Refleksi: Mengapa terabaikan? Bukankah petinggi-petinggi partai politik dan 
negara itu pada umumnya belajar di negeri asing yang super canggih ilmunya, 
apakah mereka buta dan tuli melihat dan membandingkan kemajuan ilmu pengetahuan 
negerinya dengan negeri asing tempat mereka belajar? Tambah lagi sekian banyak 
studi banding DPR. Kemana dan  diimana aplikasi ilmu yang dikaji serta studi 
banding yang dilakukan? Bukankah jauh berjalan banyak dilihat dan rajin belajar 
banyak pengetahuan, koq hasilnya nol besar???







http://www.suarapembaruan.com/News/2005/08/12/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY 

Investasi Teknologi yang Terabaikan Selama 60 Tahun
 

ADA hal positif yang ditinggalkan penjajah Belanda kepada Indonesia, khususnya 
dalam hal infrastruktur teknologi. Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, 
Jawa Barat, misalnya. Bahkan, bangunan teropong luar angkasa ini merupakan 
satu-satunya di belahan bumi selatan pada masa jayanya. 

Begitu pula dengan apa yang pada masa sekarang bisa kita nikmati berupa 
panganan kedelai, tumbuhan kina, karet, dan kopi. Semua tumbuh-tumbuhan itu 
bukan tanaman asli Indonesia, melainkan hasil budi daya pendudukan Belanda di 
Indonesia. Sisa-sisa keseriusan itu pun masih terlihat dari sejumlah bangunan 
penelitian, seperti Kebun Raya Cibodas dan Kebun Raya Bogor. Pada waktu itu, 
keduanya dijadikan pusat pengembangan dan penelitian tanaman ekspor. 

Begitu pula dengan Laboratorium Mikrobiologi di Bogor yang pernah dihuni 
sejumlah pemilik nama-nama besar peneliti yang banyak bergelut dalam bidang 
molekuler, seperti Pasteur dan Christiaan Eijkman. 

Seperti diungkapkan Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr 
Lukman Hakim Msc, sepeninggal Belanda, Indonesia pernah tercatat sebagai 
penyuplai kayu lapis (plywood) terbesar dengan mengambil 40 persen pasar dunia. 
Bahkan mengutip sebuah tulisan tentang perkembangan ilmu pengetahuan di daerah 
jajahan Hindia-Belanda, Lukman mengatakan sampai tahun 1945, bangsa Indonesia 
pernah berada di jajaran terdepan bidang ilmu pengetahuan. 

Tetapi, hal itu tidak bertahan lama. Peralihan kepemilikan dari tangan penjajah 
ke pemerintah Indonesia telah mengubah berbagai. Misalnya, pemotongan anggaran 
riset dan penelitian di bidang perminyakan dan perkebunan. Banyak sekali 
rasionalisasi yang dilakukan tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang. 

Hal itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Terlebih sejak tahun 
1998, Indonesia semakin terpuruk dalam ilmu pengetahuan. Pada saat itu, krisis 
moneter melanda dan menjerumuskan hampir seluruh negara Asia ke dalam 
keterpurukan ekonomi. Namun, ada sedikit negara yang bisa bertahan, bahkan 
lebih sukses setelah masa krisis itu. Negara Jepang misalnya, negeri Matahari 
Terbit yang minim sumber daya alam ini berhasil bangkit karena mampu 
mengandalkan teknologi yang dimilikinya. 

Dari rentetan sejarah itu, Lukman menyimpulkan selama ini Indonesia telah 
mengabaikan investasi di bidang ilmu pengetahuan atau yang lazim disebut 
investasi intelektual kapital. 

Bayangkan saja, dulu banyak peneliti negara tetangga yang datang belajar ke 
Institut Teknologi Bandung (ITB). Dulu juga banyak perusahaan asing mengirim 
tenaga kerjanya belajar di perusahaan milik negara, seperti perusahaan minyak 
Petronas, Malaysia, yang banyak menimba ilmu dari Pertamina. 

Sekarang apa yang terjadi? Semua menjadi serba terbalik. Peneliti Indonesia 
yang menuntut ilmu ke sejumlah negeri tetangga. 

Hal itu juga tidak terlepas dari budaya masyarakat di tanah air yang kurang 
menghargai profesi peneliti. Jika dibandingkan dengan Korea, negeri ini banyak 
mengucurkan dana untuk penelitian. Begitu pula dengan Cina yang menyamakan 
penelitian dengan kegiatan bela negara. Para peneliti dibebaskan dari wajib 
militer yang diterapkan bagi semua orang usia sekolah di negeri tirai bambu 
itu. 

Berdasarkan data yang diambil dari buku saku Indikator Iptek Indonesia, 
persentase belanja penelitian dan pengembangan (litbang) terhadap Produk 
Domestik Bruto (PDB) tahun 2002 Jepang merupakan yang terbesar (3,12 persen) di 
Asia. Kemudian, di urutan berikutnya berturut-turut diduduki Korea Selatan 
(2,91), Taiwan, (2,05), Singapura (1,89), Cina (1), Malaysia (0,69), dan yang 
terkecil adalah Indonesia (0,05). 

Saat ini, jumlah tenaga peneliti sudah merosot. Bahkan, data tahun 2002 tentang 
rasio tenaga peneliti per 1.000 pekerja di beberapa negara Asia menyebutkan 
Indonesia menjadi yang terendah. Rasio tertinggi dipegang Jepang sebesar 9,9. 
Artinya, ada 99 peneliti di antara 1.000 tenaga kerja. Sementara, Korea Selatan 
memiliki angka 6,4, disusul Malaysia (0,8), Thailand (0,6), dan Indonesia (0,5) 

Pada profesi peneliti tentu dibutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. 
Sebagai orang yang berpendidikan tinggi, sudah barang tentu ada saja tawaran 
yang lebih menarik daripada peneliti. Dan, sudah barang tentu mereka lari 
memilih profesi yang lebih banyak memberi peluang mengembangkan diri. 

Alasan berpaling itu bukan semata-mata karena uang, tetapi lebih kepada 
kesempatan untuk mengembangkan diri. Mengapa demikian? Lukman mengatakan, 
profesi peneliti merupakan profesi yang memerlukan pengasahan diri yang 
berlanjut. Bila tidak, akan semakin tumpul kemampuannya. Karena itu, mereka 
membutuhkan kesempatan menggali ilmu dan berinteraksi ke sesama peneliti, 
khususnya di dunia internasional. 

Jadi, tolok ukur keberhasilan riset dan teknologi satu negara dapat dilihat 
dari komitmen dan anggaran di bidang teknologi, kemampuan menciptakan teknologi 
baru, dan investasi di bidang pendidikan. 


Tertinggal 

Saat ini, Indonesia diakui sedang dalam posisi tertinggal. Tetapi, melihat 
jumlah sumber daya manusia dan bila investasi intelektual kapital semakin 
ditingkatkan di setiap perusahaan swasta maupun negara, maka sangat mungkin 
terlahir Indonesia bagaikan gerbong besar yang tertinggal sementara. 

Bahkan, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman yang ditemui 
Pembaruan di sela-sela Pameran ASEAN Ritech Exhibition di Gedung BPPT Jakarta, 
beberapa waktu lalu, optimistis Indonesia saat ini berada di jajaran atas 
persaingan teknologi negara-negara anggota ASEAN. 

Hal itu mudah saja disimpulkan dengan melihat persentase kontribusi teknologi 
terhadap perkembangan ekonomi negara. "Kesimpulan itu memang memerlukan 
perhitungan, tetapi kalau di ASEAN saja, saya kira (Indonesia) berada di papan 
atas. Singapura, oke-lah, tetapi dengan Thailand dan Malaysia, kita imbang," 
katanya. 

Salah seorang tenaga pendidik yang banyak bergelut di bidang robotika, Vitrasia 
DUT ST pun berpendapat teknologi merupakan kekayaan yang diperoleh secara 
bertahap. Pengembangan satu atau lebih temuan dapat melahirkan temuan baru yang 
kemudian dikembangkan lagi, dan seterusnya. Karenanya, teknologi yang dimiliki 
negara maju sekarang bukanlah hasil dalam waktu singkat. 

Sebagai negara yang sedang mengejar ketertinggalannya, menggalakkan penelitian 
merupakan salah-satu cara mengejar ketertinggalan itu. 

Meski masih dalam taraf menengah, Vitrasia menilai, upaya menggalakkan 
penelitian di lingkungan tempatnya mengajar sudah berjalan. Hal itu sudah 
ditunjukkan melalui penghargaan yang diperoleh anak didiknya di Politeknik 
Negeri Bandung, setelah membuat robot yang diberi nama Raptor. Robot itu 
berhasil merebut juara dua di kategori robot cerdas pada Kontes Robot Cerdas 
Indonesia (KRCI), beberapa waktu lalu. 

Masalah dana di tempat dia memberikan pelatihan tidak kurang. Bahkan, menurut 
Vitrasia, jumlah dana yang dicadangkan untuk penelitian masih berlebih. Namun, 
para calon peneliti sendiri yang kurang mampu memilih judul dan mengajukan 
proposal secara tepat waktu. Sehingga, proposal itu terpaksa ditolak bukan 
karena tidak adanya dana penyokong penelitian yang mereka ajukan. 

PEMBARUAN/YAHYA T ROMBE 


Last modified: 12/8/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hcir4mu/M=323294.6903899.7846637.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123850431/A=2896130/R=0/SIG=11llkm9tk/*http://www.donorschoose.org/index.php?lc=yahooemail";>Give
 underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to 
life by funding a specific classroom project  
</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to