SEMOGA BERMANFAAT BUAT KITA-KITA: yg tidak paham, salah paham atau yang mengikuti paham yang salah
TRANSKRIP DISKUSI RADIO 68H `MENYIKAPI PERBEDAAN PASCA FATWA MUI` Waktu : Kamis, 4 Agustus 2005 pukul 13.05 s/d 14.30 Lokasi : Oriental Bar, Mandarin Oriental Jakarta Disiarkan di 89,2 FM Radio Berita 68h Pembicara : - Makruf Amin Ketua Majelis Ulama Indonesia - Dawam Rahardjo cendikiawan muslim - Fauzan Al Anshari, ketua Departemen Data dan Informasi Majelis - Mujahidin Indonesia - Syafii Anwar, direktur ICIP - Musdah Mulia, direktur ICRP Acara ini dimoderatori Ging Ginanjar dari Radio 68h Selamat siang saudara, Anda kembali bersama kamisan radio 68h Jakarta Diskusi kali ini tentang kontroversi atau perbedaan pandangan yang dipicu oleh beberapa fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI yang merupakan hasil kongres MUI 28 Juli lalu. Kontroversi tersebut antara lain menyangkut diharamkannya umat Islam mengikuti ajaran Islam liberal, pluralisme dan sekularisme. Tiga hal yang sebetulnya menjadi prinsip dasar negara demokrasi. Diluar itu fatwa kontroversial lain juga termasuk soal larangan terhadap ajaran Ahmadiyah, pengharaman nikah beda agama dan larangan bagi umat muslim untuk ikut berdoa bersama yang dipimpin oleh pemeluk agama lain. Pasca keluarnya fatwa, sejumlah dukungan dan kecaman atas fatwa MUI bermunculan. Untuk membahas masalah ini, kita sudah mengundang para pembicara untuk membahas kontroversi fatwa MUI, terutama dalam soal bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan atas fatwa tersebut. Sudah hadir : Ging Ginanjar : Apa pikiran dan suasana 300 munas yang mendorong diterbitkannya fatwa-fatwa yang kontroversial ini, khususnya soal sekularisme, liberalisme dan pluralisme? Makruf Amien :Saya tidak setuju dengan istilah fatwa yg kontroversial. Yang tepat adalah tanggapan yang kontroversial terhadap fatwa MUI. Jadi yang kontroversi tanggapanya bukan fatwanya. Kenapa fatwa itu dikeluarakan? Itu sudah melalui kajian sangat lama serta pertanyaan-pertanyaan yg timbul dari masyarakat sehingga MUI tidak menggunakan Forum Komunikasi Fatwa, melainkan menggunakan Forum Munas Ulama yang dihadiri lebih dari 300 yang mempresentasikan ulama dari seluruh daerah dan yang mempresentasikan ulama dari seluruh ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Oleh karena itu saya melihat tidak ada lagi representasi ulama di luar. Kalo ada, itu bukan representasi ulama. Tetapi justru saya ingin tahu, substansi yang mana yang akan menimbulkan konflik dari 11 fatwa itu ? Tdk ada satu pun substasi yang akan menyulut konflik antar agama. Karena itu saya ingin memperoleh penegasan mana yang dianggap kontroversi. Bisa saja yang menanggapi salah faham atau tidak faham atau mengikuti faham yang salah. Terima kasih itu komentar saya Ging Ginanjar : Sekarang kita ke Syafii Anwar direktur ICIP. Pluralisme ini diharamkan, dan anda kelihatannya harus mengganti nama belakang institut anda (pluralisme-red). Bagaimana anda menjawab pertanyaan tadi? Syafii Anwar :Saya juga bertanya-tanya, kenapa pluralisme diharamkan. Karena pemahaman saya terhadap pluralisme itu berbeda dengan pemahaman MUI. Saya yang termasuk berpaham pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama. Saya termasuk yang menolak.. alasan pertama karena tidak mungkin menyamakan karena masing-masing agama berangkat dari dasar dan teologi yang berbeda, hanya saja saya melihat ada titik temu antar masing-masing agama ini. Alasan kedua, pluralisme yang saya pahami adalah saling menghormati, tidak cukup hanya toleransi. Saya juga agak rancu kalau dikemukakan bahwa setiap agama itu benar dsb. Dalam perspektif saya, kalau bicara agama orang akan selalu terlibat, dan disini yang berlaku kadang-kadang adalah klaim kebenaran, sebagaimana yang dikatakan Max Weber. Benar dalam konteks ini adalah menurut pemeluk agama yang bersangkutan. Artinya saya sebagai muslim, saya punya keyakinan bahwa agama saya yang saya peluk benar menurut saya, bukan menurut orang dengan agama lain. Dalam konteks ini yang kita kembangkan adalah kenyataan bahwa ini adalah negara yang sangat plural, para founding fathers sepakat Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara Pancasila, bukan negara agama, kita sudah berkomitmen soal itu, jadi kenapa di permasalahkan lagi ? Kalau fatwa MUI, seperti dikatakan pak Makruf, tidak menimbulkan keresahan, apakah sudah ada penelitian? Dalam konkeks ini kalau bapak-bapak bersedia juga meluangkan waktu untuk menanyakan ke komunitas Kristen atau komunitas di luar Islam lainnya, apakah fatwa MUI itu menyusahkan atau tidak ? Saya berpendapat dan menyadari sebuah fatwa adalah legal opinion, artinya pendapat hukum. Oleh karena itu saya punya kecenderungan untuk menganggap itu tidak mesti harus meningkat, tapi supaya adil harus dilakukan penelitian dan dialog dengan non muslim. Ging Ginanjar : Sekarang ke Fauzan Al Ansyari, anda membuat surat terbuka untuk barisan liberal atas nama Majelis Mujahidin Indonesia. Bahkan disebutkan, MMI siap berada di barisan terdepan untuk menghadapi kelompok penentang fatwa MUI, dengan jalan debat publik maupun jihad fisabilillah. Kalau tadi pak Makruf bilang fatwa ini tak menimbulkan konflik, kalimat MMI ini justru mengkhawatirkan. Karena fatwa ini membuat orang-orang seperti Fauzan siap mengobarkan jihad untuk mempertahankan fatwa MUI ? Fauzan Al Ansyari : Ya terima kasih. Sebenarnya yang menjadi pemicu itu adalah munculnya aliran-aliran sesat yang oleh lembaga-lembaga yang otoritatif di Indonesia baik itu Kejaksaan Agung, Pengawas Aliran Kepercayaan PAKEM, sudah dinyatakan sebagai sesat dan menyesatkan. Tetapi di Indonesia tidak ada mekanisme hukum seperti Mahkamah Syariah yang memiliki otoritas penuh untuk menjaga otoritas akidah umat Islam, yang perlu juga dilindungi dari serangan-serangan penyesatan. Nah itu yang sebenarnya membuat keresahan, bukan fatwa MUI atau pernyataan saya. Jadi kita melihat bagaimana secara kronologis keberadaan Ahmadiah sebagai kasus yang telah berpuluh tahun menimbulkan keresahan warga setempat, tapi keresahan itu tidak terakomodir, sehingga keresahan itu memuncak. Jadi yang menjadi pemicu adalah aliran sesat ini. Kenapa komunis bisa di larang dan dibubarkan tapi ini tidak ? Kenapa kemudian muncul sekelompok orang yang membela mati-matian keberadaan Ahmadiyah dengan dalil-dalil yang tidak argumentatif. Kami menyesalkan pernyataan Ulil Abshar Abdalla di detik.com yang melecehkan, dengan menyebut MUI tolol. Oleh sebab itu, meski MMI tidak ikut munas MUI namun kami adalah institusi pertama yang mendukung fatwa MUI tsb, dan siap menjadi bemper utk menjaga dan mengimplementasikan fatwa tadi. Allahu akbar !!! Yang kami heran kenapa yang membela ini adalah orang-orang yang selama ini berkecimpung baik di LSM maupun di lembaga-lembaga yang memang didanai The Asia Foundation, Ford Foundation, USAID dsb. Tadi ada sebuah tulisan yang mengatakan MUI berada dalam dilema antara libralisme dan fundamentalisme. Jadi sebenarnya mereka sendiri yang membuat satu front yang mereka sebut barisan liberal dan MUI dan teman-teman sebagai fundamentalis. Saya sepakat Dawam Rahardjo cs sebagai barisan liberal yang ingin melakukan liberalisme agama tidak ingin ada aturan-aturan yang ketat tetapi ini maknanya adalah bahwa liberalisasi itu juga bebas untuk tidak beragama. Oleh sebab itu maka liberalisasi dlm makna yang seperti ini atau demokrasi jelas bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan yang maha esa. Sehingga seluruh aturan harus berdimensi Ketuhanan dan Negara harus memfasilitasi warganya untuk menjalankan agama secara nyaman. Jaid ada campurtangan negara terhadap umat. Baik Islam maupun yang lain. Ini sifatnya akomodatif. Oleh sebab itu saya juga jadi heran terhadap difinisi sekularisme, pluralisme, liberalisme, demokrasi, sehingga membuat kita jadi kacau. Misalnya begini, atas nama demokrasi maka pelarangan terhadap Ahmadiyah melanggar hak asasi manusia, kan begitu. Itu atas nama demokrasi. Saya katakan atas nama Islam pembiaran terhadap aliran sesat itu merupakan subversi terhadap hak-hak yang lebih luas. Ini persoalannya. Nah kalo agama kemudian dibebaskan dari aturan yang yang lebih ketat, misalnya masalah ushuludin : misalkan tuhan punya anak, ini jelas akan rusaklah agama itu. Jadi masalah-masalah yang bisa diperdebatkan adalah masalah muamallah yg sifatnya istihadiyah. Tapi masalah usuludidn seperti. : maqdoh masalah aqohid it`s given tidak bisa ditawar lagi. Kalo kemudian masalah Ahmadiyah memicu teman-teman dari barisan liberal melakukan perlawanan atau penolakan atas keluarnya 11 fatwa MUI, ya kami MMI harus maju ke depan untuk membuka ruang debat publik sebagai satu tradisi para cendikiawan muslim untuk mengadu argumentasi secara ilmiah dan naqliyh dan di ujung diskusi itu harus ada sebuah mekanisme mubahalah dimana yang dusta atas nama agama dan ilmu pengetahuan harus siap disambar petir. Nah ini mekanisme yg diatur agama. Kalo kita kemudan hanya beradu retorika, mungkin saya kalah. Tetapi kalau adu kebenaran, kita bisa melakukan mekanisme yang diatur dalam agama. Kenapa MMI harus siap untuk debat publik maupun jihad ? karena tidak tertutup kemungkinan dari barisan liberal pun akan melakukan tindakan-tindakan tertentu atau provokasi tertentu sehingga akan menimbulkan serangan-serangan fisik. Dan ini tidak akan terjadi kalau dari pihak mereka yang melakukan penolakan tidak melakukan serangan fisik, kalau mereka melakukan serangan opini maka akan kami balas opini juga, tapi kalo mereka melakukan serangan fisik apalagi mengundang Amerika Serikat, kami siap melayani. Terima kasih Ging Ginanjar : Soal serangan fisik, pada kasus Ahmadiyah bukannya yang pro fatwa yang melakukan ? Fauzan Al Ansyari : Itu pertanyaan cerdas. Kenapa tindakan main hakim sendiri muncul ? itu karena tersumbatnya mekanisme hukum. Misalnya saya pernah mengadukan beberapa tulisan dari kelompok liberal, itu selalu di beri pasal 156 a. Bahkan polisi saya beritahu ini pak pasalnya seperti ini. Malah pada waktu kita melaporkan Ulil ke Mabes Polri, diberitahu bahwa kami (polisi-red) diberi pesan harus memelihara tiga orang, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Ulil Abshar Abdalla. Jadi ini apa yang terjadi sebenarnya ? proses hukum macet oleh sebab itu itu terjadi main hakim sendiri. MUI saja yang mengeluarkan fatwa yang tidak mengikat itu menimbulkan prokontra. MMI bahkan lebih dari itu mengusulkan di bentuk Mahkamah Syariah supaya menjadi benteng bagi umat Islam menghadapi serangan-serangan terhadap mereka yang ingin mengacaukan akidah umat islam, sekian itu dari MMI. Makruf Amin :Jadi saya tadi bilang ini terjadi karena para penanggap itu salah faham, tidak faham atau mengikuti faham yag salah. Selesai mendengarkan pak Syafii Anwar, saya menjadi yakin bahwa pawa penanggap itu ya seperti itu. Saya contohkan soal doa bersama. Tidak semua doa beragama itu diharamkan, yang diharamkan kalau pemimpin doa non islam dan yang mengamini orang Islam. Secara akidah tidak boleh tetapi kalau tidak ada fatwa, umat Islam menjadi kesulitan kalau dia itu mengamini. Mengikuti doa yang dibacakan orang Kristen misalnya Yesus Kristus amin. Jadi kalau orang Islam itu syirik, tapi kalau dia tidak mengangkat tangan dan tidak mengamini dianggap menghina maka tatkala fatwa ini dikeluarkan, maka orang Islam menjadi tenang, dan orang Kristen tahu kalau orang Islam tidak mengangkat tangan berarti oh dia memang sesuai dengan ajaran agamanya, dengan demikan tidak terjadi konflik. Bukan menambah konflik. Menambah saling pengertian. Karena itu kalau fawa ini menimbulkan konflik dimana ? Siapa yg tersinggung? Tidak ada yang tersinggung si pendeta mengatakan dia menurut ajaran agamanya. Itu karena ada fatwa, kalau tidak ada kan sama-sama kesulitan. Karena itu yang menentang itu salah faham dari segi konflik atau tidak faham. Katanya menimbulkan persoalan dari segi liberalisme, pluralisme dan sekularlisme. Pertama yang harus di pahami bahwa pengertian dalam fatwa ini, bukan dalam pengertian yang lain. Misalnya pluralisme dalam fatwa artinya adalah membenarkan semua agama dan menganggap semua agama benar. Ini menurut pandangan ulama tidak betul. Pandangan pluralisme seperti itu tetapi tidak dalam arti kemajemukan agama, pluralitas itu sesuatu realitas, kenyataan bahkan itu suatu keharusan. Jadi untuk hidup berdampingan secara damai dalam fatwa justru itu sangat dibenarkan dan harus disikapi dalam sikap toleransi. Nah jadi yang tidak betul itu membenarkan semua agama. Itu pengertian kita. Jadi kalau itu kemudian menimbulkan terjadinya konflik antara agama tidak benar. Sebab dalam fatwa itu, kemajemukan agama itu adalah harus kita terima sebagai satu kenyataan dan wajib kita terima. Liberalisme dalam maksud fatwa itu adalah orang yang mengedepankan akal fikiran, dan apabila akal fikiran ini berbeda dengan nash tuntunan agama, maka yang harus di kedepankan adalah akal fikiran. Menurut para ulama, cara berfikir seperti itu tidak benar. Saya kira itu menurut pandangan agama Sekularisme juga begitu. Menurut fatwa adalah membedakan antara urusan keagamaan dan urusan kepentingan kepuasan. Kalau urusan keagamaan urusannya ibadah saja kalau sekular yang dipakai kesepakatan sosial. Menurut pandangan ulama cara berfikir seperti itu tidak benar, karena Islam didalamnya ada aspek aqidah, ibadah, muamalah dan berbagai aspek lain. Jadi cara berfikir seperti itu menurut pengertian-pengertian dari pada fatwa itulah yang tidak benar. Makanya saya mengatakan dimana yg menimbulkan konflik menurut hemat saya tdk ada. Makanya saya ulangi lagi, bukan fatwa yang kontroversi tapi tanggapan yang kontroversi karena dia tidak faham, karena dia salah faham karena dia mengikuti faham yang salah. Ging Ginanjar : Kita ke pak Dawam Rahardjo yang dianggap pak Makruf tidak faham, karena dia salah faham, atau karena dia mengikuti faham yang salah. Dawam Rahardjo :Jadi di situ, fatwa MUI mengharamkan liberalisme, pluralisme dan sekularisme. Nah yang dianggap sebagai liberalisme itu, menurut fatwa itu adalah suatu paham keagamaan yang menampilkan, lebih menampilkan pikiran manusia daripada petunjuk Al Quran dan Hadits. Menurut saya, itu bukan liberalisme, tapi rasionalisme. Tapi rasionalisme pun ada dalam Islam. Contohnya Ibnu Rusyd, dikenal sebagai filsuf yang rasionalis. Sekalipun begitu, dia tidak seperti yang dirumuskan dalam fatwa MUI. Menurut saya, liberalisme adalah doktrin politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai individu. Dan sebagai konsekuensinya, menghendaki minimal government. Itu definisi yagn jelas, yang ebrasal dari ensiklopedia, kamus, dsb. Lalu apa yang dikritik? Jadi menurut saya, fatwa MUI itu tidak paham. Tidak paham itu. Bukan saja salah paham, tapi tidak paham. Saya kira komentar-komentar seperti itu harus ditertibkan, teriakan Allahu Akbar dan sebagainya. Saya kira itu harus dilarang. Tahun 1933 ada debat, orang dilarang keluarkan isyarat, apalagi perkataan yang bisa mengganggu diskusi. Itu tahun 1933. Debat Islam waktu itu. Ging Ginanjar : Kutukan dan yel-yel mohon direm (saat itu, beberapa orang di pojok kiri ruangan mulai meneriakkan Allahu Akbar dan mengakibatkan diskusi sedikit terganggu) Dawam Rahardjo :Mengenai pluralisme, dikatakan bahwa itu adalah paham yang didasarkan pada pendapat bahwa semua agama itu sama. Dan sebagai konsekuensinya maka kebenaran agama itu bersifat relatif. Itu rumusan dalam fatwa. Pluralisme itu bukan begitu. Pluralisme itu justru sebaliknya, pluralisme justru mengakui perbedaan agama dan menghargai perbedaan agama. Bukannya menganggap semua agama salah. Jadi pluralisme justru mengakui perbedaan agama, tapi karena ini menimbulkan potensi konflik, makanya hendaknya dilakukan taaruf, dilakukan saling understanding. Itulah pluralisme. Jadi siapa yang tidak tahu ini? Saya setuju dengan pendapat pak syafii maarif, MUI perlu lebih banyak belajar tentang apa itu pluralisme. Karena betul-betul MUI itu tidak tahu apa yang dimaksud dengan pluralisme itu. Kemudian Pak Makruf mengatakan, beliau bedakan pluralitas dan pluralisme. Pluralitas adalah kenyataan, keharusan, sementara pluralisme adalah yang dilarang, yang diharamkan. Ini cerminan dari orang yang tidak tahu. Dalam definisi, boleh liat di kampus, pluralism is isme based on plurality. Pluralisme adalah paham yang dikembangkan berdasarkan pluralitas, sebagai suatu kenyataan. Kduanya tidak bisa dipisahkan, satu diterima, yang lain ditolak. Padahal, pluralisme itu sudah diterima oleh, sudah merupakan kesepakatan, yaitu Pancasila. Pancasila itu dirumuskan berdasarkan paham pluralisme. UUD kita didasarkan pada pluralisme. Pada bhinneka tunggal ika. Berbeda tapi satu. Walaupun berbeda tapi hendaknya asling berkomunikasi,s ehingga bisa ciptakan persatuan. Ini adalah suatu paham ini adalah suatu ketidakpahaman. Kemudian, kebenaran relatif. Golongan liberal dituduh menganut kebenaran relatif. Tidak ada kebenaran mutlak dalam agama. Justru orang-orang liberal ini berpendapat bahwa ada dua macam kebenaran yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. KEbenaran mutlak itu hanya dimiliki oleh tuhan dan tidak boleh diklaim oleh manusia. Sedangkan pemikiran manusia itu relatif. Kaum liberal berpendapat, pemikiran manusia apa pun juga tdiak bisa mencapai kebenaran. Meragukan kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran, karena kebenaran mutlak itu punya tuhan. Tapi orang-orang ini mengklaim kebenaran. Saya mendapat cerita, orang yang melakukan teror di Ahmadiyah. Mereka