http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=120009
Menyorot Kinerja dan Kebijakan Pemerintah Oleh Pudja Rukmana Kamis, 1 September 2005 Belum genap setahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memangku jabatan sebagai Presiden RI Ke-5, namun "goyangan-goyangan" terhadap kinerja kabinetnya sudah mulai dirasakan. Kondisi perekonomian nasional yang tak kunjung membaik, terlebih ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar AS yang telah menembus angka kritis Rp 11.000,- tampaknya telah dijadikan "senjata" untuk menyoroti kinerja kabinetnya yang dinilai sudah tak efektif lagi. Desakan agar Presiden SBY segera melakukan reshuffle kabinet pun semakin menguat datang dari para pengamat, cendekiawan dan para pelaku pasar. Mereka menggugat bahwa ihwal keterpurukan ekonomi yang tak kunjung membaik disusul dengan pelemahan rupiah secara signifikan, tak terlepas dari serentetan kebijakan pemerintah, khususnya tim ekonomi yang dinilai tidak mencapai sasaran. Kenaikan BBM (bahan bakar minyak) hingga dua kali, tarif listrik, telepon, transportasi, dan tol yang berimplikasi pada kenaikan harga barang-barang mengakibatkan beban hidup masyarakat semakin berat. Ini berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat luas hingga berimbas pula pada terhambatnya kegairahan pasar ekonomi makro. Khusus tentang melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar AS, hampir semua bersepakat bahwa penyebab utamanya terkait dengan ketidakpercayaan para pelaku pasar. Memang, kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus membubung hingga mendekati 70 dolar AS per barel, ikut menjadi penyumbang utama bagi keterpurukan rupiah atas dolar AS. Dengan kondisi lebih banyak mengimpor -- minyak dan bahan baku industri lainnya --, daripada mengekspor, kebutuhan atas dolar semakin tinggi, sementara pemasukan praktis lebih banyak dalam bentuk rupiah, maka kebutuhan dolar cukup besar. Dengan perbandingan antara suply dan demand yang tidak seimbang, permintaan dolar lebih besar daripada rupiah; ditambah lagi ulah para spekulan valas bermain di air keruh, berakibat pada pelemahan rupiah secara signifikan. Berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi moneter telah dilakukan, termasuk lewat intervensi Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter, untuk menjaga agar rupiah tidak membubung hingga titik kritis. Tak kurang dari Presiden SBY memrakarsai Rapat Kabinet secara mendadak, Rabu (31/8) untuk mengambil langkah-langkah konkrit berkaitan dengan masalah perekonomian nasional. Delapan langkah telah disiapkan pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi agar kian membaik. Presiden SBY juga telah mengisyaratkan akan melakukan evaluasi mendalam atas kinerja anggota kabinet agar lebih berdaya guna. Dari pengalaman sejarah, memburuknya kondisi ekonomi selalu sinergis dengan melemahnya kurs rupiah atas dolar AS. Tak ayal, indikasi keterpurukan rupiah seringkali dijadikan semacam "model" untuk menilai kinerja kabinet. Namun hal ini harus dipahami karena pelemahan rupiah memang terkait erat dengan ketidakpercayaan pelaku pasar atas kinerja pemerintah, termasuk kebijakan-kebijakan yang dilahirkan, khususnya kebijakan ekonomi dan kebijakan-kebijakan lainnya -- terkait dengan gangguan banyak faktor -- dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, dalam upaya mengatasi krisis, satu hal penting perlu dilakukan pemerintah, yakni meyakinkan para pelaku pasar dan masyarakat luas agar kembali mempercayai kinerja dan kebijakan-kebijakannya. Dalam kaitan inilah, langkah pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh, baik mengenai kinerja maupun kebijakan-kebijakannya, perlu diapresiasi. Dalam hal kinerja, apakah sudah terjadi sinergisitas dan soliditas antara Presiden dan Wakil Presiden? Bagaimana pula dengan kekompakan dan kesepahaman di antara menteri-menteri tim ekonomi, dan para menteri lainnya? Apakah kebijakan menteri yang satu sudah sejalan dengan menteri yang lain? Bagaimana koordinasi di antara menteri-menteri terkait? Bagaimana pula dengan masalah pendelegasian terhadap para menteri atas tugas dan kewenangnya masing-masing? Apakah semua yang dilakukan para menteri dan pejabat bawahannya benar-benar dalam satu komando sesuai arahan Presiden? Hal lain yang tak boleh dilupakan, bagaimana kepekaan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri serta pejabat-pejabat negara lainnya di tengah menghadapi situasi "sulit" yang dialami masyarakat luas? Di tengah krisis, sudah selaiknya, semua kegiatan para pejabat negara harus diarahkan pada hal-hal yang benar-benar demi kepentingan rakyat. Dus, aneka kegiatan yang bersifat "hanya mencari popularitas" harus dihindari demi menjauhkan sikap apatis dan "muak" masyarakat atas sepak terjang pejabat yang dinilai hanya bersenang-senang sendiri. Dalam urusan kegiatan-kegiatan formalitas, pejabat negara bisa mendelegasikan kepada para menteri atau bawahannya yang pas sesuai proporsinya. Sementara dalam hal kebijakan, banyak kebijakan pemerintah yang tampaknya perlu dievaluasi. Di bidang ekonomi jelas bahwa kebijakan penetapan asumsi-asumsi RAPBN yang dinilai tidak realistis perlu direvisi ulang. Demikian pula dengan kebijakan-kebijakan lain, yang kontroversi dan tak sesuai undang-undang, atau tidak sejalan lagi dengan konsep demokratisasi, perlu diluruskan. Di lain pihak, pemerintah dtuntut arif dan bijaksana melihat masalah yang berkaitan dengan pluralisme dan harmonisasi kehidupan beragama, karena hal ini bisa berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan pasar, khususnya masyarakat dunia global yang sedang tren memperjuangkan hak asasi manusia. Disadari atau tidak, bagaimanapun, kebijakan masalah Aceh dan Papua yang hingga kini masih mendatangkan kontroversi, berimbas pada munculnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, baik di kalangan domestik maupun internasional. Dalam penegakan hukum, khususnya untuk kasus korupsi, pemerintah memiliki nilai plus tersendiri. Namun, bagaimana dengan sikap pemerintah terkait dengan keluarnya fatwa MUI yang jelas-jelas mengancam harmonisasi kehidupan beragama? Bagaimana pula dengan kasus penutupan gereja di sejumlah daerah? Hal-hal demikian perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah, khususnya dalam upaya meyakinkan kembali kepercayaan pelaku pasar dunia. Pemerintah boleh-boleh saja menganggap "kecil" kasus tersebut, namun pandangan dunia internasional bisa saja menganggap sebagai bentuk diskriminasi yang berpotensi dapat menimbulkan ketidaknyamanan pelaku pasar. Akhirnya, kunci untuk bisa keluar dari krisis terletak pada kearifan dan kebijaksanaan pemerintah sendiri dalam menyikapi berbagai masalah bangsa. Kalau pemerintah arif dan bijak, kepercayaan akan tumbuh dengan sendirinya, dan keterpurukan ekonomi pun berangsur akan pulih. Semoga! *** Penulis wartawan Harian Umum Suara Karya. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/