http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/24/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Jalansutra Ada Ganja dalam Masakan Aceh? Bondan Winarno Orang-orang Jakarta yang berkunjung ke Aceh mungkin bingung. Kenapa gulai kepala ikan justru sulit dicari di sana? Bukankah gulai kepala ikan merupakan menu yang paling dicari di beberapa rumah makan yang menghidangkan masakan Aceh di Jakarta? Bukankah pula ada semacam rumor yang berkembang di masyarakat bahwa gulai kepala ikan khas Aceh itu dibumbui daun ganja untuk membuat orang linglung karena keenakan menyantapnya? Di Banda Aceh, saya hanya menemukan dua rumah makan yang menjual gulai kepala ikan. Yang pertama adalah Rumah Makan "Ujong Batee" di kawasan Jambotapee. Yang lain adalah Rumah Makan "Asia Utama Muda", tidak jauh dari yang disebut pertama. Menurut teman-teman asli Aceh, "Ujong Batee"-lah yang paling bagus. Maka, ke sanalah saya pergi membeli gulai kepala ikan. Saya langsung ditertawai ketika bertanya apakah benar gulai itu dimasak dengan bumbu daun ganja. "Yang punya rumah makan ini seorang haji. Mana mungkin masakannya pakai ganja?" kata pegawai di rumah makan itu. Tetapi, dia juga segera menambahkan. "Mungkin biji ganja dipakai untuk memasak gulai kambing, karena berkhasiat membuat dagingnya lunak. Cuma, kami juga tidak memakainya di sini." Kepala ikan yang digulai adalah kakap, rambeu (sejenis ikan laut), dan tongkol. Tekstur dan citarasa kepala ikan rambeu ini sangat mirip dengan kakap, hanya bentuknya saja yang berbeda. Harganya hanya Rp 12.500 per porsi. Bayangkan, di Jakarta harganya di atas Rp 30.000. Menurut Bang Zul, pengemudi yang mengantar saya, di kawasan Simpang Surabaya di Banda Aceh dulu ada penjual nasi goreng yang dicurigai memakai ganja sebagai salah satu bumbunya. "Soalnya, kalau kita makan di sana seperti tidak pernah puas. Ingin makan terus," katanya. Saya langsung minta diantar ke sana. Untunglah, tempat itu sudah lama tutup. Di depan sebuah rumah makan dekat Masjid Raya Banda Aceh, saya melihat seorang ibu sedang memasak kare kameng (kari kambing) di wajan besar. Saya memakai teknik yang agak kurang ajar. "Bu, saya mau beli satu porsi kalau gulai kambing ini pakai ganja." Ternyata, dia malah marah dan sama sekali tak mau menjual gulai kambingnya untuk saya. Jadi, apakah kehadiran bumbu ganja dalam masakan Aceh hanya merupakan mitos? Saya tak bisa menjawabnya. Saya masih ingat dua tahun lalu ketika seorang wartawan pulang dari dinas di Aceh dan membawa oleh-oleh dodol. Ternyata, tanpa diketahui, dodol itu mengandung ganja. Salah seorang dari kami sempat diusung ke rumah sakit. Lalu, apa yang sebetulnya merupakan masakan khas Aceh? Pertanyaan saya itu langsung dijawab oleh Suhaimi, seorang seniman muda Aceh, dengan mengundang saya makan siang ke rumahnya. Siang itu rupanya Ibu Zahrima memasak ungkut kayee (artinya: ikan kayu), yaitu ikan tongkol yang dikeringkan dengan cara dijemur, lalu direbus, dan kemudian disalai. Bukankah itu sangat mirip dengan katsuoboshi dalam bahasa Jepang yang juga berarti ikan kayu? Ikan kering ini diiris tipis-tipis dan dimasak dengan kentang dalam kuah kari yang kental. Lauk ini juga umum dikenal dengan nama kemamah. Salah satu bumbu khas Aceh di dalam masakan ini adalah asam sunti, yaitu belimbing sayur atau belimbing wuluh yang dikeringkan. Tentu saja memakai temurui atau daun salam koja untuk membuatnya bercita rasa khas. Orang Aceh juga suka memasak dengan cabe rawit dan cabe hijau yang hampir selalu hadir dalam setiap jenis masakan mereka. Ibu Zahrima juga memasakkan