http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/23/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Menggugah Empati Anggota Dewan Kasdin Sihotang FENOMENA psikososial yang mencuat di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini adalah nihilnya sikap empati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke- 3, Balai Pustaka, 2002:299, empati adalah "keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain." Jadi, seseorang dikatakan berempati apabila ia mampu memahami dan masuk ke dalam perasaan dan pikiran orang lain. Secara lain dapat dikatakan, empati mengandung kepedulian terhadap kondisi orang lain dan terlebih-lebih tentunya mengandung aksi nyata untuk membawa orang bersangkutan keluar dari kondisinya. Dasar filosofi Filosofi yang mendasari sikap empati adalah pengakuan bahwa orang lain merupakan bagian dari dirinya sendiri, dan sebaliknya menganggap dirinya adalah bagian dari orang lain. Dengan demikian, empati berakar pada rasa kebersamaan (sense of community) dan rasa kewajiban (sense of duty) atas orang lain. Dan, kebersamaan itu merupakan sesuatu yang vital dalam hidup manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, tepat ketika Martin Heidegger dalam bukunya Sein und Zeit (1926) menyatakan bahwa manusia adalah "ada yang selalu bersama di dunia" (Mitsein in der Welt). Sebagai Mitsein bagi filsuf eksistensialisme dari Jerman ini manusia selalu terlempar di hadapan orang lain dan ia harus menyadari keterlemparannya sebagai kenyataan eksistensial dan membuka diri terhadap sesamanya demi perkembangannya. Dan, jauh sebelum Heidegger, Aristoteles sudah merintis pemikiran demikian. Istilah yang sangat populer dari pemikir ini berkaitan dengan gagasan di atas adalah zoon politikon. Dalam ungkapan ini, penulis Nichomachean Ethics itu menempatkan hidup dalam komunitas atau persekutuan (koinonia) sebagai bagian eksistensi manusia. Dengan kata lain, kebersamaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan manusia. Yang lebih menarik dalam pemikiran ini, filsuf Yunani itu melihat bahwa orientasi politik yang harus dikembangkan adalah kebaikan bersama (bonum commune). Karena itu, politik yang layak diperjuangkan adalah koinonia politike, yakni politik yang berintikan pelayanan pada masyarakat. Filosofi inilah sesungguhnya mendasari tatanan kehidupan bersama. Bahkan eksistensi dari sebuah elemen-elemen politik harus berlandaskan pada inti pemikiran tersebut. Kalau kita kembali ke topik tulisan ini, jelas-jelaslah kita pantas mengatakan bahwa perilaku para anggota dewan mengindikasikan adanya jarak yang sangat jauh antara realisasi tuntutan etis di atas dengan praktik di lapangan. Dengan kata lain, di kalangan para legislator internalisasi dari filosofi ini masih jauh dari kenyataan. Mengapa dikatakan demikian? Karena memang anggota dewan tidak memperlihatkan empati kepada masyarakat. Meminjam pemikiran Carol Gilligan, apa yang diperlihatkan para wakil rakyat, ketika mereka ngotot untuk memperjuangkan kenaikan tunjangannya, adalah ketidakpedulian terhadap situasi sosial. Dengan keinginan itu, wakil rakyat mencoba menempatkan diri berada di luar ruang dan waktu (baca: situasi nyata) yang dialami oleh masyarakat, yakni suatu dunia yang sakit dan penuh dengan penderitaan (Martin Heidegger & Gabriel Marcel) dan masuk ke dalam dunia maya (Jean Baudrillard), yakni suatu dunia yang hanya bisa mereka nikmati sendiri. Dan, justru dengan memasukkan diri pada dunia yang aspasial dan atemporal itu para anggota dewan telah menunjukkan diri sebagai makhluk yang alpa terhadap etika sosial. Deviasi Nilai-nilai Nilai-nilai etika sosial yang diingkari oleh anggota dewan meliputi, pertama, tanggung jawab moral sebagai wakil rakyat. Hanya mengupayakan kepentingan diri sendiri dan melalaikan, apalagi tidak mau peduli terhadap situasi rakyat, justru merupakan bukti nyata bahwa kesadaran akan adanya tanggung jawab moralnya sebagai wakil rakyat sangat minim. Dengan demikian sebutan "wakil rakyat" dapat diragukan apakah masih layak ditimpakan kepada mereka atau barangkali lebih baik sebutan itu diganti dengan "wakil diri sendiri", meminjam ide Syamsudin Harris. Kedua, nilai keadilan. Tidak bisa dimungkiri bahwa adalah hal yang tidak adil ketika para wakil rakyat berbicara menaikkan tunjangan ketika kondisi masyarakat yang diwakilinya serba kesulitan. Wakil rakyat dalam kondisi sekarang justru memiliki tugas moral, yakni berpihak pada kepentingan rakyat, karena rakyat sudah lebih dulu berpihak kepada mereka dengan memberikan suaranya pada saat pemilihan umum legislatif tahun lalu. Karena itu, adalah adil dan merupakan kewajiban moral anggota dewan sekarang untuk memihak rakyat tanpa diminta sekalipun. Karena itu, ketika mereka menunjukkan ketidakpeduliannya itu berarti anggota dewan telah mengingkari nilai ini. Masih terkait dengan nilai keadilan, dalam upaya memperjuangkan kepentingan diri sendiri, anggota dewan tidak memiliki self consciousness yang mendalam. Sebagian besar masyarakat tahu bahwa kinerja para anggota dewan masih sangat minim. Maka, adalah sesuatu yang tidak adil ketika wakil rakyat berjuang untuk memperoleh penghargaan yang besar dari negara, namun tidak diimbangi dengan kinerja yang memuaskan. Bukankah dapat dikatakan tindakan yang korup ketika seseorang mendapatkan banyak uang, tapi ia tidak bekerja maksimal, selain datang, duduk dan tidur atau ngrumpi? Seharusnya para anggota dewan terhormat mengiangkan kembali dalam sanubarinya yang mendalam ungkapan salah seorang dari presiden Amerika Serikat yang berbunyi, "Jangan tanyakan apa yang diberikan negara terhadap dirimu, tetapi tanyakanlah apa yang kau berikan terhadap negaramu". Ungkapan ini jelas-jelas merupakan ajakan agar sadar akan diri sendiri. Ketiga, nilai otonomi. Dengan ngotot untuk memperjuangkan kenaikan tunjangan, menurut hemat penulis anggota dewan telah kehilangan kemampuan untuk memilah-milah mana yang prioritas dan mana yang kurang prioritas bagi kemaslahatan rakyat. Dalam hal ini otonomi moral telah tereliminasi, padahal menurut Immanuel Kant, sikap ini merupakan landasan moral yang harus ditunjukkan oleh pejabat publik seperti anggota legislatif. Penutup Sebagai pejabat publik, para anggota dewan diharapkan mampu menunjukkan kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi masyarakat serta mampu dan mau belajar dari politisi-politisi teladan moral seperti Mahatma Gandi. Atau, kalau tidak bisa meniru apa yang dilakukan oleh tokoh moral dalam politik India itu, sebagai prinsip minimalis diharapkan anggota dewan tidak menyakiti hati rakyat yang sedang dirundung duka mendalam karena tertimpa berbagai kesulitan dengan ngotot memperjuangkan kenaikan tunjangannya. Tuntutan tersebut merupakan tuntutan minim dari sikap empati anggota dewan kepada rakyat. Bagi masyarakat yang terpenting bukan argumen-argumen atau kelik-kelik irasional, melainkan tindakan nyata. Salah satu contohnya adalah keberanian legislator untuk menghentikan kenaikan tunjangan itu, mumpung belum diputuskan. * Penulis adalah dosen Etika dan Filsafat Ekonomi di FE Unika Atma Jaya, Jakarta Last modified: 23/7 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/