http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=13914


      Be Careful, Mr President! 
      Oleh redaksi 
            Selasa, 06-September-2005, 08:55:46    
     
     
            Oleh: Ahmad Erani Yustika 
     
     
      Persoalan kenaikan harga minyak dunia dan kurs rupiah yang terus melemah 
terhadap dolar belakangan ini membuat panik pemerintah. Penyebabnya jelas. 
Penurunan kurs rupiah telah menguras keuangan negara, khususnya untuk membiayai 
subsidi BBM. 

      Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah pada 31 Agustus 2005 
mengumumkan paket kebijakan ekonomi yang diharapkan bisa memperkuat kurs 
rupiah. Namun, sehari setelah paket ekonomi itu dikeluarkan, respons pasar dan 
pakar malah negatif sehingga rupiah semakin tertekan. 

      Sekurangnya, ada dua opini negatif terhadap paket kebijakan ekonomi 
tersebut. Pertama, kebijakan menunda kenaikan BBM merupakan langkah keliru 
karena berarti pemerintah membiarkan anggaran negara kian keropos. Kedua, paket 
kebijakan itu tidak menyentuh persoalan fundamental ekonomi politik negara ini, 
yaitu kredibilitas pos menteri ekonomi yang rendah. 

      Melacak Pasar 
      Jika pasar menyikapi negatif terhadap paket kebijakan ekonomi pemerintah, 
pertanyaan sentralnya, siapakah sebetulnya yang dirujuk sebagai pasar itu? 
      Pertanyaan tersebut susah dijawab, karena pasar bukan sekadar lokasi dan 
ruang untuk melakukan transaksi atau tempat orang berkerumun menjual dan 
membeli barang, persis seperti di mal ataupun pasar tradisional. 

      Pasar, jika dimaksudkan sebagai kekuatan yang bisa mempengaruhi kebijakan 
pemerintah, tidak lain merupakan sekawanan modal yang dapat mengubah 
konfigurasi neraca keuangan perusahaan maupun negara dengan sekali paraf. Pasar 
jenis itu memang tetap menyimpan definisi dasar dari ilmu ekonomi, yaitu 
terjadi transaksi. 

      Namun, ada yang luput kita kupas. Pasar, dalam pengertian yang terakhir, 
juga mempunyai kekuasaan untuk mendikte pemilik otoritas (baca: pemerintah) 
agar mengambil kebijakan yang menguntungkan dirinya, entah laba ekonomi ataupun 
politik. 

      Dalam konteks penurunan mata uang rupiah itu, secara ekonomi ada dua sisi 
yang bisa dianalisis. Pertama, melemahnya rupiah berarti relatif terjadi 
penguatan daya produk nasional di pasar internasional. Artinya, kesempatan 
tersebut dapat digunakan pemerintah untuk meningkatkan ekspor sehingga bisa 
menambah penerimaan negara (devisa). 

      Sayang, isi kebijakan tersebut kurang bersinggungan langsung dengan 
penguatan ekspor sehingga wajar bila pasar menolaknya. Mestinya, kebijakan 
ekonomi pemerintah mengarah pada upaya peningkatan perdagangan itu, antara 
lain, melalui subsidi ekspor atau penurunan tarif impor bahan baku. 

      Namun, hingga di sini ada yang aneh dari tuntutan pasar, yang justru 
mengharapkan kenaikan BBM tidak ditunda. Hipotesis positif yang bisa diajukan, 
pasar menghendaki kenaikan BBM untuk memberi sinyal kepada pemerintah agar 
memperbaiki instrumen fiskalnya sehingga tidak merembet ke sektor moneter. 

      Kedua, melemahnya rupiah di sisi lain meningkatkan subsidi pemerintah, 
khususnya BBM. Dengan asumsi tidak ada perubahan harga minyak dunia dan harga 
BBM domestik, subsidi BBM diperkirakan membengkak dari semula Rp70 triliun 
menjadi Rp140 triliun atau meningkat 100 persen. 

      Dalam situasi kapasitas anggaran negara yang terbatas, tentu masuk akal 
bila pasar menghendaki pemerintah untuk meningkatkan harga BBM. Tanpa bermaksud 
terjebak dalam soal pro-kontra terhadap kenaikan harga BBM, ada yang aneh 
terhadap tuntutan pasar kali ini. 

      Argumentasinya sederhana, salah satu pihak yang akan terkena getah dari 
kenaikan harga BBM adalah pelaku pasar. Kenaikan harga BBM berarti memicu 
kenaikan ongkos produksi sehingga juga memacu harga jual barang. 
      Selanjutnya, dalam kondisi daya beli masyarakat yang terus merosot, 
produksi tersebut dipastikan tidak akan diserap pasar. Ujungnya, pasarlah yang 
akan dirugikan. 

      Political Rent-seekers 
      Jadi, dengan mencermati dua keganjilan itu, sebetulnya siapakah yang 
dimaksud dengan pasar? Kecurigaan itu sebetulnya sudah lama, namun kali ini 
mungkin merupakan momentum yang bagus untuk mengungkap kasus tersebut. 
      Ada dua fakta yang bisa dipakai sebagai bahan investigasi. Pertama, isu 
perombakan kabinet bukan cuma datang dari politisi, tapi juga dari pasar yang 
diperkirakan akan memetik keuntungan atas perubahan konfigurasi kabinet. Inilah 
yang saya sebut sebagai political rent-seekers. Yakni, pelaku ekonomi yang 
bermain pada wilayah politik untuk memperoleh keuntungan ekonomi. 

      Secara pribadi, saya sepakat bahwa kredibilitas pos kementerian ekonomi 
saat ini jauh menurun dibandingkan dengan pendahulunya, terutama pos menteri 
keuangan dan koordinator perekonomian. 

      Namun, menempatkan isu itu di atas kepentingan penciptaan kebijakan 
ekonomi yang rasional tentu merupakan jalan sesat. Tepat pada titik inilah, 
saya ingin mengatakan, bahwa pasar yang disebut-sebut itu sebenarnya kekuatan 
maya yang tidak hanya memiliki agenda ekonomi. 

      Kedua, kali ini dengan nyali yang besar kita harus berani untuk menerima 
kemungkinan bahwa pasar tersebut adalah pengusaha yang memborong dolar dan 
berkepentingan untuk mengeruk keuntungan, apabila pemerintah salah mengambil 
kebijakan. 

      Dolar mulanya dibutuhkan karena alasan standar, membayar utang atau impor 
bahan baku. Namun, begitu mereka melihat ekspektasi dolar yang terus menguat, 
naluri untuk memetik profit lantas muncul. 
      Dolar diborong, kemudian saat nanti rupiah benar-benar terpuruk, baru 
dolar dilepas. Lewat permainan seperti itulah, mereka akan mendapatkan 
keuntungan tanpa susah payah. 

      Celakanya, pelaku pasar itu sangat mungkin berpilin-pindan dengan pusat 
otoritas, karena saat ini sulit untuk membedakan antara pengusaha dan penguasa. 
Dalam banyak contoh, keduanya bisa menumpuk dalam satu figur. 
      Berpijak dari deskripsi tersebut, pemerintah jelas harus berhati-hati 
mengambil langkah kebijakan selanjutnya. Pesan pentingnya, setiap kebijakan 
ekonomi selalu memiliki biaya yang harus ditanggung (trade-off). Pemerintah 
harus merumuskan dengan baik, kebijakan mana yang paling sedikit menimbulkan 
korban. Jadi, be careful, Mr Pesident!(jpnn) 

      *) Ahmad Erani Yustika PhD. Direktur eksekutif ECORIST (The Economic 
Reform Institute) dan dosen Jurusan IESP FE Unibraw, Malang. 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/ons1pC/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke