MEDIA INDONESIA
Senin, 08 Agustus 2005


Rekonstruksi Pluralisme
Zuhairi Misrawi, Pemimpin Redaksi Jurnal Pemikiran Perspektif Progresif, Jakarta



'PLURALISME haram', demikianlah bunyi mutakhir fatwa Majelis Ulama Indonesia 
(MUI). Tentu, fatwa tersebut ibarat petir di siang bolong, utamanya bagi 
keindonesiaan yang sejak lama dianut bangsa ini. Di samping ditemukan definisi 
yang kurang lengkap atas esensi pluralisme. Kenapa?

Tatkala MUI mendefinisikan, bahwa pluralisme adalah semua agama sama, 
sesungguhnya menyimpan kemusykilan tersendiri. Definisi tersebut sangat tidak 
tepat, bahkan bisa memecah belah umat. Setidaknya definisi seperti itu bisa 
dianggap menyederhanakan dan menyempitkan arti pluralisme. Alasan terpenting, 
karena pluralisme tidak ada hubungannya dengan 'menyamakan agama-agama'. 
Bahkan, upaya tersebut tidak sejalan dan jauh dari hakikat pluralisme.

Untuk itu, hemat saya, perlu rekonstruksi pemahaman atas pluralisme dalam 
rangka memberikan pemahaman yang lebih luas dan lengkap. Diana Eck (2002), 
pimpinan Pluralism Project Harvard University memberikan tiga garis besar 
tentang pluralisme: Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif (active 
engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme meniscayakan 
munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Oleh karena itu, 
pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, bukan 
berbicara pada tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis kita harus 
meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritualnya tersendiri, yang mana antara 
suatu agama atau keyakinan berbeda dengan yang lain. Tapi dalam tataran sosial, 
dibutuhkan active engagement di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun 
sebuah kebersamaan. Karena hanya dengan kebersamaan sebuah bangsa akan tumbuh 
dengan baik dan mampu melahirkan karya-karya besar. Oleh karena itu, pluralisme 
dalam tataran sosial lebih dari sekadar 'mengakui' keragaman dan perbedaan, 
melainkan 'merangkai' keragaman untuk tujuan kebersamaan.

Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Dalam toleransi akan lahir 
sebuah kesadaran tentang pentingnya 'menghargai' orang lain. Tapi pluralisme 
meniscayakan adanya upaya untuk membangun pemahaman yang konstruktif 
(constructive understanding) tentang 'yang lain'. Artinya, karena perbedaan dan 
keragaman merupakan sunnatullah, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang 
baik dan lengkap tentang yang lain. Harus diakui bahwa setiap entitas dalam 
masyarakat selalu terdapat perbedaan dan persamaan. Karena itu, setiap entitas 
tersebut harus memahami dengan baik dan tepat tentang perbedaan dan persamaan 
tersebut.

Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya untuk 
menemukan komitmen di antara partikularitas-partikularitas. Komitmen merupakan 
landasan moral untuk mewujudkan tatanan keragaman yang lebih baik. Keragaman 
bukan justru dihilangkan dengan langkah-langkah unifikasi, melainkan dibina 
melalui komitmen bersama untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh karena 
itu, pluralisme sangat berbeda dengan relativisme yang menafikan pentingnya 
upaya membangun komitmen bersama di antara pelbagai komunitas masyarakat.

Bila ketiga hal tersebut direkonstruksi dalam sebuah istilah yang sangat 
populer, maka kata kunci dalam pluralisme adalah dialog. Untuk mengukur sejauh 
mana pluralisme dalam masyarakat itu tumbuh dan berkembang, maka salah satu 
ukurannya adalah tersedianya kanal-kanal dialog dan berkurangnya fatwa-fatwa 
keagamaan yang cenderung menghakimi orang lain.

Khaled Abou el-Fadl (2005), pakar hukum Islam dari University of California Los 
Angeles (UCLA) dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa hari lalu mengatakan, 
bahwa salah satu kelemahan fatwa yang berkaitan dengan masalah kekinian adalah 
hilangnya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan, dan kejujuran dalam membedah 
sebuah persoalan. Karena itu akibatnya yang muncul bukanlah pandangan-pandangan 
yang otoritatif, melainkan pandangan otoriter. Mereka sebenarnya bukan 
berbicara tentang Tuhan, akan tetapi berbicara 'atas nama Tuhan'.

Alquran sesungguhnya telah memerintahkan kepada seluruh umatnya agar 
menggunakan musyawarah atau konsultasi (syura) dalam menyelesaikan setiap 
masalah. Dalam hal ini, Tuhan telah menyediakan jalan menuju pluralisme. Oleh 
karena itu setiap masalah sejatinya diselesaikan melalui mekanisme dialog, 
bukan dengan mekanisme fatwa. Utamanya dalam hal-hal yang menimbulkan 
kemusykilan akademis, semestinya konsultasi dan dialog menjadi salah satu 
jembatan untuk mencapai pemahaman yang bersifat komprehensif.

Karena itu, bila kita membaca Alquran dengan teliti dan cermat, dialog untuk 
mencapai pluralisme merupakan ajaran mulia yang harus diterjemahkan dalam 
konteks sosial. Karena sesungguhnya setiap manusia adalah khalifah yang harus 
mengakhiri pertumpahan darah dan menebarkan kedamaian.
****

Nah, munculnya fatwa yang secara eksplisit menohok 'kebinekaan' menyisakan 
sebuah peringatan penting: ada sesuatu yang terjadi dalam bangsa ini. 
Setidaknya lagu lama tentang 'negara agama' dan 'politisasi agama' menguat 
kembali dalam ranah negara. Tidak menutup kemungkinan, bila dalam kurun waktu 
yang akan datang akan muncul otoritarianisme mayoritas atas minoritas.

Dalam situasi seperti ini sangat diperlukan gagasan untuk merekonstruksi 
kebinekaan di tengah perubahan-perubahan sosial yang terjadi belakangan ini. 
Keragaman adalah sebuah fakta yang tidak bisa dihindarkan, tapi yang jauh lebih 
penting adalah bagaimana keragaman itu dapat mendorong sebuah pandangan dan 
sikap kebersamaan. Keragaman diharapkan dapat melahirkan komitmen bersama untuk 
membangun Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera.

Isiah Berlin memberikan peringatan penting bagi kita semua, bahwa tantangan 
masyarakat yang majemuk adalah munculnya 'monisme', yaitu prinsip yang hanya 
mengakui adanya satu substansi atau prinsip atas realitas. Dan fenomena 
mutakhir membuktikan, bahwa bangsa ini mulai mengarah pada upaya untuk 
menegakkan "monisme" dan mengabaikan 'pluralisme'.

Di sinilah arti penting upaya bersama untuk merekonstruksi pluralisme. Oleh 
karena itu, setidaknya ada empat hal penting yang perlu dipikirkan: Pertama, 
perlunya langkah-langkah kritis atas menguatnya gelombang fundamentalis dan 
radikalisme. Bukan hanya ia sinyalemen tentang penggunaan kekerasan dengan 
mengatasnamakan keyakinan apa pun harus mendapat perhatian serius. Karena 
cara-cara seperti itu tidak dibenarkan konstitusi dan agama sekalipun.

Kedua, perlunya tafsir baru atas pluralisme untuk konteks keindonesiaan. Hal 
ini dalam rangka menghindari dua kesalahan fatal, sebagaimana meminjam istilah 
yang digunakan Edward W Said yaitu misinterpretation dan misrepresentation. 
Munculnya tafsir sewenang-wenang atas pluralisme akan sangat berbahaya, karena 
akan menimbulkan dampak-dampak serius, terutama dalam rangka menjaga keragaman 
itu sendiri.

Ketiga, perlunya belajar dari pengalaman negara-negara lain yang relatif 
berhasil dalam menerjemahkan pluralisme dalam konteks sosial-budaya. 
Pembelajaran seperti ini penting, bahwa menolak pluralisme sama halnya dengan 
menolak nilai-nilai penting, seperti kemajuan, keadilan, kedamaian, dan 
kesetaraan.

Keempat, perlunya komitmen bersama tentang keindonesiaan yang di dalamnya 
terdapat komitmen untuk hidup bersama dalam perbedaan dan keragaman

Akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat merekonstruksi pluralisme 
untuk mewujudkan kebersamaan dan kesepahaman di antara pelbagai keragaman. 
Diana Eck selalu mengatakan, bahwa pluralisme adalah sebuah proses kreativitas 
yang dilakukan secara kontinu, karena sesungguhnya pluralisme adalah upaya 
menyelesaikan masalah yang terdapat dalam keragaman itu sendiri, bukan upaya 
untuk memecah belah, apalagi meresahkan masyarakat. ***

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hd33qbv/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123462777/A=2896125/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>Take
 a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who 
cares about public education</a>!</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to