Aku ingin menjadi istrimu* Asma Nadia
"Bang, aku ingin menjadi istrimu," pintaku pelan. Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit. Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku. "Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang." Mama, seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah orang yang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik. Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali. Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di kantor. Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti. Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya? "Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja Abang mau. Tak usah sungkan." Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan Mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus. "Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu." Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orangtuaku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang kukelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak pernah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku. ***** "Aku ingin jadi istrimu, Bang." bisikku lagi. Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian. "Pagi-pagi begini sudah buka?" Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya. "Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?" Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi? Biarlah, yang penting aku bisa membahagiakan Bandi. Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah, pengamatan yang sedetil itu, sungguh memalukan! pikirku terlambat. Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya. "Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang...." Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya. Wajahnya yang semangat. Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya. Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya. Bandi tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul. Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu. "Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?" Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain! Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku. "Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan." Aku tidak sedikit pun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku. Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi. Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari Papa. Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua. Tapi selalu saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir, buat seorang Nia yang pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis. Cuma Bandi;, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus, bahkan dalam kesederhanaannya. Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu, "Aku ingin menjadi istrimu," Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas. Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan. ***** "Cinta," Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan. "Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta.." Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu. Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet. "Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya." Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya. Tapi tangan itu selalu sopan, tak pernah menjamahku. "Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan." Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu. Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta menghormati? "Bang, aku ingin menjadi istrimu," bisikanku mulai bercampur isak. Ahh, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling menyinta harusnya saling memahami, hanya dengan memandang? Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang. "Kak Nia, maafkan Ita." Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dalam diam di bantalku. Lalu Riza, Nina, dan terakhir.. "Kak, Linda minta maaf." Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini. Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah Mama dan Papa telah letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung. Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan Mama dan Papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya.bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah. Bandi tak berubah sedikit pun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian. Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku. Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah? Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu. "Bang, aku ingin menjadi istrimu," kataku pelan dengan air mata meleleh. Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku.. Lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu? "Bikin kue apalagi sepagi ini, Nia?" Aku tak menjawab pertanyaan Mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat. Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda. Bersyukurlah, dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki. Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan. Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga azan Subuh bergema, aku tak melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya. Perasaan panik serta-merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu. Tapi, kecuali aku, sepertinya tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu. Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasi pun yang bisa kutelan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tidak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku. Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu mendapatkan pekerjaaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku informasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku? Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yang bisa kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan! Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua! Mama dan Papa serta adik-adikku tentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki keinginan melakukan apapun. Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul. Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan dia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi. Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan. Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin. Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yang kunanti. Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang penting adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstik kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi pulang nanti. Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa kami, pada hubungan sederhana namun indah yang selama ini terjalin. Ia juga pasti rindu dengan kue-kueku. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tak lagi membuat kue-kue dan menaruhnya di toples, untuk Bandi? Maka sejak hari itu, telah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu tanpa kue-kue baru yang kubikin. Bukankah sebentar lagi tahun baru tiba, dan Bandi mungkin akan pulang? Ketika tahun baru lewat, dan aku menunggui Bandi di depan pagar rumah kami hingga kedinginan, Mama menyelimuti tubuhku yang menggigil dengan selimut. Tapi aku tetap menunggu. Mungkin Bandi akan pulang ketika musim liburan. Mungkin bulan puasa tahun depan. Hmm, tidak! Aku tersenyum. Bandi akan pulang lebaran tahun depan, pasti! Pikiran itu membawa langkahku ke ruang dalam. Bukan ke kamar seperti harapan kedua orang tuaku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yang akan menungguku sampai Bandi pulang nanti. Membuat kue-kue kesukaan lelaki tercinta itu. Juga baju baru. Sambil tanganku sibuk mengaduk adonan tepung terigu bercampur gula, keju dan entah apa lagi, pikiranku mengembara. Mengenang Bandi. Betapa rindunya. Besok dan besoknya lagi, kesibukan yang sama menungguku. Kue-kue dan jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap ketika Bandi pulang. Aku ingin rapi, ingin cantik. Sedikit pun tak ada kesangsian akan kesetiaan Bandi padaku. Meski terdengar kabar Bandi telah menikah, atau Bandi sudah betah di luar negeri dan tak ingin kembali, aku tak pernah percaya. Suatu hari Bandi akan pulang dan memenuhi permintaanku untuk menjadi istrinya. Seperti yang selama ini selalu kubisikkan dalam hatiku menjelang tidur. "Bang, aku ingin menjadi istrimu." Dan aku tahu, Bandi mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku. Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. (Bukan begitu Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis. Cinta.. * diambil dari kumpulan cerpen: Aku Ingin Menjadi Istrimu, Asma Nadia dan Birulaut, Lingkar Pena 2004 (banyaknya permintaan akan kelanjutan kisah Nia dan Bandi, mendorong penulis utk membuatkan bagian kedua kisah aku ingin menjadi istrimu ini, saat ini sudah beredar, dan bisa ditemukan dalam kumpulan cerpen pernikahan : Jadilah Istriku, Asma Nadia dan Birulaut, Lingkar Pena 2005) ----- Original Message ----- From: "Asma Nadia" <[EMAIL PROTECTED]> Assalamu'alaikum, Aku Ingin Menjadi Istrimu (AIMI) digugat. cerpen tersebut menurut seorang pembaca, dikatakan mengajak pembaca lain mengkhayal, tentang seorang perempuan yang semua waktunya seolah2 untuk Bandi, bukankah itu tidak syar'i? Pembaca tsb juga menjelaskan bahwa tokoh wanita di sini memerankan seorang wanita yang tidak baik dan cenderung kegatelan dan cengeng. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas seorang saudara di milis yang telah mengirimkan kritik tsb kepada saya. kritik tanda peduli, kritik karena merasa saudara:) Jazakallah. Karena cerpen tsb saya posting di sini sebelumnya, maka saya jelaskan sekalian, gak apa ya? sebab imel itu membuat saya berpikir, barangkali ada pembaca lain yang juga bertanya2, tetapi sungkan utk melayangkan imel langsung kepada saya. Penafsiran saudara saya tersebut tentulah sah-sah saja. sebab sebuah karya ketika sampai ke tangan pembaca, maka pembaca berhak memiliki macam2 interpretasi. biasanya interpretasi ini juga terkait dengan latar belakang, wawasan keislaman, dan terkadang HARAPAN pembaca terhadap buku yang dibacanya. Benarkah AIMI mengajak pembacanya utk berkhayal? Benarkah AIMI hanya menjual romantisme tanpa nilai? Cerpen tersebut kebetulan saya yang menulis. Berawal dari sebuah kisah sejati yang dialami seorang muslimah berkerudung. Sejak SMA muslimah ini sudah menyukai seorang ikhwan (eh ini jamak sbtlnya, ya...tp saya mengacu dalam konotasi umum saja, maksudnya al akh:)). dan rasa suka itu dipendamnya dalam-dalam, tanpa seorang pun tahu. Ketika lulus, harapan si muslimah tidak tambah surut, melainkan tambah parah. Mulai bercampur angan dsbnya. Setiap hari si muslimah memakai bedak yang makin lama makin tebal, lalu sibuk membuat kue2, takut jika sewaktu2 si ikhwan datang ke rumahnya. Meskipun ikhwan tsb bisa dibilang jarang sekali, apalagi setelah lulus main ke rumah muslimah ini. lama2 orang tuanya si muslimah khawatir bahkan mendatangi rumah ortu si ikhwan, bertanya, sbtlnya sudah sejauh apa hubungan mereka berdua, kenapa si muslimah lekat betul perasaannya kepada si ikhwan. padahal si ikhwan sama sekali tidak tahu, apalagi suka terhadap si muslimah. Itulah latar belakangnya. tentu saja dlm AIMI telah dicampur dengan imajinasi. Rasa suka saya kira hal yang fitrah. Bagaimana memenejnya, adalah hal yang lain lagi. Kemampuan yang gak semua orang miliki, terutama mereka yang tidak memiliki kepribadian yang matang, dus pemahaman keislaman yang baik. ini harus kita sadari. Kekhawatiran saya, bahwa hal tsb ternyata terjadi bahkan di kalangan akhwat, yang mendorong saya menulis cerpen AIMI. akhwat aja bisa begitu (ya lah...akhwat kan juga manusia, soal ikut ngaji soal yang lain, tp iman pun naik turun, keistiqomahan bukan hal yang mudah dilakukan), apalagi yang memang umum sekali tentang islam? ini bahaya saya pikir. Meski begitu, dalam AIMI rasa suka tersebut saya gambarkan sangat halus, jadi sebetulnya kalau dibilang ceweknya kegatelan, saya gak setuju. sebab si cewek tidak pernah bertindak lebih selain membuat kue, dan diskusi buku. cinta yang sederhana dengan harapan yang sederhana, tp makin lama makin terakumulasi. bahkan dlm cerpen tsb tetap saya tidak membiarkan adanya adegan persentuhan fisik. si cewek malah gak pernah juga ngomong cinta... padahal tokoh2nya orang biasa saja (tidak saya gambarkan aktivis islam atau apa, hanya orang2 yang cukup baik, masih punya rasa malu, cowoknya punya prinsip). jadi perkembangan kejiwaan tokoh perempuan, dalam hal ini terkait logika cerita, tentu harus memerhatikan karakter dan latar belakangnya. Jadi tetap saya berusaha menggambarkan perasaan cinta NIa dengan halus. Sekalipun tokoh2nya adlah tokoh yang umum saja. sampai cerpen selesai, saya tidak mengatakan apakah NIa mengenakan kerudung? apakah Nia aktif pengajian? Lantas salahkah jika pengarang menggunakan tokoh2 yang tidak melulu islami, karena memang demikianlah kemajemukan masyarakat kita, dalam upaya pengarang menyampaikan misinya? Penuturan saya berikutnya bukan bermaksud membela diri. Saya hanya masuk ke hal yang lebih esensi. bagaimana pengarang sebetulnya bebas menggunakan berbagai tokoh, bahkan pelacur, penjahat, pemerkosa, dll, bahkan dalam fiksi islami. karena kalau tidak, maka bagaimana kita bisa bersinggungan dengan dunia2 yang lebih gelap? Ini kayaknya masuk lagi ke pembahasan fiksi islami yang tempoe doeloe pernah dibahas di milis ya? Femmy mungkin udah bosan:P Sebetulnya di mana sih letak keislamian sebuah karya? apakah pada tokoh2nya yang selalu tegar dan tidak cengeng, yang selalu berjilbab (utk ceweknya) dan menegakkan sholat utk cowoknya, mungkin juga bersorban dan bergamis? atau fiksi islami disebut demikian karena muatan yang ada di dalam ceritanya? fiksi islami mana yang ingin kita capai? fiksi islami gincu (ini istilah pak taufik ismail), yang bertebaran simbol2 saja, seperti sinetron kebanyakan sinetron ramadhan kita, tanpa esensi nilai. atau fiksi islami, terlepas apa perangkatnya, selama tidak vulgar (dan mengajak pada pornografi), dan memiliki nilai pencerahan? fiksi yang terasa asinnya, rasanya, islamnya, sekalipun tidak bermain pada simbol. Lalu utk AIMI, di manakah asinnya? rasa keislamannya? dulu sekali jika saya bermaksud mengangkat kisah spt ini, maka barangkali saya akan menggunakan dua tokoh. 1 berjilbab baik, satu lagi wanita umum yang tergila2 hingga gila beneran karena cintanya tak sampai. pada endingnya si muslimah berjilbab akan menasehati, begini lho sebetulnya akhlak islam itu... lalu mengalirlah hikmah lewat kalimat2 verbal dan padat petuah, yang sering dicap remaja 'menggurui'. tp sejak lama, saya sudah berusaha utk tidak menulis dengan tokoh2 hitam putih. sebab sebagai sebuah karya yang mudah2an mengajak pada kebaikan, saya ingin karya saya tidak terbatas hanya dibaca oleh orang2 yang sudah baik, aktivis pengajian, mungkin? atau rohis? atau muslimah daiyah. saya ingin karya saya bisa dibaca oleh semua orang. sehingga jka ada kebaikannya, mudah2an menyentuh banyak orang dengan kondisi keislaman yang heterogen. bahkan tidak menutup kemungkinan dibaca non muslim. tp komitmen saya ada pada nilai pencerahan, dan tidak memuat esek2. ini saya pegang betul. insya allah. dan yang ingin saya sampaikan dalam aimi adalah, betapa dahsyatnya akibat cinta yang tidak dimenej dengan baik, sehingga bisa membuat seorang Nia kehilangan kewarasannya. fenomena yang bertebaran di masyarakat kita sbtlnya. gara2 cinta jadi rela mengorbankan kehormatan, gara2 cinta jadi gila bahkan bunuh diri. gara2 cinta... cerita yang harusnya membuat kita berpikir, apa sih yang sudah diberikan si bandi? sehingga nia bisa merelakan kewarasannya? lapa yang telah diberikan oleh orang yang kita cinta?... kadang malah nothing. setidaknya kalau dicompare dengan apa yang sudah allah berikan kepada hambaNya, sebagai kekasih sejati. dan kegilaan itu saya gambarkan (setidaknya saya berusaha menggambarkannya) sedemikian sehingga muslimah saya harap akan berpikir, " parah sekali kondisi Nia, hal kayak gini gak boleh terjadi sama saya!" yang laki2 mungkin akan berpikir (ini harapan pengarang, lagi ), Bandi gak ngapa2in aja bisa dige erin...kalau gitu ana mesti lebih hati2 dan jangan sampe tebar2 pesona! Begitu banyak hati di sekitar kita. dan kita gak benar2 tahu, hati2 mana yang telah terkotori, oleh sikap2 kita. begitulah meski harapan pengarang gak selalu sampai ke semua pembaca. mungkin ini keterbatasan saya. saya memang harus lebih banyak belajar lagi. meski alhamdulillah saya juga menerima sms, email, dan tanggapan positif yang diambil muslimah setelah mereka membaca karya ini. di luar AIMI, dalam buku itu masih banyak kisah2 yang insya allah mengandung hikmah, ada kisah istri yang ngambek dan bingung bagaimana menyampaikan ke suaminya ketidaksukaannya terhadap sikap sang suami? ini masalah komunikasi. suami /istri cuma manusia, bukan malaikat apalagi Tuhan yang selalu tahu apa yang ada di hati kita. ada juga sebuah cerpen yang merupakan kritik terhadap laki yang sudah menikah, dan mengeluh karena penampilan istrinya yang dianggap gak tren, dan membandingkannya dengan istri2 lain dari teman2nya yang cantik. padahal bagaimanakah usia menguap? bagaimanakah hilangnya kemudaan dan kesegaran sang istri kalau bukan karena tahun2 perkawinan? tahun2 meladeni anak2 dan suami penuh bakti? ada juga cerpen tentang seorang anak yang menduga ayahnya yang telah meninggal berselingkuh. apa yang harus dilakukan? perlukah menyampaikan pada mama? kapankah harus menuruti kata hati? benarkah kata hati sll mengajak pada kebenaran atau pembenaran? di mana letak penasaran, keingintahuan? sebuah cerpen dlm AIMI juga bercerita tentang seorang istri yang modis hingga kebablasan, atau kerinduan seorang ayah utk membelikan rumah buat anaknya. bagi sebagian orang hal itu gampang saja... tp bagaimana bagi orang2 kecil? yang pendapatan sebulan, sudah habis seblm tengah bulan? Yang penting lagi, dalam rangka memperkuat hikmah itu, dan permintaan dari pembaca, saya berusaha membuat sambungan cerita Aku Ingin Menjadi Istrimu. Kelanjutan kisah Nia dan Bandi akan bisa dilihat dalam cerpen, Sebab Cinta Belum Selesai, dalam buku "Jadilah Istriku" Insya allah mudah2an memperkuat hikmah dalam cerita tsb. salam Asma Nadia ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/