http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/23/opi01.html



Ahmadiyah, Demokrasi, Anarkhisme Mayoritas
Oleh 
Mahmudi 

Seribuan warga Parung, Bogor, yang menyerbu kampus Mubarak milik Jemaah 
Ahmadiyah Indonesia dan mengusir pemiliknya 15 Juli 2005 adalah bukti tentang 
bahaya tirani dan anarkhisme mayoritas. Kekhawatiran paling besar terhadap 
demokrasi sejak mula pertama penyebarannya adalah persoalan kekuasaan mayoritas 
yang bisa menjadi tiran dan anarkhis. 

Atas nama demokrasi, kaum mayoritas bisa mengklaim memiliki otoritas kebenaran. 
Kaum minoritas harus tunduk kepada klaim-klaim mayoritas. Sejak semula, 
pengusul Konstitusi Amerika Serikat, James Madison, telah mencurigai 
kemungkinan munculnya tirani mayoritas dalam demokrasi. Warga Parung yang 
menyerbu kampus Ahmadiyah tersebut tidak hanya memberi bukti tirani mayoritas, 
tapi juga mempraktikkan tindakan anarkhisme mayoritas.

Tirani, dan juga anarkhisme mayoritas semakin menampakkan wujudnya ketika serta 
merta Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat mengeluarkan fatwa bahwa ajaran 
Ahmadiyah terlarang. Fatwa tersebut secara tidak langsung memberi lampu hijau 
bagi tindakan anarkhis (pelanggaran HAM) terhadap jemaah Ahmadiyah. 

"Terlarang" dan "sesat" adalah dua ungkapan yang tidak memiliki dasar 
epistemologis, jika itu ditujukan kepada doktrin agama tertentu, kecuali bahwa 
itu menyangkut persoalan otoritas kebenaran. Baik MUI maupun kaum mayoritas 
bukanlah pemegang otoritas kebenaran satu-satunya. Betapa naifnya jika 
persoalan kebenaran agama harus diselesaikan dengan hanya mengacu kepada 
kuantitas. Di atas permukaan bumi ini, semua orang memiliki kebenaran 
religiusitasnya sendiri-sendiri, tidak ada orang yang berhak memaksakan 
kebenaran agamanya kepada orang lain.

Salah satu hal yang disoroti kaum mayoritas Muslim Indonesia kepada Ahmadiyah 
adalah jemaah itu mempercayai kenabian tidak berhenti pada Nabi Muhammad: 
Muhammad adalah nabi, tapi setelah Muhammad masih ada nabi. Dalam kaca mata 
mayoritas, keyakinan seperti itu nampak ganjil. Tapi jika rakyat Indonesia mau 
mengakui eksistensi kaum minoritas, maka hal seperti itu sangat wajar. Bicara 
masalah agama, berarti bicara masalah keyakinan. 

Sikap Pemerintah 
Keyakinan adalah persoalan yang kerapkali sangat sulit dijelaskan dengan 
menggunakan pendekatan rasional dan empiris, sebab agama biasanya hanya bisa 
didekati dengan intuisi. Jika keyakinan tertentu dianggap sesat, kenapa tidak 
dengan yang lain? Jika kaum mayoritas memiliki hak memfatwa sesat dan mengusir 
kaum yang memiliki keyakinan masih ada nabi setelah Muhammad, maka mereka tentu 
memiliki alasan untuk memfatwa sesat bagi kaum yang meyakini bahwa Muhammad 
adalah nabi terakhir. 

Keduanya sama-sama berpijak pada keimanan yang sulit dijelaskan argumentasinya, 
kecuali dirasakan oleh pemeluknya sendiri-sendiri. Menganggap mereka keliru 
wajar, tapi menghalangi mereka mengekspresikannya adalah keterlaluan. Ummat 
Islam yang saat ini mayoritas, toh dulu juga pernah minoritas, bahkan di banyak 
tempat yang lain masih minoritas: dianggap sesat, terlarang, diusir, bahkan 
dibantai. 
Dalam bayang-bayang tirani dan anarkhisme mayoritas, sikap diam pemerintah 
terhadap tindakan melanggar hukum yang dilakukan sebagian warga Parung, adalah 
konsekuensi dari sikap politis untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Pemerintah 
pusat, maupun daerah tidak mau mengambil risiko berhadapan dengan golongan 
mayoritas. Mereka harus patuh kepada apa maunya kelompok mayoritas untuk 
mempertahankan kesinambungan kekuasaannya pada setiap pemilu. 

Sejumlah kasus, seperti penangkapan Yusman Roy yang mengajarkan salat 
dwi-bahasa, beberapa penyerbuan di Jawa Timur, fatwa-fatwa mati, kasus grup 
musik Dewa, dan yang lainnya, selalu tidak mendapat respons berarti. Bahkan 
pemerintah mengambil tindakan yang melukai nalar keadilan. Dalam pelbagai 
jargon penegakan supremasi demokrasi, persoalan seperti ini seharusnya mendapat 
porsi utama. Sebab, kebebasan berekspresi adalah pilar utama penegakan 
supremasi dan konsolidasi demokrasi.

Menunggu Giliran 
Untuk menangani persoalan tirani dan anarkhisme mayoritas, para pakar demokrasi 
merumuskan demokrasi tidak bisa dikungkung hanya dalam definisi prosedural, 
melainkan juga harus memunculkan kembali tujuan substantif dari demokrasi itu 
sendiri. Demokrasi prosedural hanya bicara mengenai mekanisme perebutan 
kekuasaan secara adil, yang kerapkali mengabaikan hal substantif mengenai 
kebebasan. 

Sebuah pemerintahan demokratis tidak bisa memerintah hanya karena ia terpilih 
dalam pemilu, melainkan juga harus mengemban misi menegakkan kebebasan setiap 
warga negara untuk beraktivitas: baik dalam politik, ekonomi, berpendapat, 
berbicara, berkumpul, maupun berkeyakinan keagamaan. Ketika kebebasan 
dipisahkan dari demokrasi, hasilnya adalah tirani dan anarkhi. 

Jika saja pemerintah jeli, tindakan anarkis sebagian warga Parung itu tidak 
akan terjadi. Seharusnya pemerintah memberikan sanksi, layaknya terhadap 
pelanggar HAM. Kalau dibiarkan terus, bukan tidak mungkin kekerasan atas nama 
agama akan terus menjadi tontonan di negeri ini. Kalau Ahmadiyah dilegalkan 
untuk diusir, apa lagi agama lain yang jelas-jelas berbeda, tinggal menunggu 
giliran diusir. Syi'ah, Mu'tazilah, Paramadina, Jaringan Islam Liberal, 
kelompok-kelompok tasawwuf (sufistik) kota, Anand Ashram, Salamullah, pesantren 
az-Zaitun, dan ribuan lainnya harus siap-siap angkat kaki dari negeri ini. 

Tiba-tiba saya rindu Gus Dur. Semoga beliau cepat sembuh dan bisa kembali 
berdiri di garda depan melawan segala praktik tirani dan anarkhisme mayoritas 
terhadap kaum minoritas.

Penulis adalah aktivis Lingkar Kajian Masyarakat Indonesia Terbuka
 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke