http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=12151


      Kualitas SDM dan Biaya Pendidikan 
      Oleh redaksi 
            Senin, 25-Juli-2005, 09:28:02    
     
     
            Oleh: Priyo Handoko SAP 
     
     
      Achmad Sanusi (1998) mengemukakan, jika abad silam disebut abad kualitas 
jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas sumber daya manusia 
(SDM). Pengembangan kualitas SDM bukan lagi merupakan isu retorik, melainkan 
merupakan taruhan serta ujian setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, 
dan bahkan setiap bangsa. Winarno Surakhmad (1970) jauh-jauh hari juga sudah 
mengingatkan, bila ada suatu negara mengharapkan kebesaran tetapi tidak 
mengutamakan pendidikan bangsanya, maka negara itu memimpikan kemustahilan. 

      Dengan demikian jelaslah, bahwa persoalan SDM memang merupakan sebuah 
garapan strategis yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Komitmen negara dan 
pemerintah terhadap persoalan ini akan menjadi taruhan bagi nasib dan masa 
depan bangsa, di dalam rapatnya jaring laba-laba globalisasi. 

      Pengembangan SDM dan tinggi rendahnya kualitas SDM, tergantung banyak 
varian, salah satunya dunia pendidikan. Pendidikan adalah suatu instrumen yang 
sengaja dihadirkan agar menghasilkan perubahan dan kesadaran pada diri seorang 
manusia, atas beragam realitas yang ada disekitarnya untuk kemudian 
direproduksi atau mungkin direkonstruksi kembali. Dalam sistem pendidikan 
nasional, secara eksplisit tergambar penjenjangan pendidikan formal bagi 
segenap rakyat yang idealnya mencapai level pendidikan tinggi. Sayangnya, hal 
ini tidak diikuti keinginan baik pemerintah. 

      Alhasil, sebuah keinginan memperbaiki nasib dunia pendidikan, sampai hari 
ini masih belum mampu mencapai hasil yang memuaskan. Yang tetap terus maju dan 
meningkat dari hari ke hari hanya pada besaran biaya pendidikan yang terasa 
kian membebani rakyat. Jika begini terus, jelas pada akhirnya pendidikan hanya 
bisa dinikmati mereka-mereka yang memiliki kemampuan kaum berpunya, sementara 
mayoritas rakyat kita yang berstatus ekonomi menengah ke bawah dengan terpaksa 
harus gigit jari. 

      Francis Wahono (2001) dalam bukunya, Kapitalisme Pendidikan, menegaskan, 
saat ini pendidikan formal memang telah menjadi bagian yang hilang dalam diri 
sebagian besar anak-anak dan remaja di Indonesia. Sungguh tragis, padahal 
katanya pendidikan adalah hak segenap warga negara. 

      Ivan Illich dalam bukunya Bebas dari Sekolah (1982) yang berjudul asli 
Deschooling Society (1972) menuliskan, memang di mana-mana di seluruh dunia 
biaya sekolah telah meningkat lebih besar daripada banyaknya pendaftaran dan 
lebih cepat daripada GNP; dimanapun biaya untuk sekolah makin tak tergapai oleh 
para orang tua, guru, dan murid. 

      Dalam konteks Indonesia, laju naiknya biaya pendidikan bahkan jauh 
berlipat ganda melebihi nilai inflasi dan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) 
setiap tahunnya. Wajar saja, jika banyak orang tua yang mengeluh setiap datang 
tahun ajaran baru, karena standard hidup (termasuk biaya pendidikan) yang 
semakin tinggi, sementara penghasilan sehari-hari tetap stagnan. 

      Proses pendidikan yang pada awalnya diarahkan sebagai sarana individu 
untuk menggali potensi, menseriusi minat dan menemukan jati dirinya, akhirnya 
harus tunduk pada logika-logika ekonomi semata. Berharga tidaknya suatu 
disiplin ilmupun, pada gilirannya dilihat dari sampai sejauh mana dia mampu 
menjanjikan masa depan yang prospektif. Proses pendidikan yang sangat tidak 
mencerahkan ini, secara perlahan-lahan jelas akan membentuk anak didik menjadi 
insan-insan materialistis yang arogan, yang menjadikan materi sebagai 
satu-satunya ukuran kebahagiaan dan kemuliaan. 

      Padahal, Kartadinata (1997) pernah mengingatkan, bahwa pengembangan SDM 
yang berkualitas adalah sebuah proses kontekstual. Artinya, pengembangan SDM 
melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas atau semata-mata menyiapkan manusia 
yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja pada 
saat ini, melainkan juga manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang 
hayat. 
      Dengan kata lain, terciptanya SDM yang berwawasan terbuka dan selalu 
berfikir jauh ke depan dengan keinginan kuat untuk mengaktualisasikan diri dan 
membebaskan masyarakatnya, merupakan visi ideal pendidikan yang harus menjadi 
kiblat bersama. Pemahaman sekolah atau kuliah semata-mata untuk cepat kerja, 
dan kerja semata-mata agar saya cepat kaya adalah sebuah logika pragmatis yang 
juga tidak tepat, dan karenanya harus dikikis habis. Tidak tepat karena hanya 
akan menggiring putra-putri bangsa ini menjadi generasi-generasi instan yang 
takut berproses, tak punya pendirian, manja dan gampang terbawa arus. 

      Tapi sekali lagi, bagaimana kita bisa mewujudkan semua visi ini, jika 
ternyata pemerintah masih belum memiliki komitmen untuk memberikan kesempatan 
pendidikan yang merata kepada semua warga negara. Berkembangnya logika 
pragmatis di dalam memandang persoalan pendidikan, juga tidak sepenuhnya salah, 
mengingat realitas kerasnya tekanan ekonomi yang menghimpit psikologis 
mayoritas masyarakat kita. 
      Kita semua tentu sepakat dan mafhum bahwa segala sesuatu pasti ada 
cost-nya, termasuk juga pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas dan mutu 
pendidikan, tentu dibutuhkan cost yang juga ekstra. Tapi, salah besar jika 
untuk menutupi kebutuhan anggaran pendidikan dilakukan dengan jalan 
mengkomersialisasikan dunia pendidikan yang seharusnya wajib dilindungi oleh 
negara. 

      Beberapa tawaran konsep cerdas, seperti tarif SPP proporsional maupun 
subsidi silang yang muncul seiring dengan diterapkannya otonomi sekolah dan 
kampus, ternyata hanya sebuah konsep "semacam jaring pengaman sosial" versi 
dunia pendidikan yang cerdas di atas kertas. Pelaksanaan konkritnya di 
lapangan, sampai detik ini sama sekali tidak jelas. Yang jelas-jelas terlihat 
adalah semakin besarnya jurang ketimpangan dan ketidakadilan di dalam dunia 
pendidikan kita. Entah kenapa dan bagaimana, biaya pendidikan kian terasa berat 
bagi kaum papa? 
      Pendidikan yang bermutu memang tidak murah, tapi kebutuhan 
pengakumulasian biaya untuk itu jelas tidak boleh dilakukan di dalam dunia 
pendidikan (misalnya dengan menaikkan SPP dan uang-uang sumbangan lainnya), 
sebab pasti akan mereduksi makna pendidikan itu sendiri. 

      Sebagai contoh, memang benar bahwa sekarang banyak mahasiswa yang ke 
kampus dengan membawa mobil dan berponsel ria ke sana ke mari. Tapi, jangan 
fenomena itu digeneralisir dan dijadikan landasan logika untuk membenarkan 
naiknya biaya kuliah. Cara ini jelas keliru dan akan membuat dunia pendidikan 
semakin terkesan ekslusif dan mewah bak menara gading. Seharusnya, pajak mobil 
dan bea masuk ponsel itu yang didongkrak untuk kemudian dialokasikan ke sektor 
pendidikan. Kalau tidak, jelas nantinya hanya mereka-mereka yang menunggang 
gajah bergadinglah yang akan mampu sekolah dan kuliah. 

      Untuk itu, pemerintah harus berani mempertegas komitmennya terhadap 
pengembangan kualitas SDM bangsa ini, dengan jalan berinvestasi secara serius 
di dalam APBN (APBD) dan menstimulus semua komponen bangsa agar mau aktif 
terlibat di dalam persoalan pendidikan, terutama para swasta dan 
pejabat-pejabat tinggi negara dengan "memaksa" mereka untuk mengeluarkan 
kelebihan uang mereka melalui pajak. 
      Meskipun terasa terlalu naif, tapi bagi penulis ini jauh lebih realistis 
dilakukan, asalkan jangan uang hasil pajak itu dikorupsi lagi. Sudah waktunya 
pemerintah berpihak kepada kaum papa dan sedikit bertindak adil kepada kaum 
berpunya. Kitapun tidak boleh hanya berdiam diri dan pasrah melihat gejala 
inflasi yang terus melipat-lipat biaya pendidikan kita, karena semua ini memang 
sangat tidak wajar. Seperti kata sebuah iklan "mau pinter kok mahal ?" Mungkin 
ini saat yang paling tepat bagi kita semua untuk: "tanya kenapa?"*** 

      *) Priyo Handoko SAP. Independent Researcher dan Penulis. 
     
        


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke