MEDIA INDONESIA
Jum'at, 09 September 2005


Agama, Radikalisme dan Terorisme
Benny Susetyo, Forum Diskusi Media Group


AGAMA dan terorisme menjadi diskusi yang selalu hangat di bulan September, 
terutama setelah terjadi tragedi 11 September di New York, bahkan juga di 
Indonesia dan beberapa kawasan lainnya. Apalagi, hari ini, setahun yang lalu 
bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta 
Selatan.

Dalam dasawarsa terakhir ini, kita menyadari agama telah kehilangan kekuatan 
utuhnya untuk memberikan kontribusi menyelesaikan berbagai persoalan 
kemanusiaan yang ada. Salah satu sebab yang selalu dirujuk, konsentrasi agama 
untuk melakukan pemberdayaan umat dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan 
terpecah karena isu besar terorisme yang begitu kuat menyita perhatian.

Akibat fakta terorisme ini, bahkan agama telah kehilangan pesonanya sebagai 
salah satu pilar utama perubahan sosial (social change) yang lebih progresif 
dan positif. Atas nama agama pula terorisme dijalankan dengan penuh kebencian. 
Dan gelombang terorisme ternyata belum selesai kendati tragedi black September 
di New York sudah diacu oleh seluruh komunitas pencinta damai di dunia ini 
untuk memerangi kaum teroris. Perlahan tapi pasti terorisme mulai menemukan 
lahan-lahan baru untuk mengacaukan keadaan.

Setiap ditemukan cara untuk menangkalnya, saat itu pula diperkenalkan modus 
operandi baru terorisme. Keduanya saling berlomba untuk bergerak mendahului dan 
sering sama-sama menghancurkan. Yang menjadi korban adalah mereka para pecinta 
kedamaian.

Mereka inilah yang sering terenggut nyawanya bukan karena dosanya. Selain itu, 
mereka yang belum menjadi korban, terus-menerus dihantui kecemasan satu saat 
menjadi korban. Dengan begitu terorisme berhasil membuat rencana-rencana 
perdamaian menjadi kecemasan. Pengeboman dua kali di London sepekan ini dengan 
demikian bukan saja berhasil membuat warga London mengalami ketakutan, tapi 
juga manusia seantero jagat yang masih waras.

Di sisi lain genderang perang terhadap terorisme juga tidak kalah 
menyeramkannya dengan terorisme itu sendiri. Atas nama perdamaian mereka sering 
bertindak ngawur dan tidak jarang justru bertindak di luar batasan nilai-nilai 
kemanusiaan.

Perang terhadap terorisme tidak jarang menghadapi tuduhan sebagai 'terorisme 
yang lain'. Terutama ketika cara-cara yang digunakan adalah 'sekadar 
mendiskreditkan' dan main 'kambing hitam'. Belum terlalu disadari rahasia 
bagaimana memerangi terorisme dengan mempelajari apa yang menjadi penyebab 
terorisme. Belum terlalu dipahami akar-akar terorisme dan bagaimana 
menyelesaikannya dengan cara damai.

Atas persoalan utama yang dihadapi dunia dewasa ini, agama di samping telah 
kehilangan pesonanya juga harus ikut campur lebur dalam meredam aksi-aksi 
terorisme.

Agama dan kaumnya akhirnya kesulitan membaca, memetakan, dan memecahkan 
persoalan sesungguhnya yang dihadapi. Kemiskinan bertambah parah, kekuatan 
politik semakin menjadi-jadi menjadikan agama sebagai kuda tunggangan 
kepentingan, kekuatan ekonomi lalu menjadikannya sebagai komoditas, melebarnya 
jurang kesenjangan antara kaum 'punya' dan 'tidak punya', dan seterusnya.

Terorisme berhasil membajak semangat keberagamaan dan keberagaman untuk 
kepentingan penghancuran kemanusiaan. Mereka menjadikan produk kebudayaan 
manusia secara fisik sebagai sasaran penghancuran. Dialog agama, bagi teroris, 
bukan sesuatu yang dibutuhkan untuk menjadikan wajah agama lebih manusiawi dan 
inspiratif bagi batin manusia.

Ketika agama dibajak untuk kepentingan kekerasan, dan kekerasan itu sendiri 
dilegalkan atas nama agama, maka agama cenderung menjadi alat pembenaran dari 
segala tindak tanduk di luar nalar kemanusiaan yang sehat.

Kaum teroris menjadikan agama sebagai sesuatu yang malah tidak bernalar, serta 
menjadikan agama sebagai biang keladi kekerasan.

Di sini kita ingat apa yang dinyatakan Mayer. Di semua agama tersimpan potensi 
kekerasan. Agama akan menjadi biang keladi kekerasan bila teks dalam kitab 
sucinya tidak dibaca sungguh-sungguh sesuai konteksnya. Hal ini membuat wajah 
agama berubah menjadi monster bagi manusia atau penganutnya sendiri.

Walaupun sudah disadari bahwa agama diturunkan di muka bumi untuk memainkan 
peranan sebagai sarana menuju yang Ilahi. Walaupun pula sudah disadari bahwa 
panggilan yang mendasar dari agama adalah untuk membangun peradaban kemanusiaan.

Realitasnya, agama sering kali terjebak pada dimensi ritual dan melupakan 
panggilan dasarnya, yakni mengabdi pada kepentingan kemanusiaan. Ini merupakan 
tantangan bagi agama untuk berani melakukan introspeksi diri sejauh mana agama 
berperan dalam menciptakan tata dunia baru yang lebih berkeadilan.

Harus disadari bahwa persoalan terorisme tidak hanya lahir dari radikalisme 
umat beragama yang salah menafsirkan teks. Lebih mendasar lagi adalah karena 
tata dunia yang tidak adil dan berkeadilan. Ini secara pasti menyebabkan 
radikalisme beragama tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Radikalisme tumbuh karena tatanan yang tidak adil yang menyebabkan kemiskinan. 
Kemiskinan inilah yang membuat manusia kehilangan harapan dan kehilangan akal 
sehat dalam beragama.

Radikalisme dengan demikian dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk 
melarikan diri dari frustrasi kehidupan karena impitan sosial dan ekonomi. 
Terutama, faktor ini cukup menyuburkan radikalisme di kalangan negara miskin 
yang semakin dimiskinkan.

Dalam konteks ini dialog agama tidak cukup hanya pada level saling pengertian 
atau sekadar pemahaman akan perbedaan. Hal yang lebih mendasar adalah bagaimana 
agama mampu memainkan peranan untuk setia pada panggilannya, yakni menjaga 
martabat kemanusiaan.

Budaya konsumerisme di kalangan masyarakat juga semakin memperluas jurang 
kesenjangan antara kaum miskin dan kaya. Mereka yang berada dalam posisi tawar 
besar bisa memainkan kebijakan publik agar tak lagi perlu memerhatikan kaum 
miskin.

Ekonomi dijalankan tanpa lagi memerhatikan etika. Yang dituju hanya mengejar 
keuntungan sebesarnya. Ini semua membuat kehidupan ini menjadi hampa 
solidaritas. Manusia hanya sibuk memikirkan kepentingan pribadinya semata-mata 
tanpa mau melihat realitas sekitarnya, sebagaimana terorisme yang menjalankan 
tindakan penghancuran tanpa memikirkan berapa korban tak berdosa yang akan 
bergelimpangan.

Terakhir harus kembali disadarkan, terorisme bukan semata-mata masalah agama, 
melainkan masalah seluruh umat manusia dalam berbagai aspek. Perlu dicari titik 
pandang bersama untuk merumuskan ulang bagaimana dunia ini harus ditata ulang. 
Di samping tugas berat ini yang perlu dipikirkan oleh elite-elite agama saat 
ini, juga menjadi bagian tak terpisah dari komponen lainnya.***

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery.
http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke