Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal    
Ditulis oleh M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi     
Sabtu, 21 Mei 2005  
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru atau
rudal, tetapi dengan wabah kelaparan (Andres Perez,
Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report,
Globalizing Poverty, 2000).


Banyak yang tahu dan paham bahwa baik neo-liberalisme
maupun liberalisme adalah kebijakan ekonomi dunia yang
berbahaya yang harus dilawan dan dicegah. Akan tetapi,
tidak banyak yang tahu sistem ekonomi seperti apa yang
bisa membendung kebijakan neo-liberalisme ini.
Berharap pada sistem ekonomi Komunisme tentunya tidak
bisa. Alih-alih sebagai pengganti, sistem ini sendiri
sudah nyata-nyata ambruk. Pilihannya tinggal satu:
Sistem Ekonomi Islam. Bagaimana sistem ini mampu
menjadi lawan seimbang bagi Kapitalisme global? 

Kebijakan yang Bertolak Belakang

Secara ideologis Islam dan Kapitalisme bertolak
belakang. Islam menjadikan akidah Islam berikut
syariatnya sebagai landasan sistem ekonominya.
Sebaliknya, dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah
sekularisme, yang menghalangi agama terlibat dalam
ekonomi. Akibatnya, kebijakan ekonomi kapitalis lebih
didasarkan pada hawa nafsu manusia yang rakus. 

Lalu bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap
kebijakan ekonomi neo-liberal ini? 

1. Persoalan ekonomi: distribusi atau produksi?

Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa
persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi.
Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak
terbatasnya keinginan manusia, sementara sumberdaya
yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk
menghilangkan gap ini harus dengan peningkatan
produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata
statistik seperti GDP (Gross Domestic Product) dan GNP
(Gross National Product) adalah persoalan penting;
tanpa melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera
atau tidak.


Sebaliknya, dalam Islam, persoalan ekonomi terletak
pada masalah distribusi kekayaan. Sebenarnya terdapat
sumber-sumber yang cukup untuk menyediakan
kebutuhan-kebutuhan pokok 6 miliar penduduk dunia.
Masalahnya adalah pada pendistribusian. Tidak sahihnya
pendistri-busian inilah yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan yang luar biasa antara negara maju dan
Dunia Ketiga (yang ironisnya mayoritas negeri-negeri
Islam). 

Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang
terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS
menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang
terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara
terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi
86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia
hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United
Nations Human Development Report, 1999). 

Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi
Islam, wajib melakukan pendistribusian kekayaan ini
dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat
Islam sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan
pokoknya. 

2. Peran negara: perlu atau tidak?

Konsekuensi dari keyakinan tentang persoalan ekonomi
di atas, penganut ekonomi neo-liberal percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari
kompetisi bebas. Harga barang dan jasa selanjutnya
menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau
masih banyak. Jika harga murah, berarti persediaan
memadai. Sebaliknya, jika harga mahal, berarti
produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi,
orang akan menanamkan modal ke sana. Oleh sebab itu,
harga menjadi tanda apa yang diproduksi. Itulah
alasannya, mengapa negara tidak perlu campur tangan;
serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk
berkerja. 

Sebaliknya, dalam Islam negara memiliki peran yang
sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, dan perumahan tiap individu rakyatnya;
termasuk pelayanan publik seperti kesehatan,
pendidikan, dan jaminan keamanan. Ini merupakan policy
mendasar ekonomi Islam. Bisa jadi seorang individu
tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan berbagai
alasan seperti cacat tubuhnya atau lemah akalnya,
sementara keluarganya tidak cukup untuk membantu. 

Di samping itu, negara (Daulah Khilafah Islam) harus
berperan untuk menjamin pendistribusian kekayaan
berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan
zakat; melarang penimbunan kekayaan, investasi pada
bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari bunga,
penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang
mengancam kewajaran harga pasar, pemilikan harta milik
umum oleh individu/swasta, dan sebagainya.

Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola
kepemilikan umum (milkiyah ‘âmah) untuk kepentingan
rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan
negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian
yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan
kemampuan yang tinggi dari para pekerja
(profesionalitas). 

3. Subsidi bagi rakyat: penting atau tidak?

Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi
rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya,
selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur
tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga
bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula
alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal
harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara
agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas
dalam pasar bebas.

Sebaliknya, dalam Islam, karena prinsip politik
ekonominya adalah menjamin kebutuhan pokok tiap
individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara
memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada
rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah
tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas
kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan
secara murah. Karena itu, hasil tambang seperti
minyak, emas, perak, dan lain-lain, memang milik umum
(milkiyah ‘âmah) dan digunakan untuk kepentingan
rakyat. 

Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan
ekonomi neo-liberal telah menyengsarakan rakyat.
Kebutuhan pokok rakyat pun terabaikan. Beban mereka
semakin berat akibat negara lepas tangan. Biaya
pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal akibat
diserahkan ke mekanisme pasar (privatisasi).

4. Pasar bebas atau tidak?

Jelas, dalam pandangan neo-liberal harus ada
liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas.
Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah
penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan
penurunan tarif perdagangan dalam transaksi
perdagangan internasional. Tujuannya, masih menurut
ekenom neo-liberal, untuk memacu semakin meningkatnya
volume perdagangan antarnegara di seluruh dunia.
Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan
menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan
ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan Obstfeld,
Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002). 

Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan
perbedaan struktur, perkembangan ekonomi, dan
ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara
terbelakang tidak akan mampu bersaing melawan negara
maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju
dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin
untung; negara terbelakang hanya jadi obyek dalam
pasar bebas ini. Celakanya lagi, sektor-sektor
industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat
seperti pertanian dan sektor informal disikat habis
akibat ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah
pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik
pemilik modal besar. 

Apalagi kalau perusahan-perusahan transnasional ini
masuk pada industri yang sebenarnya termasuk dalam
kategori milik umum (milkiyah ‘âmah) seperti minyak,
air, atau tambang emas; pastilah negara terbelakang
akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal
dan teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang
itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas
dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara
terbelakang pun semakin termiskinkan. Mereka menjadi
kuli di tanah air mereka sendiri. 

Dalam Islam sendiri, dibedakan antara perdagangan
dalam negeri dan luar negeri. 

Perdagangan dalam negeri berkaitan dengan aktivitas
antar rakyat (warga) negara Daulah Khilafah sendiri.
Aktivitas ini tidak butuh campur tangan negara. Hanya
saja, aktivitas ini tetap membutuhkan pengarahan
secara umum agar tiap individu yang melakukan
perdagangan terikat pada hukum syariat dalam
jual-belinya; termasuk memberikan sanksi terhadap
pihak-pihak yang melanggar (Taqiyuddin an-Nabhani,
Membangun Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, hlm.
325). Berkaitan dengan perdagangan dalam negeri ini
negara tidak boleh mematok harga tertentu untuk
barang, apapun alasannya. Harga barang diserahkan
kepada pasar.

Adapun perdagangan luar negeri adalah aktivitas
jual-beli yang berlangsung antara bangsa dan umat.
Oleh karena itu, negara akan campur tangan.
Hubungan-hubungan antarbangsa seperti ini harus tunduk
pada kekuasaan negara; negaralah yang mengatur dan
mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung.
Islam dalam konteks ini menolak perdagangan bebas.
Negara Khilafah Islam akan melarang dikeluarkannya
beberapa komoditi dan membolehkan komiditi lain sesuai
dengan pertimbangan syariat. Negara Khilafah tentu
saja akan melarang warganya yang menjual senjata
kepada pasukan musuh, misalnya. Negara juga tidak
membolehkan pihak asing untuk melakukan investasi
untuk menguasai sektor-sektor yang berhubungan dengan
pemilikan umum, seperti minyak dan tambang emas.
Perusahan-perusahan multinasional tidak akan
dibolehkan memanfaatkan apalagi memiliki sumber-sumber
alam negara Khilafah. 

Negara juga akan campur tangan dalam pelaku bisnis
kafir harbi atau mu’âhad. Sebab, prinsip yang diadopsi
oleh negara Khilafah dalam aktivitas perdagangan ini
adalah prinsip asal-muasal (kewarganegaraan)
pedagangnya, bukan asal-muasal komoditasnya. Dalam hal
ini, Negara Khilafah tidak akan mengadakan hubungan
dagang dengan negara-negara yang memerangi kaum Muslim
secara langsung (muhâriban fi’lan) seperti AS,
Inggris, dan Israel. Intervensi negara tersebut bukan
sebatas kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk
tujuan-tujuan politik sekaligus mengembang dakwah. 

