http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/08/index.html


SUARA PEMBARUAN DAILY 
Dialog sebagai Kritisisme Beragama
 

Rumadi 

BERBAGAI peristiwa keagamaan yang belakangan terjadi, seperti penutupan secara 
paksa atas sejumlah gereja di Jawa Barat oleh kelompok agama tertentu, 
merupakan penanda yang sangat eksplisit, betapa kehidupan keberagamaan sedang 
dirundung masalah. 

Kondisi bangsa ini, terutama menyangkut hubungan antar agama, benar-benar dalam 
kondisi sakit. Dalam situasi demikian, pendewasaan kehidupan beragama dengan 
mengedepankan kejujuran dan semangat saling menghargai merupakan kata kunci. 
Dengan semangat kejujuran itu, problem perjumpaan dan dialog menjadi hal yang 
sangat penting. 

Seorang kawan aktifis dialog antar-agama pernah menceritakan pengalamannya. 
Suatu ketika dia mengundang tokoh-tokoh agama lokal di Jawa Barat. Dalam forum 
tersebut tokoh-tokoh agama akan diajak berdiskusi tentang berbagai hal 
menyangkut kehidupan umat beragama di wilayah tersebut. 

Di tengah-tengah istirahat, tiba-tiba se- orang ustadz mendekat dan berbisik 
kepada kawan tadi. Dengan jujur, dia mengatakan, "Mas, seumur-umur baru 
sekarang saya duduk satu meja dengan orang Kristen". 

Cerita ini menunjukkan, perjumpaan antar-tokoh-tokoh agama di daerah merupakan 
problem serius. Jarangnya perjumpaan di antara mereka karena berbagai alasan, 
tidak jarang problem kehidupan di antara mereka hanya menjadi bisikan dan 
prasangka. Adanya forum-forum lintas agama tingkat lokal yang diprakarsai oleh 
simpul-simpul masyarakat sipil sangat bermakna untuk mencairkan kebekuan dan 
kecanggungan di antara tokoh-tokoh agama. 

Menurut saya, problem dialog agama sebenarnya lebih terletak pada "lapisan 
menengah", daripada elite atau masyarakat lapisan bawah. Lapisan menengah yang 
saya maksud adalah lapisan agamawan yang senantiasa mengomunikasikan 
pesan-pesan keagamaan secara langsung kepada masyarakat, seperti khatib dan 
da'i dalam lingkungan Islam. 

Kelompok inilah sebenarnya yang menentukan karakter keagamaan masyarakat. Kabar 
kebencian agama biasanya dimunculkan oleh lapisan ini. Sedangkan lapisan elite 
biasanya sudah lebih cair hubungan-hubungan diantara mereka. 

Menurut Hans Kung (1983), seorang teolog Katolik yang dipecat secara yuridis 
setelah missio canonica (hak resmi dari Vatikan) untuk mengajar doktrin Gereja 
Katolik dicabut karena apa yang diajarkan dinilai tidak sesuai lagi dengan 
semangat ajaran Katolik, dialog agama akan mempunyai makna jika di dalamnya 
terkandung tiga aspek. 

Pertama, hanya jika kita memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus, dan 
simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain 
secara sungguh-sungguh. 

Kedua, hanya jika kita memahami kepercayaan orang lain, kita dapat memahami 
iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi 
yang konstan dan yang berubah. 

Ketiga, hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita 
dapat menemukan dasar yang sama -meskipun ada perbedaannya-untuk menjadi 
landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai. 

Dengan memperhatikan proposisi Hans Kung tersebut, dialog tidak hanya berhenti 
pada ko-eksistensi, tapi juga pro-eksistensi; tidak hanya membiarkan orang lain 
ada yang terkenal dengan istilah toleransi, tetapi juga ikut mengadakannya 
secara aktif serta menumbuhkan sikap empati dan simpatik kepada "orang lain". 

Dialog ini memang memerlukan sikap terbuka daripada defensif, semangat mau 
belajar satu atas yang lain daripada merasa dirinya sudah cukup (self 
sufficient), perasaan rendah hati daripada perasaan merasa dirinya selalu 
benar, dan seterusnya. 


Perbedaan 

Ada satu adagium yang sering kita dengar dalam forum-forum dialog antar-agama, 
bahwa yang perlu dicari dalam dialog adalah persamaan-persamaan daripada 
perbedaan-perbedaan. 

Dengan ditemukannya titik temu persamaan, orang yang berbeda agama akan bisa 
bekerja sama tanpa disibukkan dengan perbedaan-perbedaan. 

Pernyataan demikian seolah masuk akal dan menarik. Namun jika ditelusuri agak 
lebih dalam, pernyataan demikian sebenarnya menyimpan problem yang justru 
menjadi ganjalan kerja sama. 

