http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C-42%7CX
Sabtu, 13 Agustus 2005
Wajah-wajah "Cantik" Jurnalis Televisi 


Oleh Luviana


Surat elektronik dari salah satu kawan perempuan saya, yang juga bekerja 
sebagai jurnalis televisi seperti saya, mengingatkan kembali tentang 
kegelisahan yang selama ini selalu ada dalam ingatan saya. Dalam suratnya yang 
ditulis sebanyak empat lembar itu, ia bercerita bahwa ia baru saja menyerahkan 
surat kritiknya kepada pihak redaksi tempat ia bekerja. 

Ia memprotes ajang pencari bakat bagi jurnalis televisi yang diadakan di tempat 
ia bekerja, dan dilakukan selaiknya kontes modeling. Ajang ini selanjutnya juga 
diikuti dengan pencarian jurnalis favorit dengan cara mengirimkan sms seperti 
layaknya ajang pencari bakat lainnya dengan iming-iming, pemenang sms akan 
mendapatkan hadiah. Pemirsa diminta ikut, tanpa tahu contoh karya jurnalistik 
yang ditampilkan oleh peserta/calon jurnalis. Pemirsa hanya diberikan 
kesempatan untuk melihat wajah-wajah yang dipampang dan disiarkan dalam durasi 
beberapa detik. 

Saya menjadi teringat dengan cerita kawan saya yang lain. Ia pernah ditolak 
menjadi jurnalis televisi, ketika dalam proses tes wawancara, ada luka bekas 
cacar diwajahnya. Padalah ia harus melampuai serangkain tes yang lain sebelum 
ia sampai pada tes wawancara yang merupakan tes terakhir. Ia dianggap tidak 
layak menjadi jurnalis televisi karena ia kurang good looking. 

Akhirnya saya menjadi membuka kembali endapan-endapan ingatan keluhan 
teman-teman saya yang lain. Beberapa kawan saya yang lain selalu mengeluhkan 
tentang kebijakan redaksinya yang mewajibkan, bahwa jurnalis yang boleh tampil 
secara langsung (live reporting) hanyalah jurnalis yang dianggap cantik, 
menarik,good looking. Jadi jurnalis yang dianggap good looking ini selanjutnya 
tidak hanya bertugas untuk membawakan beritanya sendiri, namun ia juga 
membawakan liputan jurnalis lain. 

Inilah yang selanjutnya menjadi problem khas –yang banyak dialami para jurnalis 
Televisi. Jurnalis yang sudah bangun sejak subuh, berpanas-panas meliput 
dilapangan, dengan kerja keras dan diburu oleh deadline perdetik yang kadang 
membuat gerah- tidak bisa membawakan sendiri beritanya –hanya karena ia tidak 
cantik. Saya punya analogi, ini sama halnya ketika jurnalis di media cetak 
hanya boleh meliput dan menuliskan laporannya- tanpa memberikan embel-embel 
namanya dalam hasil tulisannya. Hanya redakturlah yang boleh menuliskan, karena 
dianggap lebih pintar-lebih senior. Identitas jurnalis yang dianggap yunior 
atau tidak cantik harus disembunyikan. Padahal jurnalis yang bekerja dilapangan 
adalah pekerja yang paling keras dalam sebuah proses komunikasi massa (Ashadi 
Siregar, 1998). Kenyataanya, kerja keras ini sering tidak ada harganya. 

Kawan saya yang menjadi jurnalis televisi di salah satu Negara di Eropa menjadi 
berang ketika saya ceritakan hal ini. Karena prasyarat ini tidak pernah ada 
dalam kebijakan redaksi mereka. Jurnalis yang meliput peristiwalah yang harus 
menyampaikan sendiri beritanya. Tidak peduli, apakah ia muda ataukah tua. 
Apakah ia cantik, ataukah tidak cantik, karena ukuran kelayakan sebuah berita 
tidak didasarkan pada paras sang jurnalis atau peliput berita. 

Saya baru bekerja selama tiga tahun lebih beberapa bulan sebagai jurnalis 
televisi. Namun saya pernah bekerja bertahun-tahun menjadi jurnalis di radio 
dan media cetak. Pengalaman pengkotak-kotakan identitas cantik-tidak cantik 
inilah yang tidak pernah saya jumpai ketika saya bekerja di dua media 
sebelumnya. Karena yang saya yakini, jurnalis akan dihargai dari buah karyanya, 
kerja keras menembus nara sumber, sekaligus perspektif yang ia gunakan sebagai 
pisau analisa. Namun banyak kenyataan baru yang tidak saya pahami. Sangat sulit 
saya terima. Dan ternyata, tidak sederhana. 

Beberapa penelitian yang dilakukan (LP3Y, 1999) pernah menyebutkan, bahwa 
posisi jurnalis laki-laki saat itu lebih banyak dari jurnalis perempuan. Namun 
saat ini, lebih banyak jurnalis televisi perempuan yang saya jumpai ketika 
dalam peliputan. Umumnya jurnalis baru ini selalau diambil dari perempuan yang 
pernah menjadi pemenang kontes putri atau pernah menjadi favorit model-model 
impian. Mereka hanya tinggal dipoles, toh nanti produser dan redaktur yang akan 
banyak menuntun mereka, beginilah jawaban yang sering saya dengar. Daripada 
mencari jurnalis yang handal, tapi tidak layak di depan kamera. 

Penilaian terhadap jurnalis televisi, saat ini sudah banyak mengalami 
perubahan. Dulu, hanya presenterlah yang harus berwajah cantik atau good 
looking. Alasannya tidak lain adalah ini merupakan tuntutan pemirsa. Walaupun 
belum pernah ada penelitian mengenai keabsolutan hal ini. Karena yang saya 
yakini, ini bukan tuntutan pemirsa, tetapi lebih karena keinginan memperoleh 
sesuatu yang besar. 

Jurnalis televisi seperti inilah yang akan banyak memberikan keuntungan besar 
-kata mereka lagi- merekalah yang paling handal untuk menembus narasumber. 
Narasumber kepolisian misalnya. Bapak-bapak polisi ini akan lebih dulu melayani 
jurnalis yang cantik daripada jurnalis yang bekerja keras –menunggu siang malam 
di kantor polisi- untuk sebuah wawancara dengan tersangka dan bapak-bapak 
polisi. Belum lagi narasumber bapak-bapak yang duduk di DPR dan pemerintahan. 
Identitas inilah yang terus menerus lekat dalam benak narasumber. Jurnalis 
seperti ini memang akhirnya yang banyak mendapatkan kemudahan dari narasumber. 
Karena ternyata, memang identitas seseorang akan berpengaruh pada penghargaan 
yang diberikan oleh lingkungan di sekitarnya (Amin Maaluf, 2005) 

Sering, kami beberapa jurnalis perempuan harus bekerja keras untuk 
mempertanyakan mengapa perempuan hanya menjadi obyketivikasi? (Simon de 
Beauvoir, 1989) atau mengapa selalu penilaian didasarkan pada nilai-nilai milik 
penguasa tanpa melihat proses yang harus dialami (Susan Griffin, 1978). Banyak 
yang yang menjadikan kami menjadi lelah untuk bertanya lagi. 

Seperti yang selalu terjadi di kolong langit, selalau ada dua posisi 
berlawanan. Di satu sisi ada masyarakat pencemooh, sedangkan disisi lain 
selalau saja ada masyarakat pemuja. Paralel dengan dua kutub utopian dan 
dystopian ini sering terjadi ketika kita berbicara tentang dahsyatnya 
perkembangan komunikasi massa (Yanuar Nugroho, 2005). Pernyataan seperti ini 
juga sering saya dengar ketika saya hadir dalam forum-forum diskusi tentang 
kiat-kiat hidup di dunia fana-dunia virtual yang entah berantah. Apakah ini 
yang disebut sebagai dunia hyper-realitas, yang sudah menjungkirbalikkan logika 
dan realitas? 

Pertanyaan yang ada dalam benak saya, apakah memang demikian syarat menjadi 
seorang jurnalis televisi? Mengapa ajang-ajang seperti ini selalu menampilkan 
model-model sebagai jurinya? Mengapa mereka juga mensyaratkan bahwa menjadi 
seorang jurnalis televisi, tidak hanya harus berwawasan luas, namun juga harus 
brain, beauty, behaviour, smart, sweet dan sexy. Apakah identitas ini yang 
harus terus dilekatkan pada sosok jurnalis? 

Kalau begitu apakah memang benar, pameo yang sering saya dengar -bahwa media 
cetak akan menciptakan kolumnis-kolumnis baru bagi para jurnalisnya- sedangkan 
Televisi akan menciptakan selebritis-selebritis baru bagi para jurnalisnya? 

Saya hanya ingin terus menjadi jurnalis. Karena pilihan ini yang saya yakini, 
selalu bisa mendekatkan saya dengan kesulitan yang dialami banyak orang dan 
saya bisa berbagi penderitaan dengan mereka. Dalam ruang-ruang inilah, akhirnya 
saya banyak belajar untuk menyelami apa yang dirasakan orang lain. Untuk itu, 
apakah saya harus cantik? 


Luviana Bekerja sebagai Jurnalis televisi 




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12h55a0ir/M=320369.6903865.7846595.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123875346/A=2896110/R=0/SIG=1107idj9u/*http://www.thanksandgiving.com
">Help save the life of a child. Support St. Jude Children¿s Research 
Hospital</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to