teriak, berpapasan dengan orang-orang HAM, ini bukan lagi hak manusia, tapi sudah merupakan hak tuhan. Biar saja Tuhan menutup Ahmadiyah itu. Jangan kamu dong yang menyerang dengan terorisme. Nah, fatwa MUI ini menimbulkan keresahan dan aksi yang tidak terkontrol dan MUI tidak keluarkan fatwa tentang hal ini. Saya dapat informasi, ada orang dari Garut, datang menceritakan betapa rombongan orang datang, dipimpin oleh seorang jawara. Kemudian mereka datangi kantor cabang Ahmadiyah di situ, ketuanya dipanggil. Orang itu memang ahli jawara. Dia bawa pedang dan golok, ditaruhkan di leher si ketua Ahmadiyah itu, dipaksa untuk menandatangani. Isinya, bahwa kami betul-betul telah insyaf dari kesesatan kami, kami menyatakan keluar dari Ahmadiyah dan masuk Islam. Masa orang disuruh masuk Islam dengan golok ? Ini adalah akibat dari fatwa MUI. Terserah mau dikatakan fatwa MUI tidak kontroversial atau gimana, tapi kenyataannya, fatwa ini menimbulkan kontroversi. Ada yang pro dan kontra, itu yang kontroversi. Menimbulkan keresahan. Banyak fatwa MUI yang menimbulkan keresahan, misalnya soal bunga bank. Dikatakan masa darurat bunga bank sudah habis. Artinya, kaum muslim yang 99 persen dewasa ini masih bekerja di bank, harus keluar dari bank. Kalau tidak sama saja dengan makan babi. Menerima gaji dari bank konvensional dianggap sama saja dengan makan babi. Apakah MUI sanggup menampung pegawai bank yang keluar dari bank itu? Ini kan menimbulkan konflik batin yang luar biasa. Memang ada yang sebagian, yang bisa pindah. Saya juga menolong beberapa orang untuk pindah dari bank konvensional ke bank syariah. Anak saya ingin kerja di bank syariah, saya bantu. Tapi 99 persen itu tidak begitu. Dia tidak bisa ditampung oleh bank syariah. Karena bank itu kan pangsanya baru 1 persen. Apa itu tidak menimbulkan kersehatan? Ini didasarkan pada ketidatahuan. Saya tidak mengikuti. Saya paham kalau Ulil mengatakan hal itu (MUI tolol-red). Ini contoh MUI betul-betul tidak tahu pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Karena justru MUI mendorong sekularisme. Musdah Mulia : Tahun 2003 saya melakukan penelitian terhadap fatwa MUI. Saya teliti fatwa dari tahun 1975 sampai 1997, ada 76 fatwa yang dilahirkan MUI selama rentang itu. Saya mencoba melihatnya dari perspektif perempuan. Yang pertama, saya ingin simpulkan bahwa Sepanjang sejarah Islam, produk pemikiran Islam itu dalam kitab fikih, yang kedua dalam keputusan pengadilan agama, yang ketiga, dalam perundang-undangan di negara muslim. Kita bukan negara muslim, kita nggak punya itu. Yang keempat, fatwa. Yang menarik di Indonesia, adalah fatwa, karena dilahirkan oleh sebuah lembaga, yaitu MUI, yang banyak back-up Kebijakan pemerintah selama orde baru. Ini adalah lembaga swasta, ormas yang menadpat bantuan dari pemerintah lebih banyak. Kita bisa kejar, bantuan dari pemerintah untuk MUI ini untuk apa, pernah nggak ada audit. Dari sejumlah fatwa yang saya teliti, ada 6 fatwa khusus soal perkawinan. Satu, fatwa sebelum 1976, tentang prosedur perkawinan. Kedua, tentang sigat taklik itu, MUI menghimbau masyarakat Islam untuk tidak ucapkan sigat taklik akad pada saat akad nikah. Ketiga tentang haram nikah beda agama, tentang nikah mutah, talak tiga dan idah wafad pada perempuan, selama 40 hari tidak boleh keluar malam. Lalu saya lakukan penelitian terhadap fatwa MUI ini. Di lapangan, tidak mengikat, buktinya tidak ada yang melakukan. Soal sigat taklik talak, buktinya semua orang tetap saja mengucapkan. Ini tidak mengikatkan, sehingga masyarakat perlu diberitahu lah kalau fatwa ini tidak mesti diikuti. Soal nikah beda agama, juga. Ternyata makin sekarang nikah beda agama malah mengalami eskalasi, bukannya menurun karena adanya fatwa MUI. Artinya fatwa MUI ini sama sekali tidak berguna. Nikah Mutah itu juga di mana-mana terjadi. Talak tiga, idah wafat, wanita bekerja ya tetap saja. Mana ada wanita dikekang karena suaminya meninggal. Terakhir, fatwa tentang larangan imam shalat. Karena di Indonesia ini tidak ada perempuan yang jadi imam, buat apa difatwakan? Soal fatwa ini saya punya kesimpulan. Fatwa MUI itu tidak peka, tidak sensitif terhadap problem sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat. Fatwa MUI ini tidak respek terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Fatwa ini bertentangan dengan ajaran Islam yang hakiki, yang mengedepankan perdamaian, pluralisme dan persatuan. Jadi seperti itu saya membaca fatwa MUI. Saya berharap pada MUI, daripada lahirkan fatwa yang banyak sekali, bagaimana sebaiknya mereka lakukan kajian kembali, evaluasi kembali fatwa yang sudah keluar, apakah itu berguna, bermanfaat. Saya pikir, sebagai lembaga yang diharapkan sangat strategis, lahirkan fatwa berguna. Orang yang biarkan busung lapar itu haram. Orang yang lakukan money laundring itu haram. Pernahkah MUI fatwakan pentingnya kita membangun pendidikan murah dan gratis untuk masyarakat? Atau fatwa tentang membela trafficking, bahwa semua orang yang lakukan perdagangan perempuan dan anak itu haram? Pernah gak MUI keluarkan fatwa yang bantu pemerintah dorong perbaikan kepada masyarakat? Karena kalau saya lihat, tugas MUI itu adalah mengawal pemerintah, membangun memberdayakan umat dalam bidang agama. Karena saya lihat musuh yang paling besar yang dihadapi agama adalah kemiskinan dan kebodohan. Ini sama dengan prolog UUD, tujuan kita bernegara adalah untuk sejahterakan kehidupan bangsa, cerdaskan. Karena itu kita sepakat musuh kita ada dua, kemiskinan dan kebodohan. Sekarang, apa sih yang sudah dilakukan MUI untuk eliminasi semua bentuk kemiskinan dan kebodohan? Fatwa MUI ini justru membiadabkan masyarakat. Amidhan (salah satu ketua MUI) : Pak Dawam setahu saya mengusung ekonomi kerakyatan dan anti ekonomi liberalisme. Bahkan sekarang neo-liberalisme. Neo-kapitalisme. Nah, dalam hal ini, pemikiran liberalisme yang dikaitkan dengan konteks teologi atau agama itu, seperti dikatakan Pak Dawam tadi, bahwa kebenaran yang mutlak itu hanya di tangan Yang Maha Kuasa. Di tangan Allah. Tapi sebelum sampai ke sana, ulama itu berpegang kepada Al-Quran dan As-sunnah. Ada yang dikatakan yang dibenarkan itu ada. Makanya ada orang yang mengusung pikiran liberalisme menulis, katanya nanti di akherat suatu ketika Tuhan tersenyum melihat di dalam surganya yang luas itu ada Yesus, Muhammad, Luther King, Umar bin Khotob, mungkin ada Baharudin Lopa atau Munir. Kumpul semua pokoknya. Kalau tidak salah, yang didefinisikan di sini, liberalisme agama itu adalah pemahaman agama yang mengedepankan akal pikiran yang bebas. Kalau bertentangan dengan nash ya akal pikiran ini. Sebab pikiran bebas ini kan serba mungkin. Apa salahnya kan kalau orang berpaham gitu. Sehingga terkait dengan sekularisme. Sekularisme itu kan pada dasarnya memisahkan antara agama dengan negara. Negara tidak boleh campur tangan urusan agama. Agama itu urusan pribadi. Maka kalau ada perkawinan satu sama lain itu bukan ibadah seperti dalam undang-undang perkawinan. Tapi, kata Bu Musdah Mulia, ini sekedar kontrak sosial. Dan juga apa salahnya orang kawin antara agama. Islam dengan Kong Hu Chu misalnya. Kaum liberal boleh-boleh saja. Orang cinta kok dibatasi. Allah saja belum tentu membatasi. Karena serba mungkin. Kalau pluralisme itu saya baca tulisan Pak Syafii Anawar. Saya oke-oke saja. Setuju begitu. Atau yang disinggung oleh Azyumardi Azra. Bahwa pluralisme itu, agama itu, ada otonomi masing-masing agama. Itu setuju. Tapi yang bergerak sekarang ini kan bukan itu. Yang bergerak sekarang ini kan agama itu sama benar. Sama baik. Masuk agama ini silahkan. Masuk itu silahkan. Nanti di surga juga berdampingan. Nah ulama pemahaman yang seperti itu yang gak mau. Pemahaman yang berakar pada sinkretisme. Yang memadukan yang baik-baik menjadi satu pemahaman. Ini terjadi misalnya Usman Roy yang sholat dua bahasa. Ada teman saya yang liberal ini, apa urusannya. Biar saja dia shalat dua bahasa. Apa urusannya dengan kita. Tapi kalau ulama, kalau untuk umat sudah ada pakemnya. Ndak mau dong yang asal masuk akal pikiran diikuti. Begitu juga di dalam semua kegiatan agama itu yang dikedepankan akal pikiran bebas. Kalau menurut common sense kita itu boleh ya boleh. Ulama ndak mau begini. Jadi saya kira kita diskusi secara tenang. Tak perlulah bilang ulama itu tolol, tidak paham, tidak mengerti, teroris. Karena di komisi fatwa (MUI) itu ada 40 orangdari berbagai disiplin ilmu. Bukan mereka tidak membaca. Ging Ginanjar : Terimakasih. Tadi memang ada urusan soal tidak paham, paham salah, belum paham. Silakan. Nike (Komunitas Ahlulbait atau Syiah) : Ada titipan dari guru saya Jalaludin Rakhmad. Beliau mengatakan bahwa fatwa ini tidak bisa mengikat siapapun karena MUI bukan lembaga mufti yang diangkat pemerintah. Jadi tidak punya wewenang apa-apa selain mempengaruhi opini masyarakat. Kami akan menghargai fatwa selama tidak didukung oleh lembaga-lembaga hukum pemerintah seperti kejaksaan atau yang berkaitan dengan itu. Dan kami menentang setiap ikut campur tangan pemerintah dalam keyakinan umat. Karena MUI tidak bisa mengambil alih hak Tuhan. Karena akan berdampak pada kemusyrikan. Kalau misalnya merasa lebih baik ketimbang orang yang lain itu menduakan Tuhan. MUI harus melakukan dialog dengan berbagai mazhab dengan kekuatan logika dan bukan logika kekuatan. Yakni Al-Quran dan As-Sunah. Dalam sejarahnya fatwa fiqh Islam selalu berkaitan dengan tindakan seperti wudlu dan sejenisnya dan bukan berkaitan dengan gagasans eperti liberalisme karena gagasan tidak bisa diadili. Jadi kami harus menentang fatwa yang menghambat pemikiran Islam. Saya pribadi setuju dengan Ibu Musdah. Misalnya kenapa MUI lebih menfatwakan misalnya departemen itu harus menanggung 500 anak yatim atau yang busung lapar atau yang pendidikannya rendah. Itu difatwakan Pak. Juga bikin rumah sakit. Jadi musuh Islam itu bukan umatnya tapi kemiskinan, penindasan dan kebodohan. Musdah Mulia : Saya ingin klarifikasi dulu. Pertama, bukan saya yang mengatakan bahwa perkawinan itu bukan ibadah. Tapi tolong kita membawa kitab-kitab fiqh yang ada apa kata Imam Syafii dalam Annikah Laisay Minal Muqorrobat. Laisya Minal Maqrubat. Walakin Minal Syahwat. Menurut dia nikah itu sekedar urusan syahwat. Bukan urusan bertakarub Illallah. Mari kita buka kitab-kitab fiqh apa yang dikatakan Imam Hanafi, Imam Hambali. Nikah itu hanya urusan seksual. Begitu vulgarnya. Sampai-sampai Imam Syafii mengatakan, kalau sampai seseorang bisa menjaga dirinya dan karena itu dia bisa tidak menikah, silahkan katanya. Karena perkawinan itu justru membuat orang melupakan Tuhan. Tetapi bukan itu yang ingin saya kehendaki. Yang ingin saya katakan adalah seringkali kita munafik. Mengatakan bahwa perkawinan itu ibadah. Perkawinan itu adalah agama. Tapi menggunakan itu untuk mendiskreditkan perempuan dalam perkawinan. (Para pengunjung tepuk tangan) Ging Ginanjar : Bisa tenang. Mohon. Musdah Mulia : Bahwa atas nama agama perempuan jangan macem-macem. Karena kalian sudah saya beli. (forum ribut lagi..) Ging Ginanjar : Tolong tenang. Silahkan Pak duduk lagi. Kita akan berdiskusi secara tenang. Kita berdiskusi dan tidak adu otot. Musdah Mulia : Ini soal perkawinan beda agama. Saya ingin membacakan. Ini buku yang ditulis oleh ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama. Bahwa perkawinan beda agama itu dilarang karena kita selalu mengutamakan pikiran. Enggak juga Pak. Karena kelompok liberal juga berpegangan pada Al-Quran dan As-Sunah. Juga kelompok-kelompok yang lain. Maka jangan katakan bahwa hanya MUI yang berpegangan pada Al-Quran dan Sunnah. MUI mengeluarkan fatwa tahun 1980 tentang larangan kawin beda agama dengan pertimbangan kemasalahatn yang sifatnya lokal. Meskipuan fatwa tersebut katanya berdasarkan dalil naqli, tetap saja tidak bisa menghapus kebolehan menikahi perempuan ahlulkitab sebagaimana disebut surat Al-Maidah ayat 5. Karena itu fatwa MUI melampaui hukum Tuhan. Ini diakui sendiri. Ini ditulis oleh Profesor Kyai Haji Ali Mustafa Yaqub. Anda silahkan beli bukunya. Artinya, fatwa MUI itu bertentangan dengan pandangan Al-Quran sendiri. Karena itu saya tersinggung kalau ada yang bilang jangan kawin beda agama karena kalau kawin beda agama kamu akan kalah karena di sana ada persaingan agama. Sebagai orang Islam saya tersinggung karena saya yakin kalau saya kawin beda agama, saya yakin tidak bakalan ditarik agama lain karena saya percaya bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan membawa perdamaian. Ging Ginanjar : Trimakasih. Pak Fauzan silahkan. Fauzan Al-Anshari : Saya ingin menanggapi soal Ahmadiyah ya. Jadi silahkan undang khalifah Anda yang ada di London. Kami siapkan satu tempat khusus untuk berdiskusi. Karena kami sudah katakan bahwa Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Dan kalau tidak tobat itu murtad. Jadi untuk mempertanggungjawabkan ini, mekanismenya ada. Anda yang salah atau kami yang salah. Itu namanya mubahalah. Kalau sudah menyangkut masalah alqoit, itu Rasulullah itu bagaimana mekanismenya. Kan begitu. Waqol yahud. Uzherullah. Orang yahudi mengatakan bahwa Uzher itu putranya Allah. Waqolnashara Isanullah. Orang Nasrani juga mengatakan bahwa Isa itu putra Allah. Lalu mana yang benar. Maka Allah katakan Nabtahil Fanajallahatah Alkazibil. Mari kita bermubahalah, panggil anak istri ajak semuanya. Kemudian minta Allah melaknat orang-orang yang dusta. Bentuknya terserah. Apakah ditabrak kereta atau disambar petir. Tapi mantabnya petir. Ini perlu Pak. Kemudian, tidak ada relativisme. Kita di Indonesia harus mengatakan di Indonesia ini kalau ada relativisme akan hancur negara ini. Misalnya foto SBY ditangkap. Sekarang orang yang mencaci maki Allah, logo Allah diinjak-injak kenapa polisi nggak menangkap. Karena polisi nggak paham. Kalau SBY yang diinjak, polisi paham. Tapi kalau logo Allah diinjak nggak ada pasalnya. Ini nggak adil. Jadi di sini kita harus jujur. Definisi jujur dan implementasi yang jujur. Kalau tidak akan rusak. Fakta adanya tindakan main hakim sendiri itu muncul karena tersumbatnya mekanisme hukum tadi. Misalnya, tidak ada satu pendapat yang benar. Kawin beda agama ini boleh kawin ini boleh. Agama akan rusak. Karena dalam hudud Alah itu ada yang disebut dengan hak ridzah. Yaitu hukuman yang ditetapkan oleh Allah bagi mereka yang sudah melakukan pengingkaran. Contohnya. Pada masa rasullulah. Laa Nabiya Badi. Tidak ada nabi setelah aku. Tapi nanti akan ada nabi yang aku akui nabi sekitar 30-an. Jubah nabi itu belum kering. Baru dimakamkan beliau itu. Sudah ada orang yang mengaku nabi. Namanya Musyailamah. Musyaimah Al-Kahzab. Lalu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shidiq. Mengirimkan 10 ribu tentara untuk membunuh dan memerangi Musyailamah. Dan yang membunuh adalah Al-Wahsyi. Dipenggal lehernya. Lalu apa yang dilakukan Abu Bakar As-Shidiq ketika orang muslim tidak mau membayar zakat. Karena apa? Karena menafsirkan ayat Khutmin Anwalihim Sodakotan tuttohirkibiha itu dengan semau gue. Kata sebagian mereka, itu kan perintah untuk mengambil zakat dari mereka untuk membersihkan harta dan jiwa mereka. Tapi ini khutmin anwalihim ini khitobnya kepada Muhammad yang masih hidup. Sekarang Muhammad sudah mati. Maka sekarang tidak perlu lagi membayar zakat. Itu kata kelompok ini. Begitu mendengar ini, Abu Bakar mendatangani dan mengatakan apa bila Anda tidak membayar zakat dengan menafsirkan seperti itu, maka akan kupenggal lehernya. Saya kasih waktu istitabah 3 hari. Untuk tobat atau tetap dalam tafsir yang semau gue. Sebagian bertobat dan sebagian tidak. Akhirnya perang ridah. Relativisme itu hanya di dunia iblis. Dan liberalisme itu hanya ada di dunia iblis. Mengakui eksistensi Allah tapi melanggar aturannya. Inilah persoalannya. Oleh sebab itu saya yakin, kalau pendapat Mas Dawam tetap dijalankan, pendapat Ibu Musda dijalankan, dan pemerintah tidak ambil keputusan yang tegas maka akan terjadi berbagai tindakan main hakim sendiri yang lebih dahsyat. Saya beritahukan. Karena umat itu semakin paham tentang agamanya. Penyelewengan aqidah jauh lebih berbahaya ketimbang narkoba. Karena taruhannya adalah akherat. Nah oleh sebab itu saya ajak termasuk dari Syiah Jalaludin Rakhmad. Kami ajak untuk berdebat. Anda yang benar atau kami yang benar. Kapan. Di Bandung atau di mana. Semua saksi. Kita akan adakan. Apakah kami yang sesat atau Anda yang sesat. Ya. dan Ahmadiyah. Ging Ginanjar : Terimakasih. Mudah-mudahan Anda bukan mengancam ketika membicarakan akan ada main hakim sendiri lagi yang lebih dahsyat. Silahkan pak Syafii Anwar. Mohon tenang sodara. Syafii Anwar : Trimakasih. Setelah melihat diskusi kali ini, saya berkesimpulan bahwa perspektif atau paradigma diantara yang pro dan kontra fatwa MUI memang sudah berbeda. Nampaknya sulit sekali untuk ditemukan. Walau demikian saya memberikan kepada Pak Amidan yang bahwa formulasi saya diterima. Persoalannya yang menjadi konsern adalah secara langsung atau tidak ada upaya untuk menghalalkan kekerasan. Kekerasan yang menurut saya mesti ditangulangi. Bisakah MUI tidak sekedar menfatwakan yang sudah keluar dengan membuat fatwa baru yang isinya jangan sampai ada kekerasan. Kenapa saya menerima sms cukup banyak dan juga kalau kita siap dengan debat dan jihad termasuk yang disampaikan sudara Fauzan. Saya tidak mengeti jihad ini dalam konteks apa. Apakah diskusi atau juga saya dengar juga, bahwa markas JIL katanya akan diserang. Kalau itu terjadi, kemana kita menuju negara ini. Saya kira kita harus bertanya kepada hati nurani kita masing-masing. Di dalam negara kesatuan, kalau itu terjadi, apakah MUI mau bertanggungjawab. Apalagi ada cerita dari Garut seperti yang dibilang Mas Dawam tadi. Di mana nurani kita. Kalau itu terjadi kekerasan-kekerasan dan di luar kontrol, karena saya bisa memahami bahwa fatwa adalah legal opinion. Bisa diterima bisa tidak. Peserta : Interupsi Pak. Meluruskan pernyataan Pak Syaiful Anwar. Bahwa FPI dan Hizbut Tahrir akan menyerang JIL. Itu fitnah yang dilakukan oleh Ulil. Kita sudah memberikan klarifikasi. Hizbut Tahrir tidak pernah akan melakukan kekerasan sama sekali. Syafii Anwar : Terimakasih kalau itu tidak terjadi. Tapi kita tidak bisa kontrol orang-orang awam, saya berharap sekali bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Kalau terjadi, itu mahal sekali harganya. Kita bisa pecah belah. Karena kemudian akan ada pembalasan dst. Karena itu kita minta pemerintah memberi jaminan. Juga MUI. Kalau perlu fatwa tambahan jangan sampai ada kekerasan. Kalau sampai terjadi, saya tidak tahu kemana negara ini. Itu yang saya harapkan. Perbedaan pendapat saya kira wajar. Dari dua pendapat ini makin jelas bahwa titik tolak kita berbeda. Tidak bisa kita merasa paling benar. Nomor satu adalah jangan sampai ada kekerasan. Kalau sampai terjadi, saya tak mengerti kepada siapa kita akan bertanya. Mungkin kepada rumput yang bergoyang. Makruf Amin : Setelah saya mendengar berbagai pendapat. Saya makin yakin bahwa ulama harus memberikan bimbingan dan pedoman. Harus memberikan fatwa-fatwa. Sesungguhnya fatwa ulama itu pertama adalah membetulkan aqidah. Taskhikhul aqidah. Jadi banyak aqidah yang menyimpang. Memahami aqidah itu ada metodanya. Ada manhaijfiqir-nya.Bukan seenaknya mau ngomong semaunya. Seakalnya. Itu bukan agama itu. Itu mau-maunya sendiri. Walaupun di dalam agama itu ada yang ditoler. Namanya wilayah kebolahen berbeda pendapat. Namanya wilayatulmanhaj. Ini harus ngaji dulu. Kalau ndak, ndak paham ini memang. Harus ngaji dulu. Ini ada ilmunya. Wilataulmanhaj itu orang boleh berbeda pendapat. Kalau di luar wilayah itu namanya khuruujanilmanhaj. Dia sudah keluar. Dan ada kesepakatannya. Ada ijma-nya. Bukan orang per-orang. Seenak udelnya saja. Nah manhaj itu adamanabit shohihah. Cara berpikir yang benar ada yang bilang tidak benar. Saya dari Quran, saya juga dari Quran. Bener ndak cara memahami Quran. Dari mana Anda cara memahami itu. Di dalam memilih pendapat ini, MUI menggunakan metode mana yang paling kuat. Yang unggul dan tidak unggul. Bukan asal memilih. Sebab ada pedomannya. Alhoqmubairirojih minal hoqmubairima anzallah. Memberikan hukum dengan sesuatu yang tidak unggul sama dengan memberikan hukum dengan yang selain dengan hukum Allah. Jadi kalau ada pendapat beda, dicari, mana yang terunggul. Arjaul aqual namanya. Karena itu ketika mengatakan bahwa orang Islam tidak boleh mengawini wanita ahlulkitab itu disebut kaul yang mutamat. Kaul yang dipegangi. Catatan : Sayang sekali, karena kendala teknis setidaknya ada dua pernyataan, yakni dari perwakilan Ahmadiyah Lahore dan Dawam Rahardjo di penutup diskusi yang tidak terekam. Tak ada unsur kesengajaan, ini murni karena masalah teknis. Akan sangat membantu kalau ada wartawan atau siapapun yang sempat merekam utuh acara diskusi ini untuk melengkapi dengan memberikan transkrip yang hilang tsb. Salam Tim Redaksi Kantor Berita Radio 68h Jakarta 89,2 FM -- Marketing Promotions Kantor Berita Radio68H Jl. Utan Kayu No. 49 A Jakarta Timur 13120 Telp. +62 21 8513386 Fax. +62 21 8513002 Email. [EMAIL PROTECTED] <http://us.f507.mail.yahoo.com/ym/[EMAIL PROTECTED]&YY=63805&order=down&sort=date&pos=0> www.radio68h.com -----Original Message----- From: Rizagana Sent: 04 Agustus 2005 23:06 To: Abdul Azis; Abdul Muslim; Ahmad Iskandar; Bani Saksono; Edi Purnomo; Edo Rusyanto; Encep Saefudin; Halim; Hari Widowati; Hari Gunarto; Imam Muzakir; Imam Suhartadi; Indra Purnama; Muhammad Ali; Nasori; Nurjoni; Toidin; Wiyono Subject: Fatwa MUI versis Sjeichul Hadi Permono CATATAN buat kita tentang fatwa2 MUI. . . . .. . . . Profesor Sjeichul Hadi Permono: "Sudah Tugas MUI Mengeluarkan Fatwa" Senin, 1 Agustus 2005 Prof. Dr. Sjeichul Hadi Permono, SH, MA (Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, anggota MUI Jawa Timur) Hidayatullah.com--Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan beberapa hari yang lalu nampaknya membuat beberapa pihak merasa kurang nyaman. Salah diantaranya adalah kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Madani (AMM) untuk Kebebasan Beragama yang beranggotakan; Dawam Raharjo, Johan Effendi, Syafii Anwar, Ulil Absar Abdalla, Pangeran Jatikusuma (penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (KWI), Pdt Winata Sairin (PGI) tersebut mendatangi mantan Ketua PB NU, Abdurahman Wahid di gedung PBNU, Jakarta, Jumat, (29/7) dan meminta mencabut fatwa MUI menyangkut sesatnya Ahmadiyah. Kepada pers, mereka mengatakan, yang berwenang menentukan benar atau salah adalah Mahkamah Agung (MA), bukan MUI, karena itu ia mendesak MA segera mengeluarkan keputusan soal Ahmadiah. Senada dengan Gus Dur, Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), M Syafii Anwar menyebut pembatasan pada kebebasan menjalankan keyakinan sebagai langkah mundur karena yang harus dilakukan semestinya adalah upaya membangun rasa saling hormat-menghormati. "Hendaknya MUI tidak menjadi polisi agama atau akidah," katanya ketika itu. Sebelumnya, pada penutupan Munas VII, MUI mengeluarkan 11 Fatwa penting. Diantaranya isinya menganggap Ahmadiyah sesat. Pluralisme agama dan Islam liberal adalah 'haram'. Untuk melihat lebih jauh dampak fatwa MUI ini, hidayatullah.com mewawancari Prof.DR.Sjeichul Hadi Permono,SH MA, Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, anggota dewan pakar MUI Jawa Timur yang juga guru besar pada Fakultas Syariah. Apa pendapat anda tentang fatwa MUI kemarin? Menurut saya, fatwa MUI itu sudah benar. Dan itu sudah keharusan. Soal Ahmadiyah sesat itu itu bahkan sudah diakui oleh jumhur ulama. Dan itu sudah fatwa lama. Bahkan semua ulama internasional sudah sepakat. Banyak pihak menilai langkah MUI mundur. Misalnya karena menfatwakan pluralisme itu haram? Agama itu menyangkut kebenaran. Dan agama adalah pilihan antara haq dan yang bathil. Karena itu beragama itu tak bisa disamakan dengan orang mendorong mobil. Yang bisa maju atau mundur. Atau diperlakukan seperti budaya yang harus menyesuaikan zaman. Apakah jika datang modernisasi atau globalisasi lantas agama disesuaikan dengannya? Kalau begitu, beristinjak atau membersihkan kotoran sehabis buang air besar atau buang air kecil diganti aja dengan tisu. Karena di zaman modern seperti ini pemakaian tisu bisa lebih praktis. Apakah karena dunia modern banyak para penganut sexual dissorder (kelainan seksual) seperti; gay, lesbian dan incest (hubungan badan sedarah) bebas berkeliaran, lantas Islam menyesuaikannya atau membolehkannya agar dianggap lebih maju? Karena itulah agama Islam keras melarang. Bagaimana dengan pendapat sebagaian orang yang mengatakan, MUI tak berhak memutuskan "halal" dan "haram"? Kalau tidak untuk mengeluarkan fatwa, lantas tugas MUI apa? Jadi itu sudah tugas MUI agar bisa menjadi pedoman umat melaksanakan hukum. Jika umat bingung dalam penerapan hukum kita mau lari ke mana? masa ke sosiolog? Sebagian orang mengatakan MUI tak berhak memonopoli kebenaran? Pertanyaan itu mirip pernyataan yang mengatakan, "jangan menganggap agamanya paling benar'. Ini logika apa sih. Hati-hati. Pernyataan seperti ini belakangan ini marak terjadi. Kelihatannya 'madu' meskipun aslinya 'racun' dan sangat menyesatkan. Kaum Yahudi dan Nashrani saja menganggap kita ini 'sesat'. Lha kok kita (Islam) yang datang untuk mengoreksi agama-agama sebelumnya (yang oleh Al-Qur'an dianggap salah) malah tidak boleh. Wong kita menganggap agama kita sendiri benar kok gak boleh. Contoh kecil saja. Kalau tidak ada institusi yang berani mengatakan yang 'benar' itu benar dan yang 'salah' itu salah. Maka negara ini bingung. Nanti polisi bubar karena tak berani menangkap penjahat. Sebab setiap mau menangkap dia tak berani karena sudah keracunan 'tak ada monopoli dalam kebenaran'. Jika begitu, bisa-bisa orang membunuh orang dianggap benar menurut dia sendiri. Dan kita tak boleh mengatakan itu salah. Sebenarnya bagaimana sih proses pengambilan fatwa selama ini? MUI itu bukan kumpulan orang iseng. Mereka terdiri dari ratusan orang dan pakar. Termasuk ahli agama, khususnya menyangkut ahli fiqh. Sebelum memutuskan suatu hukum, mereka berkumpul dan mendiskusikannya sangat lama. Para ulama itu diminta mengumpulkan kitab-kitab rujukan dan diuji melalui perdebatan panjang. Jadi tidak sesederhana yang dibayangkan orang. Sebelum mengeluarkan keputusan fatwa, segala yang yang diputuskan itu harus mempunyai dasar atas Al-Qur'an dan Sunnah yang mu 'tabarah. Juga tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan umat. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka keputusan fatwa tidak boleh bertentangan dengan ijma', qiyas yang mu'tabar, serta dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-aari'ah. Yang juga tak kalah penting, sebelum pengambilan keputusan fatwa juga meninjau kembali dengan pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. Jadi prosesnya rumit dan tak sederhana. Prinsipinya, fatwa itu dikeluarkan dengan pertimbangan para ahli yang kompeten. Siapa saja yang duduk di MUI? Mereka adalah wakil-wakil dari organisasi dan mahzab dalam Islam. Diantaranya NU, Muhammadiyah, DDII, para ulama, kiai, ahli fiqh, hingga pondok pesantren. Pokoknya dari semua mahzab ada. Mereka bukan orang sembarangan. Mereka mewakili bagian dari kelompok terbesar umat Islam ini. Jadi kalau segelintir orang meminta MUI mencabut fatwa, memangnya mereka mewakili siapa? Artinya setiap keputusan MUI atas kajian para ahli dalam hukum Islam? Iya lah. Di MUI itu selain para ahli mereka ahli hukum agama. Anehnya, yang teriak-teriak dan yang mengusulkan aneh-aneh itu sangat tidak ahli dan hanya memiliki sedikit ilmu tentang Islam. Bagaimana anda bisa mengatakan hal itu? Di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya pernah menjadi tempat diskusi buku Fikih Lintas Agama yang ditulis oleh Tim Penulis Paramadina. Kami mengundang berbagai unsur di Jawa Timur, termasuk para kiai dan ahli-ahli fiqh. Di situ muncul pertanyaan peserta tentang kemampuan fiqh salah satu si tim pembuat buku Fikih Lintas Agama. Di situ si pembuat buku secara jujur mengatakan tak begitu paham ushul fiqh, katanya. Lha wong nggak mengerti ushul fiqh kok berani-benari bikin buku fiqh. Begini-begini inilah yang banyak muncul belakangan ini. Baru mengerti sedikit filsafat Barat saja bukan main beraninya. Termasuk usulan-usulan segelintir orang tentang hermeneutika (studi kritik) terhadap Al-Qur'an. Dia ini paham nggak dengan ilmu tafsir Al-Qur'an?. Sudah begitu, itu kan tradisi Kristen yang mau dipaksakan dalam Islam. Entahlah, saya kadang sedih akan keberanian orang-orang seperti ini. Dengan kritikan yang ditujukan pada MUI itu, apa pendapat anda? MUI itu kan representasi umat Islam Indonesia. Dan MUI itu lembaga tertinggi yang disahkan oleh pemerintah. Ada atau tidaknya kritik kelompok kecil itu, MUI harus ada dan harus menjadi bemper umat Islam. Kalau nggak ada MUI, mau kepada siapa lagi umat ini bepegangan? (Cholis Akbar) Ingin belajar Islam? Mari bergabung milis Media Dakwah Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hcakfc0/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123504801/A=2894354/R=0/SIG=11qvf79s7/*http://http://www.globalgiving.com/cb/cidi/c_darfur.html">Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving</a>.</font> --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/