Negara Khilafah pada prinsipnya akan menolak setiap
perdagangan yang justru memberikan jalan bagi pihak
luar untuk menguasai dan mendominasi negara seperti
yang terjadi sekarang ini. Setiap warga negara
berkewajiban mengamankan negara sehingga tidak
bergantung pada produk-produk asing yang mengancam
kemandirian negara. Warganegara didorong untuk
memperkuat dan memanfaatkan produk lokal serta
mendorong ekspor. Dalam hal ini, negara boleh
memproteksi pasar dalam negeri dari masuknya
barang-barang yang justru mengancam industri dalam
negeri seperti dalam bidang pertanian. 

5. Liberalisasi keuangan: diterima atau ditolak?

Pada dasarnya liberalisasi keuangan dalam kebijakan
ekonomi neo-liberal ditujukan untuk mendorong
pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam
sistem perekonomian dan keuangan internasional. Dengan
demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi
berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan
antar negara di seluruh dunia (Singh, Memahami
Globalisasi Keuangan, 1998).

Persoalannya, akibat liberalisasi ini negara-negara
miskin sangat rentan terhadap berbagai gejolak dan
spekulasi moneter yang dilakukan spekulan
internasional dari negara kaya tertentu. Banyak pihak
yang percaya, krisis moneter di Asia pada 1997, yang
kemudian juga menguncang Indonesia, merupakan
permainan para spekulan internasional ini. 

Apalagi liberalisasi keuangan berarti menjadikan dolar
sebagai mata uang yang dominan di dunia internasional.
AS memegang kendali nilai mata uang dunia dan dengan
mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Dolar
kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia
internasional. 

Dalam hal ini, Negara Khilafah akan menerapkan sistem
mata uang dengan standar emas dan perak, bukan dolar.
Dengan demikian, sistem moneter internasional akan
terjadi secara adil. Siapapun yang ingin mencetak uang
kertas harus mengupayakan persediaan emas dan perak
yang setara. Berbeda dengan saat ini, AS hanya tinggal
mencetak uang kertas, sementara negara lain harus
melakukan jual-beli untuk mendapat dolar. Percetakan
uang kertas dalam jumlah yang berlebihan dan tidak
diimbangi dengan kekayaan real juga telah menjadi akar
penyebab inflasi. 

6. Ihwal privatisasi BUMN.

Kebijakan privatisasi BUMN sesungguh-nya menjadi
agenda utama kebijakan ekonomi neo-liberal. Tentu saja
hal ini menyebabkan dieksploitasinya kekayaan negara
yang seharusnya digunakan untuk rakyat oleh perusahaan
swasta, terutama perusahaan transnasional. Kekayaan
yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan
rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, pendidikan
dan kesehatan gratis justru jatuh ke
individu-individu. Wajarlah jika Indonesia yang
kekayaan alamnya luar biasa, rakyatnya harus hidup
miskin. 

Dalam Islam kepemilikan dibagi tiga: individu, umum,
dan negara. Yang termasuk dalam kategori kepemilikan
umum adalah: 

(1) segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital
rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan
masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber
energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara,
dan lain-lain); 

(2) berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa
dimiliki secara pribadi seperti lautan, sungai, taman
umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun
alat transportasi lainnya; 

(3) barang tambang yang depositnya melimpah dalam
jumlah besar seperti sumberdaya mineral (garam, besi,
emas, perak, timah dan lain-lain).

Semua yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh
dimiliki oleh individu atau swasta (seperti perusahan
multi nasional) dan bukan pula milik negara. Negara
hanya mengelolanya saja; hasil pendapatannya
diserahkan ke Baitul Mal yang digunakan untuk
kepentingan rakyat. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa
banyaknya sumber kas Baitul Mal. 

Agenda ke Depan

Tentu saja, kebijakan ekonomi Islam di atas harus
dijalankan secara komprehensif. Karena itu, agenda
umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik
untuk itu, yaitu Daulah Khilafah Islam. Negara global
inilah yang akan menggeser dan menundukkan arogansi
dan kerakusan negara-negara kapitalis lewat kebajikan
ekonomi neo-liberalnya yang merugikan umat manusia
saat ini. 

Wallâhu a’lam.
 
http://majelis.mujahidin.or.id/kolom/ekonomi/ekonomi_islam_vs_ekonomi_neo-liberal/

Ingin belajar Islam? Mari bergabung milis Media Dakwah
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]


        
                
______________________________________________________
Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort.
http://store.yahoo.com/redcross-donate3/


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke