http://www.indomedia.com/bpost/072005/28/opini/opini1.htm



Minyak Batu Bara, Satu Langkah Penghematan BBM
Oleh : Gusti Abubakar

Guna menghadapi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), Minggu (10/7), Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 
tentang Penghematan Energi. Inpres ini ditujukan kepada menteri Kabinet 
Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, kepala lembaga pemerintah nondepartemen, 
Panglima TNI, Kapolri, pimpinan kesekretariatan lembaga negara, gubernur, 
bupati dan wali kota.

Inpres dikeluarkan saat rapat koordinasi antara presiden dan 32 gubernur 
seluruh Indonesia di kantor Presiden Jln Medan Merdeka Utara, Jakarta dan 
berlaku sejak tanggal dikeluarkan. Langkah yang akan diambil di beberapa 
instansi atau lingkungan BUMN dan BUMD adalah penghematan energi untuk 
pendingin ruangan (AC), penerangan, peralatan yang menggunakan listrik, serta 
penggunaan kendaraan dinas. Dalam inpres itu juga diimbau untuk segera 
menyosialisasikan kepada masyarakat termasuk perusahaan swasta yang berada di 
wilayah masing-masing, memonitor pelaksanaan penghematan energi dengan 
menyampaikan laporan setiap enam bulan kepada presiden melalui Menteri ESDM. 
Langkah penghematan BBM dapat dilakukan dengan mengganti BBM dengan sumber 
energi lain, misalnya penggunaan batubara dan gas.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki potensi untuk melakukan penghematan 
hingga Rp10 triliun dari biaya operasi. Penghematan itu bisa dicapai jika 
seluruh pembangkit listrik tenaga gas uap mengganti sumber energinya dari BBM 
menjadi gas.

Menurut Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN, Ali Herman Ibrahim, bahan 
bakar gas memang jauh lebih murah dan efisien untuk mengoperasikan pembangkit 
listrik milik PLN. Seandainya sumber energi BBM bisa dikonversi dengan bahan 
bakar gas, biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp5 triliun.

Menurut ia, biaya yang dikeluarkan PLN untuk membeli BBM mengalami peningkatan 
cukup signifikan. Pada 2002, biaya pembelian BBM hanya Rp9,15 triliun dan 
meningkat pada 2003 menjadi Rp13,62 triliun. Saat ini, PLN baru memanfaatkan 
gas sebanyak 300 juta kaki kubik per hari (MMCFD) untuk 21 persen dari seluruh 
pembangkit yang ada.

Sektor lain yang banyak menggunakan BBM adalah transportasi (darat dan laut). 
Bila sektor ini dapat mengganti BBM dengan sumber energi lain, lebih banyak 
lagi penghematan yang dapat dilakukan. Sektor rumah tangga juga banyak 
mengonsumsi minyak tanah yang bila digantikan dengan briket batubara, dapat 
menghemat penggunaan BBM dan lebih ekonomis. 

Indonesia sangat kaya sumber daya alam (SDA) baik berupa mineral, batu bara, 
minyak bumi dan gas. SDA bersifat tidak dapat diperbaharui, sehingga 
pemanfaatannya harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Indonesia memiliki cadangan batu bara berlimpah ruah. Berdasarkan data, 
cadangan batu bara Indonesia sekitar 36,3 miliar ton. Dari jumlah itu, 85 
persen (30,9 miliar ton) di antaranya berupa lignit, yaitu batu bara muda 
dengan kandungan air sekitar 30 persen yang mudah terbakar oleh provokasi panas 
dan sulit dipadamkan.

Lignit tidak laku dijual mentah. Dengan kandungan lignit yang besar sekali, 
maka dapat dikatakan bahwa cadangan batu bara Indonesia yang laku dijual mentah 
sekitar 5,4 miliar ton. Permasalahan sekarang, bagaimana mendayagunakan lignit 
tersebut. Salah satu alternatifnya adalah mengubah lignit menjadi bahan bakar 
cair (minyak/BBC). Afrika Selatan sudah lama menggunakan minyak dari batu bara. 
Latar belakangnya bukan kelangkaan minyak bumi, tetapi tekanan politik dunia 
yang membuat negara itu dikucilkan karena ketika itu Afrika Selatan menerapkan 
politik apartheid.

Diperkirakan, cadangan minyak bumi Indonesia tinggal 4,8 miliar barrel (sekitar 
550 miliar liter, 1 barrel = 114,41 liter). Bila diasumsikan, tidak ditemukan 
cadangan baru dan tingkat konsumsinya tetap maka cadangan minyak itu akan habis 
tujuh tahun mendatang. Bila terjadi pertumbuhan penduduk, industri dan 
kendaraan bermotor maka krisis energi akan lebih cepat. Untuk mengantisipasi 
ini, salah satunya adalah mengubah batu bara menjadi BBC.

Konversi energi dari batu bara menjadi minyak ini yang sedang diteliti di 
Indonesia. Konversi dilakukan dengan mencairkan batu bara menggunakan tekanan 
dan suhu ekstratinggi. Menurut Ir Hartiniati Soedioto MEng, manager Program 
Pencairan Batu Bara Direktorat Konversi dan Konservasi Energi, Badan Penelitian 
dan Pengkajian Teknologi (BPPT), biaya untuk mendapatkan minyak dari hasil 
pencairan batu bara bisa lebih murah ketimbang harga minyak bumi. Dari 
penghitungannya, harga jual minyak dari proses pencairan batu bara sekitar 
18-19 dolar AS per barrel. Sementara harga minyak mentah belakangan ini 
berkisar 30 dolar AS per barrel. 

Lambok Hilarius Silalahi MEng, anggota tim peneliti Program Pencairan Batu Bara 
menambahkan, perbandingan nilai komersial minyak hasil pencairan batu bara 
dengan minyak mentah adalah 1,3 : 1. Artinya, harga satu liter minyak batu bara 
1,3 kali harga sati liter minyak bumi. Ini terjadi, karena dalam minyak batu 
bara tidak terkandung minyak berat atau residu, sementara dalam minyak mentah 
masih ada residunya. Agar punya nilai ekonomi, residu itu diproses lebih lanjut 
menjadi produk samping (by product). 

Ada dua cara pencairan yakni direct dan indirect liquefaction. Pada direct 
liquefaction (pencairan langsung), batu bara dicairkan langsung menjadi minyak. 
Sedangkan pada indirect liquefaction (pencairan tidak langsung), batu bara 
diubah dulu menjadi gas melalui proses gasifikasi, kemudian dicairkan.

Dari penelitian yang dilakukan, batu bara di Indonesia bisa dicairkan langsung 
dengan teknologi brown coal liquefaction (BCL) dari Jepang. Bersama-sama BPPT 
dikembangkan lagi agar bisa digunakan, sesuai jenis batu bara Indonesiaa. 
Menurut Hartiniati, ini dimungkinkan lantaran kandungan abu batu bara kita 
rata-rata rendah, yakni sekitar lima persen. Pencairan tidak langsung, dipilih 
bila kandungan abunya tinggi seperti batu bara Afrika Selatan yang kadar abunya 
30-40 persen. "Kalau tidak digaskan dulu, abu di pabrik bisa menyumpal di 
mana-mana," jelas Hartiniati. Dalam proses gasifikasi itulah abu dipisahkan.

Secara kimiawi, proses pencairan akan mengubah bentuk hidrokarbon batu bara 
dari bentuk kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Untuk itu, 
rantai atau ikatan ring aromatik hidrokarbonnya harus dipotong. Caranya dengan 
menggunakan dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). 
Setelah dipotong, luka potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas 
dan sangat aktif (free radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung 
dengan radikal bebas lainnya, perlu adanya pengikat atau stabilisator. Pengikat 
itu adalah gas hidrogen. Karena itulah dalam pencairan batu bara proses 
pengikatan tadi sering disebut juga proses hidrogenasi. 

Gas hidrogennya dapat diperoleh dari semua jenis energi fosil hidrokarbon 
seperti gas alam, batu bara, dan sebagainya. Atau, melalui proses elektrolisa 
air. Pada awal studi yang dilakukan BPPT, gas hidrogen yang hendak digunakan 
diambil dari proses steam reforming gas alam. Sayangnya, berdasarkan hasil 
investigasi, ternyata persediaan gas alam di daerah Sumatra tidak cukup untuk 
memenuhi kebutuhan selama 25 tahun masa operasi pencairan batu bara dengan 
kapasitas produksi 120 - 140 barrel per hari. Alternatif teknologi pun dicari. 
Hasilnya, penyediaan gas hidrogen dilakukan lewat proses gasifikasi yang juga 
menggunakan bahan baku batu bara.

Dari proses pencairan batu bara diperoleh intermadiate product berupa minyak, 
sebutlah minyak 'setengah jadi'. Jumlahnya sekitar 63 persen dari jumlah batu 
bara yang dicairkan. Selanjutnya, minyak 'setengah jadi' itu difraksinasi 
(diurai) menjadi berbagai BBM siap pakai.

Menurut Lambok, pada proses fraksinasi bersuhu 180 - 220 derajat C dihasilkan 
naphtha (premium). Pada temperatur 220 - 260 derajat C diperoleh kerosine 
(minyak tanah), dan pada suhu 260 - 300 derajat C didapat diesel oil (solar) 
untuk industri maupun otomotif, termasuk aviation turbine oil (avtur). 
Persentase hasilnya kira-kira, light oil (premium) sebanyak 28 persen, middle 
oil (minyak tanah dan solar) 60 - 70 persen. 

Ditambahkannya, ketika minyak 'setengah jadi' dari batu bara difraksinasi di 
kilang minyak untuk mendapatkan premium, nilai oktannya masih lebih rendah 
dibandingkan dengan premium dari minyak bumi."Ini perlu ditingkatkan, misalnya 
dengan menambah additive. Atau, dalam proses di kilang dicampur dengan calon 
BBM dari minyak bumi supaya nilai oktan produk akhir lebih tinggi dari semula. 
Perbandingannya, 10 - 20 persen minyak batu bara, sisanya minyak bumi. "Untuk 
sementara masih sebatas itu. Tapi kalau kita kembangkan lagi jenis katalisnya, 
persentase minyak batu baranya bisa kita tingkatkan sampai 40 persen, 
tergantung pada pengujian lebih lanjut," tambahnya.

Selama ini, katalis yang digunakan dalam proses pembuatan BBM di antaranya 
methyl tertier buthyl ether (MTBE) atau dimethyl ether (DME). Sementara, untuk 
menghasilkan solar pencampuran juga masih perlu dilakukan karena tanpa 
pencampuran dengan calon BBM dari minyak bumi, kualitas solarnya masih belum 
tercapai. Tidak seperti minyak bumi, by product dari pencairan batu bara sangat 
kecil. "Pada teknologi kita, kalau bisa ditekan sampai nol. Tapi, itu tidak 
mungkin. By product tetap akan terjadi. Dalam teknologi kita ini disetting 
maksimal lima persen," jelas Lambok. 

Kalau satu ton batu bara kering bisa menghasilkan empat barrel minyak, cadangan 
tadi --dengan asumsi kadar airnya rata-rata 30 persen- bisa diubah menjadi 
minyak sekitar 86,5 miliar barrel. Jumlah ini sekitar 18 kali cadangan minyak 
bumi negara kita saat ini. Dengan asumsi konsumsi minyak nasional tetap, jumlah 
sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan lebih dari 100 tahun.

Pemilihan teknologi mana yang paling cocok digunakan pun dimulai. Ternyata 
teknologi BCL dari Jepang dianggap paling cocok. Pada 1993 dilakukan negosiasi 
intensif dengan Jepang. Januari 1994 MoU ditandatangani. Program pencairan batu 
bara pun dimulai, bekerjasama dengan New Energy and Industrial Technology 
Development Organization (NEDO) Jepang. Tim penelitinya antara lain dari BPPT 
(Direktorat Konversi dan Konservasi Energi, Direktorat Material, UPT 
Laboratorium Sumber Daya Energi di Serpong), PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, 
dan Pertamina. 

Program ini dibagi atas empat tahap, yakni studi kelayakan awal, studi 
kelayakan lebih detil, persiapan komersialisasi, serta pembuatan pabrik dan 
komersialisasi. Dua tahap pertama pelaksanaannya di bawah koordinasi BPPT dan 
dipimpin Hartiniati. Dua tahap terakhir di bawah kendali Departemen Energi dan 
Sumber Daya Mineral. Saat ini memasuki tahap kedua. 

Pada tahap pertama dilakukan technical assessment (uji teknis) yang berlangsung 
selama lima tahun, 1994 - 1999. Di antaranya, penelitian pada skala 
laboratorium, survai, dan pengambilan contoh batu bara di beberapa lokasi 
sumber batu bara muda Indonesia, serta seleksi terhadap batu bara yang paling 
sesuai untuk dicairkan. Ternyata dari hasil seleksi di laboratorium diketahui, 
batu bara Banko menunjukkan hasil minyak paling tinggi. Diketahui pula, biaya 
pencairannya sekitar 18 - 19 dolar AS per barrel.

Namun, terjadinya krisis ekonomi membuat penghitungan menjadi tidak feasible 
lagi. Maka, ketika tahap kedua ditapaki, pengkajian ekonominya diulang kembali 
oleh BPPT, sekaligus dilakukan penyempurnaan terhadap prosesnya untuk 
meningkatkan efisiensi. Menurut Hartiniati, faktor ekonomi pencairan batu bara 
masih tetap layak dilakukan. 

Tahap ketiga proyek ini diserahkan ke Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 
karena sudah memasuki tahap realisasi atau komersialisasi. Pada tahap ini 
dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), pendesainan dari dasar 
sampai detil, eksplorasi secara sungguh-sungguh, pendidikan tenaga operator, 
penyiapan lahan, dsb. Tak ketinggalan program mempersiapkan masyarakat. 

Dalam Amdal tidak cuma dampak lingkungan yang diperhitungkan, tapi juga dampak 
sosial. Jadi, harus dipertimbangkan untuk merekrut warga setempat sebagai 
tenaga pengoperasian pabrik, kata Ir Yusnitati MSc, anggota tim lainnya. Baru 
pada tahap empat, pabrik pencairan batu bara dibuat. Setelah selesai, 
komersialisasi pun dilakukan. Bila program yang telah disusun berlangsung 
lancar dan ada investor yang bersedia menanamkan modal untuk membangun pabrik 
pencairannya, pada 2010 kita sudah bisa menghasilkan BBM dari batu bara. BBM 
yang dihasilkan kelak tidak berbeda dengan BBM yang ada sekarang, kecuali bebas 
timbal.

Dengan demikian, mesin kendaraan yang semula berbahan bakar dari minyak bumi 
tidak perlu dimodifikasi mesin atau ditambah peralatan baru. Yang perlu 
diperbarui, barangkali sikap pengguna BBM agar lebih berhemat sehingga SDA yang 
ada bisa dimanfaatkan lebih lama lagi.

PNS Pada Dinas PU Perhubungan dan Pertambangan
Kabupaten Balangan, tinggal di Balangan

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to