federal, tidak boleh bertentangan secara diametral dengan
UUD yang bersifat nasional. Pelanggaran atas asas itu berarti perpecahan
negara.

Sebab itu, komentar anggota DPR dari PKS Mutammimul Ula bahwa "hukuman
cambuk yang dilakukan di Bireuen tidak bisa dikatakan melanggar hak asasi
manusia" karena "hukuman tersebut diberlakukan sesuai dengan hukum yang
berlaku di Provinsi NAD" (Kompas,26 Juni 2005) tidak sesuai dengan
pengertian negara hukum, yang memprasaratkan (presupposes) hukum yang adil.


Penerapan hukum agama dalam perundangan daerah bertentangan dengan
konstitusi yang tidak berdasarkan pada hukum agama.

Konstitusi menjamin kebebasan beragama. Sebab itu penerapan Syariat Islam
dengan sanksi hukum negara tidak syah! Peraturan daerah itu harus dicabut,
yaitu Qonun (Peraturan Daerah) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13
Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) yang merupakan pelaksanaan Syariat
Islam, dan UU No 18 Tahun 2001 tentang Provinsi NAD, sekurang-kurangnya
Pasal 25, Ayat (1) yang menyebutkan bahwa peradilan syariat Islam di
Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh
Mahkamah Syariah yang bebas dari pihak mana pun, harus dinyatakan
inkonstitusional dan dica- but!

Penulis adalah pengamat masalah sosial politik


Last modified: 20/7/05

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]

Yahoo! Groups Links










***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to