plieuk u, sayur khas Aceh yang punya nama lain patarana. Konon, dulu plieuk u harus dimasak dengan 44 jenis sayur dan bumbu. Kuahnya dibuat dari kelapa parut yang sudah dikeluarkan santannya, kemudian dibusukkan. Berbagai jenis sayur yang biasa dipakai adalah: daun pepaya, daun singkong, nangka muda, rebung, daun mlinjo, buah mlinjo, pepaya muda, dan lain-lain. Semua orang yang berkunjung ke Aceh pastilah diajak mencicipi kopi Aceh yang memang istimewa. Kopi Aceh yang terbaik berasal dari daerah Ulee Kareng. Saya sempat mengunjungi "Peutuah Toe Cafe" di Ulee Kareng. Agak terkejut juga saya melihat beberapa kelompok remaja berjilbab sedang makan-minum di cafe yang luasnya sekitar 400 meter persegi itu. Ternyata, warung kopi di Aceh merupakan sebuah lembaga budaya yang sangat merakyat. Anak-anak muda mengerjakan pekerjaan rumah di warung kopi. Orang dewasa memecahkan masalah di antara mereka juga di warung kopi. Pada kartu menu terlihat kopi sanger. Apa itu? Nama lainnya adalah kopi cret alias kopi tanggung. "Seperti cappuccino encer. Kopinya sedikit, gulanya sedikit, susunya sedikit," begitulah penjelasannya. Tentu saja ada kopi tarik yang khas Aceh - sekalipun mungkin meniru cara penyajian kopi di India atau Malaysia. Saya memesan kopi telur - sekadar ingin melihat bagaimana penyajiannya. Sebutir telur ayam kampung mentah dipecahkan dalam gelas, kemudian dikocok dengan blender sampai membuih. Lalu dituangi kopi kental panas dan dibubuhi gula. Wuiiiih! Saya juga menyempatkan waktu untuk mencicipi mi Aceh di sebuah kedai dekat Masjid Raya Banda Aceh. Semacam mi nyemek dengan rasa kari, dimasak dengan rajangan kol, dan seledri. Disajikan dengan sepiring kecil emping mlinjo goreng, dan kondimen berupa rajangan timun dan bawang merah. Mi Aceh disajikan dengan pilihan protein berupa kepiting atau udang. Suhaimi tertawa ketika saya dengan jujur mengatakan bahwa saya kurang menyukai makanan itu. "Mi Aceh yang paling enak justru di Jawa," katanya terkekeh. Pada malam hari, di sekitar masjid terlihat banyak penjual sirih. Anehnya, ternyata makan sirih bukan sekadar tradisi orang tua. Banyak anak-anak muda justru nongkrong di sekitar situ sambil makan sirih dengan pinang. Katanya, sirih punya khasiat untuk membuat jantung lebih kuat, selain juga mempunyai efek meningkatkan kemampuan seksual. Pagi hari, di dekat Masjid Raya Banda Aceh ada pedagang nasi gurih yang sangat laris. Sejak lepas sembahyang subuh, orang-orang sudah antre membeli nasi gurih untuk dibawa pulang atau dimakan di tempat. Mirip nasi uduk dengan berbagai lauk pilihan - limpa goreng, paru goreng, sie manok (ayam), dan lain-lain. Tersedia juga gudangan yang terbuat dari daun singkong rebus dengan parutan kelapa. Sambalnya sangat khas. Ada sambal merah yang manis dan tak seberapa pedas. Ada pula sambel cabe hijau yang direbus dengan tauco. Orang Aceh - seperti orang Madura - juga suka makan bebek. Hampir di semua keude bu (kedai nasi) selalu bisa didapati sie itik (masakan dari daging bebek). Kebanyakan digulai. Ada gulai merah seperti layaknya kari, ada pula gulai putih yang mirip opor. Daging bebek yang dimasak dalam gulai putih biasanya diikat dengan daun pandan untuk menciptakan aroma dan citarasa yang khas. Dalam kuah opornya saya juga melihat star anise sebagai bumbu aromatik. Setelah makan, saya juga sempat mencicipi jajanan khas Aceh yang disebut timpan, sekepal ketan yang membungkus srikaya, dibungkus dalam daun pisang muda, kemudian dikukus. Sungguh legit! Last modified: 21/7/05 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/