http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/8/13/o1.htm
Efektivitas progam tersebut selalu saja menjadi pertanyaan di benak masyarakat. Jadi, sebenarnya mungkin enggak sih pendidikan kita digratiskan pembayarannya? Hampir kita tidak menemukan jawaban ''jujur'' menyikapi isu yang sebenarnya sudah terlalu basi dikonsumsi masyarakat ini. Ada kemungkinan biaya pendidikan gratis, tetapi sekadar SPP-nya. Persoalan biaya untuk membeli tas sekolah, buku-buku pelajaran, seragam sekolah, biaya iuran bulanan, sumbangan, uang ujian, dan lain-lain, masih belum bisa digratiskan. Jumlah keseluruhan dari apa yang tersebut itu ternyata jauh lebih besar dari biaya SPP tiap bulan yang cuma senilai satu bungkus rokok, begitu kata orang-orang kampung. Inikah pendidikan gratis? ------------------------ Ilusi Pendidikan Gratis Oleh Abdullah Yazid SAMPAI hari ini, tidak bosan-bosannya para pakar pendidikan, pengamat, kaum akademisi, hingga anak didik sendiri terus menjadi pengawal, pengawas, sekaligus pengontrol setiap upaya terobosan pemerintah untuk benar-benar menggolkan ekspektasi program subsidi biaya minimal atau program SPP gratis. Konon, di samping untuk mendukung peningkatan proses belajar-mengajar, dana bantuan itu digunakan untuk mendukung upaya peningkatan kualitas tenaga kependidikan, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pembinaan kesiswaan, serta peningkatan mutu pendidikan. Tetapi, mungkinkah dengan dukungan dana yang hanya pada kisaran belasan ribu atau puluhan ribu rupiah, di tingkat SD atau SMP tersebut mampu menutupi harapan ideal? ------------------------------ Seperti kita ketahui, kebutuhan untuk membeli seragam, alat tulis, buku bacaan alternatif, iuran dadakan, dan pos-pos lain untuk mengembangkan kemampuan siswa tentu tidaklah cukup dinominalkan dengan hitung-hitungan pemerintah atas konsep dan format pendidikan gratis yang dirancang. Lebih-lebih, antara propinsi satu dengan yang lain berbeda-beda besarannya. Bukankah cukup mustahil nominal biaya SPP gratis yang sangat minim dapat mencegah angka putus sekolah di negeri ini? Sebagaimana dipaparkan Bagong Suyanto, hasil studi yang dilakukan Supriadi (2000) menemukan, untuk memenuhi kebutuhan buku pelajaran sekolah dan alat tulis saja, keluarga siswa rata-rata harus mengeluarkan biaya Rp 92.645 per caturwulan. Jadi, meski di Indonesia sejak 1976 SPP untuk jenjang SD telah dihapuskan dan disusul penghapusan SPP untuk jenjang SMP sejak 1994, nyatanya hal itu tidak banyak berguna bila merasakan kondisi yang ada sekarang. Tentu saja ini karena beban yang ditanggung orangtua siswa masih tidak sebanding dengan kalkulasi SPP bulanan tersebut. Maka, masyarakat bisa jadi tidak berharap banyak ketika Panitia Anggaran DPR dan pemerintah sudah menyepakati besaran dana program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2005 untuk menjamin sekolah gratis sampai tingkat SMP. Bahkan, pelayanan kesehatan di puskesmas pun akan digratiskan. Kita sekarang tinggal menunggu dan berharap-harap cemas mengenai realisasinya. Namun, masyarakat cukup jeli melihat bahwa sesungguhnya ada indikasi telah dilakukan pemotongan sebagian dana yang dikucurkan. Di samping itu, sudah berapa ratus kali janji-janji serupa dihadirkan dalam imajinasi masyarakat dengan bukti nol persen? Jadi Pertanyaan Biaya pendidikan atau yang sering disebut Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) seharusnya memang digratiskan pemerintah demi terwujudnya cita-cita UUD 1945, yakni setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Masyarakat kita sempat dibuat ''agak'' girang dengan adanya isu-isu gratis ini. Tetapi, lagi-lagi masyarakat dibenturkan pada ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang paling mungkin dengan beragam rasionalitas pemerintah lokal. Semisal, anggaran ternyata tidak mencukupi, ada kebutuhan mendadak yang lebih urgen, atau belum mendapat persetujuan anggota Dewan. Artinya, efektivitas progam tersebut selalu saja menjadi pertanyaan di benak masyarakat. Jadi, sebenarnya mungkin enggak sih pendidikan kita digratiskan pembayarannya? Hampir kita tidak menemukan jawaban ''jujur'' menyikapi isu yang sebenarnya sudah terlalu basi dikonsumsi masyarakat ini. Tampaknya kita harus sepakat untuk menjawab serentak: tidak mungkin. Ada kemungkinan biaya pendidikan gratis, tetapi sekadar SPP-nya. Persoalan biaya untuk membeli tas sekolah, buku-buku pelajaran, seragam sekolah, biaya iuran bulanan, sumbangan, uang ujian, dan lain-lain, masih belum bisa digratiskan. Jumlah keseluruhan dari apa yang tersebut itu ternyata jauh lebih besar dari biaya SPP tiap bulan yang cuma senilai satu bungkus rokok, begitu kata orang-orang kampung. Inikah pendidikan gratis? Ketika para pejabat kita sudah duduk di kursi pemerintahan atau kursi DPR dan DPRD, dan mereka ditagih janjinya tempo hari ketika menyuarakan biaya pendidikan gratis sewaktu ramai-ramainya kampanye dulu (hal yang juga terjadi pada kampanye pilkada), banyak alasan yang keluar dari mereka. Apologi yang muncul selalu saja tidak pernah jauh dari masalah anggaran dana APBN/APBD yang pas-pasan. Terkadang bahkan mereka mengatakan, korupsi adalah sebagai biang kerok keterbatasan dana. Sebagian elite pendidikan berargumen, bangsa ini memang harus pelan-pelan meningkatkan jatah anggaran untuk sektor pendidikan agar bisa mencapai mutu lebih baik. Persoalan kualitas, tentu kita bisa dengan mudah mengangkat seratus ribu guru per tahun demi meningkatkan kualitas pendidikan kita yang kekurangan guru, baik guru tetap atau guru bantu. Tetapi, apakah sesederhana itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini, sementara di sisi lain regulasi pendidikan nasional yang didominasi ego birokrat tidak menghargai aspirasi stakeholder pendidikan? Mungkin juga akan ada yang namanya pendidikan gratis, tetapi kemudian lulusan-lulusannya hanya akan berbuat dan bertindak serta berperilaku yang serba gratisan. Barangkali ketika ada yang namanya pendidikan gratis, para sarjananya hanya akan pandai membuat pertanyaan-pertanyaan tanpa bisa membuat jawaban. Atau sebaliknya, mereka hanya diajari menjawab tanpa pernah dilatih untuk kritis bertanya. Selanjutnya, mereka bisa jadi juga hanya mampu berbicara tanpa mampu mencari jalan keluar. Itukah potret pendidikan kita? Penulis, pemerhati pendidikan FKIP Univ. Islam Malang (Unisma), staf peneliti Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes Malang [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hait833/M=362329.6886307.7839373.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123886563/A=2894324/R=0/SIG=11hia266k/*http://www.youthnoise.com/page.php?page_id=1998">1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery</a>.</font> --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/