Ada beberapa asumsi di balik pernyataan tersebut. Pertama, ada asumsi bahwa 
perbedaan merupakan ancaman yang harus dijauhi. Perbedaan hanya akan 
memunculkan laknat daripada rahmat, sehingga harus disingkirkan, setidaknya 
"pura-pura" tidak tahu. 

Kedua, orang yang berbeda dan tahu akan perbedaannya itu dianggap tidak bisa 
kerja sama, sehingga perbedaan harus dilipat dan disimpan. Sedangkan yang perlu 
diangkat ke permukaan adalah persamaan, karena inilah yang bisa dijadikan basis 
untuk kerja sama. 

Ideologi dialog agama seperti ini, menurut saya, sangat berbahaya karena 
menyimpan api dalam sekam. Dialog demikian seolah-olah memang ingin 
menyelesaikan masalah meskipun sebenarnya bukan memecahkan masalah, tapi 
sekadar lari dari masalah. 



Padahal titik akhir dari dialog, menurut saya, bukan selalu mencari persamaan 
tapi adanya kesadaran posisi orang lain dan diri sendiri. Setiap orang, secara 
naluriah, pasti akan lebih siap hidup dalam persamaan daripada dalam perbedaan. 

Oleh karena itu, yang perlu didialogkan adalah perbedaan, bukan persamaan. 
Mengapa? Karena yang menjadi masalah dalam kehidupan beragama adalah karena 
"perbedaan" bukan "persamaan". Oleh karena itu, kalau persamaan yang selalu 
didialogkan maka akan tahshîl al-hâshil (menghasilkan sesuatu yang sebenarnya 
sudah berhasil). 

Namun, harus ditegaskan bahwa perbedaan didialogkan bukan sekedar mencari 
persamaan, namun yang lebih penting dari itu adalah menyadari dan memahami 
perbedaan sebagaimana apa adanya seraya memahami posisi masing-masing. 

Menyadari posisi masing-masing bukan berarti sekadar "pembiaran" adanya "yang 
lain", tapi juga "pengakuan" dan "penghargaan". Sampai di sini sebenarnya saya 
sudah memasuki inti dari tulisan ini, yaitu bagaimana menjadikan dialog sebagai 
medium untuk mengasah kritisisme dalam beragama. Pengakuan dan penghargaan 
sebenarnya menuntut orang untuk kritis, bukan saja terhadap "orang lain", 
tetapi juga untuk dirinya sendiri. 


Secara Berimbang 

Kritis terhadap orang lain dan diri sendiri ini harus dilakukan secara 
berimbang. Orang yang terlalu berat pada kritis terhadap orang lain tanpa 
diimbangi kritis pada diri sendiri akan cenderung menjadikan orang bersikap 
ofensif dan menutup diri. 

Sedangkan sikap sebaliknya, terlalu berat kritis pada diri sendiri dan tidak 
kritis terhadap yang lain akan menjadikan kita terjatuh pada sikap naif karena 
menjadikan kita tidak yakin pada identitasnya sendiri. 

Dengan melakukan perimbangan antara kritis kepada (agama) orang lain dan diri 
sendiri, akan memunculkan sikap bahwa tidak ada yang perlu dibela mati-matian, 
dan tidak ada yang perlu dibenci habis-habisan. 

Hal ini memang bukan perkara mudah, karena kritis kepada diri sendiri 
mengandaikan sikap terbuka dalam melihat sejarah dan doktrin agamanya. 

Sedangkan kritis terhadap orang lain mengandaikan sikap proporsional dalam 
melihat "orang lain" yang diikuti dengan ketulusan dan kejujuran. 

Oleh karena itu, menempatkan dialog sebagai fungsi kritis tidak terlepas dari 
sikap untuk mencari kebenaran secara terus menerus. Kebenaran bukanlah sesuatu 
yang, dalam istilah Hans Kung, "ready made". Kebenaran bukanlah barang-barang 
yang dijejer di super market yang bisa dipilih dan diambil di saat kita 
membutuhkannya. 

Kebenaran menampakkan dirinya dalam hidup, sejarah, dan relasi dengan orang 
lain, dalam pergulatan hidup yang dinamis dengan segala ambiguitasnya. 
Kebenaran tidak identik dengan doktrin dan tradisi (St Sunardi, dalam Dialog 
Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian Interfedei, 1993). 

Dalam kerangka itulah, kritik wacana agama seperti ditawarkan Nasr Hamid Abu 
Zaid menjadi penting untuk dipertimbangkan. Dialog tanpa disertai kesediaan 
untuk melakukan kritik diri tidak akan ada gunanya. Dalam kaitan ini, kritik 
wacana agama menyediakan perangkat untuk melakukan kritisisme tersebut. * 


Penulis adalah Pjs Direktur Eksekutif The Wahid Institute Jakarta, Dosen Fak 
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 


Last modified: 8/9/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke