Otoritarianisme (Tafsir) Agama 
Oleh Trisno S. Sutanto
01/08/2005
Alhasil, apa yang disuarakan sang penafsir lalu dianggap dan diterima sebagai 
"suara Tuhan" sendiri. Di situ, kata Khaled, para tokoh agama tidak lagi 
berbicara tentang Tuhan (bukankah teologi, secara etimologis, tidak lain adalah 
"berbicara tentang Tuhan"?), melainkan berbicara "atas nama Tuhan", atau bahkan 
menjadi "corong" Tuhan itu sendiri! Ketika pendakuan absolut ini berkelindan 
dengan tangan kekuasaan despotik, maka kita menemukan perselingkuhan agama 
dengan kekuasaan yang sangat berbahaya.

KHALED Abou el-Fadl memang istimewa. Tubuhnya yang ringkih, karena sedang 
menjalani pemulihan dari penyakit tumor otak sehingga harus duduk di kursi 
roda, tidak mengurangi pesona dan passion pemikirannya.
Ia memang bukan pembicara yang baik. Tetapi jika menyentuh bidang yang sangat 
dicintainya, yakni seluk beluk warisan tradisi klasik pemikiran Islam, orang 
dapat tersengat greget semangatnya: wajahnya jadi tegang, butir-butir keringat 
menghiasi dahinya yang berkerut, seluruh tubuhnya bergetar menahan emosi, dan 
artikulasinya jadi sangat jelas, penuh perasaan. Pada momen itu, Khaled hadir 
seutuhnya.

Itu yang tampak ketika ia mengisahkan perubahan fundamental dalam sejarah 
pemikiran kontemporer Islam, yakni penyingkiran sistematis para profesor 
Al-Ahzar oleh paham puritanisme yang memakai tangan kekuasaan negara. Dahulu, 
kata Khaled, seseorang yang berniat menjadi fuqaha tidak hanya belajar hukum 
Islam, tetapi juga tata bahasa, logika, filsafat, kalam, matematika dll -- 
termasuk menghafal syair-syair cerita Abu Nawas. Selama delapan tahun lebih 
Khaled menyelami samudera khasanah klasik itu, disusul dengan masa zikir yang 
sangat panjang. "Tidak ada yang lain kecuali zikir, mengingat nama Allah, 
selama empat tahun," katanya penuh emosi. Dan setelah semua proses itu, 
tambahnya, yang dapat dikatakan hanya satu: "I don't know anything." Sejenis 
docta ignorantia, "ketidaktahuan yang penuh hikmah" yang banyak disebut para 
mistikus dan teolog klasik.

Semua itu hilang semenjak upaya puritanisasi, yang berkelindan dengan kekuasaan 
despotik negara, mau "memurnikan" dan "mensistematisasi" ajaran serta hukum 
Islam. Satu demi satu guru yang membimbing Khaled disingkirkan, termasuk sang 
profesor yang membuat ia mencintai kisah Abu Nawas. "Saya tldak tahu apakah 
filsafat masih diajarkan," tambahnya dengan nada ironis. 

Di dalam purifikasi itu khasanah fikih klasik yang sangat kaya diganti menjadi 
sekadar repetisi bebal doktrin-doktrin yang sudah beku dan diterima begitu 
saja. Proses pencarian dan pergulatan pribadi, untuk memahami dan sekaligus 
mengerti bahwa ia tdak memahami apapun di dalam samudera maha luas pengetahuan 
yang menandai tradisi klasik, tidak lagi dimungkinkan karena segalanya sudah 
dirumuskan, sudah dibakukan. Dan sikap rendah hati docta ignorantia tidak lagi 
dihargai, digantikan pendakuan absolut serba angkuh. Maka otoritarianisme 
tafsir pun merajalela.


Otoritarianisme tafsir

MENURUT saya, pengalaman itulah yang mendorong Khaled untuk membongkar 
otoritarianisme dalam proses penafsiran teks-teks keagamaan, sehingga terbuka 
celah untuk menembus khasanah klasik yang dicintainya. Imperatif untuk itu 
berpangkal pada dinamika pergulatan keagamaan yang genuine, yang terus menerus 
menyalakan api semangat dan gairah intelektualnya.

Otoritarianisme, seperti ditegaskan Khaled dalam magnum opus-nya yang jadi 
rujukan di mana-mana, "Atas Nama Tuhan", sudah bermula dari pra-andaian 
hermeneutis ketika sang penafsir berjumpa dengan teks-teks yang mau 
ditafsirnya, khususnya teks-teks keagamaan. Ini, saya kira, merupakan sumbangan 
genial Khaled. Di situ yang terjadi sesungguhnya semacam "perkosaan" teks: 
otonomi teks dinafikan, dan kandungan makna teks disesuaikan dengan maksud dan 
kehendak sang penafsir.

Bahwa proses seperti itu senantiasa terjadi dalam penafsiran - kalangan 
pasca-strukturalis sudah lama menyuarakan syahadat, "setiap penafsiran adalah 
perkosaan"! - agaknya tidak dapat disangkal. Bagaimanapun juga, teks tidak 
pernah berbunyi sendiri; sang penafsirlah yang membuatnya berbunyi. Namun 
Khaled mewanti-wanti, khususnya dalam kasus teks-teks (yang dianggap) "suci", 
otoritarianisme akan membawa dampak sangat besar. Sebab "otoritas suci" yang 
dikandung oleh teks - yang diandaikan kaum beriman sebagai "otoritas Ilahi" - 
dapat dengan mudah dianggap sama dengan otoritas sang penafsir.

Alhasil, apa yang disuarakan sang penafsir lalu dianggap dan diterima sebagai 
"suara Tuhan" sendiri. Di situ, kata Khaled, para tokoh agama tidak lagi 
berbicara tentang Tuhan (bukankah teologi, secara etimologis, tidak lain adalah 
"berbicara tentang Tuhan"?), melainkan berbicara "atas nama Tuhan", atau bahkan 
menjadi "corong" Tuhan itu sendiri! Ketika pendakuan absolut ini berkelindan 
dengan tangan kekuasaan despotik, maka kita menemukan perselingkuhan agama 
dengan kekuasaan yang sangat berbahaya.

Mengembalikan otonomi

HARI-hari ini perspektif kritis yang ditawarkan Khaled menjadi makin gayut 
ketika, di tengah pasar raya diskursus keagamaan, sebagian kecil kalangan, 
dengan seenaknya, berbicara mengatasnamakan otoritas Tuhan, atau malah mendaku 
sebagai juru bicara Tuhan. Di tengah situasi kevakuman otoritas moral 
keagamaan, langkah seperti itu hanya akan melahirkan penghakiman membabi-buta. 
Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah merupakan kasus paling anyar di tanah 
air.

Namun, seperti didedah Khaled, fenomena itu berakar pada penggusuran warisan 
klasik pemikiran Islam. Proyek negara-bangsa pasca-kolonial dalam dunia muslim 
telah mengikis dan mereduksi kekayaan hukum Islam, serta mengooptasi posisi 
semi-independen yang selama ini dinikmati para fuqaha klasik dalam relasinya 
dengan negara. Dan situasinya jadi makin akut dengan meluasnya dominasi 
pengaruh Wahabisme sejak 1975-an yang makin mempertegas wajah puritan Islam.

Mungkinkah keluar dari jebakan otoritarianisme itu? Pada tataran hermeneutis, 
posisi Khaled sendiri bukan tanpa masalah. Usulannya untuk menghargai otonomi 
teks dan kandungan makna moralnya, maupun moralitas pembacanya (karena "makna 
moral teks tergatung pada moralitas pembacanya," kata Khaled), sangat 
problematis. Apalagi jika dibaca dalam konteks perubahan mendasar di atas yang 
telah menyingkirkan peradaban klasik Islam.

Karena itu mendengar Khaled ibarat mendengar suara yang mewakili peradaban yang 
sudah hilang, atau setidaknya terpendam di dalam hiruk pikuk politik identitas 
yang mau serba instan dan serba pasti. Tetapi suaranya, setidaknya, sudah 
memberi kontribusi penting. Tidak saja karena mengingatkan kita pada bahaya 
otoritarianisme tafsir keagamaan, tetapi juga karena mengembalikan pergulatan 
keagamaan yang genuine sebagai pergulatan individu yang otonom, yang berani 
menjelajah sampai ufuk terakhir tanpa harus takluk pada otoritas lain selain 
akal dan hati nurani. Juga Tuhan, Pemilik Otoritas yang sesungguhnya.

Pada tataran itu, apa yang diberikan Khaled juga punya gema dalam setiap 
tradisi keagamaan sejati manapun. Sebab dinamika keagamaan memang merupakan 
dialog intim dalam relung-relung nurani itu. Beragama berarti "meminta fatwa 
pada nurani sendiri", istafti qalbak!

Trisno S Sutanto, Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), 
Jakarta

^ Kembali ke atas 
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=857


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hlv220f/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123062691/A=2894354/R=0/SIG=11qvf79s7/*http://http://www.globalgiving.com/cb/cidi/c_darfur.html";>Help
 Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to