http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/21/opini/2067874.htm
Politik Anyer-Panarukan Oleh: SUKARDI RINAKIT Segala komponen bangsa mulai menggeliat. Suasana batin sudah mulai memanas seperti awal tahun 1998. Telepon saya mulai sering berdering. Ada yang dengan emosi mengatakan, kita yassin-kan saja pemerintah! Sejarah apalagi yang harus kita jalani? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus segera resume power. Siapa pun mahfum, kata yassin dalam konteks ini bermakna percepat kejatuhan pemerintah. Jika presiden terlambat melakukan konsolidasi kekuasaan, tidak tertutup kemungkinan pemerintah tidak akan sanggup menghadapi gempuran kelas menengah yang bersatu dengan massa periferal. Mahasiswa, aktivis, profesional dan lain-lain akan bersatu dengan kaum miskin kota. Seperti tujuh tahun lalu, mereka akan menghadang kenaikan harga BBM awal Oktober nanti dengan gelombang demonstrasi yang tak putus-putus. Kekuatan tersebut akan menjadi semakin dahsyat apabila militer, atas nama kesetiaan pada negara, tidak mau lagi menjadi sandaran pemerintah. Jika sudah demikian keadaannya, sehebat apa pun benteng konstitusi kita (yang hampir tidak mengenal kejatuhan pemerintah di tengah jalan karena presiden dipilih langsung oleh rakyat), pada akhirnya hanya tinggal kata-kata. Mandat yang diberikan rakyat kepada presiden ketika pemilu, tidak mustahil dianggap batal ketika mereka mulai turun ke jalan. Singkatnya, kalau Presiden SBY tidak segera menghimpun kembali kekuasaannya, tidak tertutup kemungkinan sejarah pun bisa berulang seperti tujuh tahun silam. Konsolidasi Meskipun selama ini saya bersikap kritis terhadap pemerintah, itu bukan berarti saya setuju kalau ada kekuatan yang ingin menjatuhkan pemerintah. Seperti Ikrar Nusa Bhakti (Kompas, 19/9/2005), peran kritis yang saya emban adalah untuk ikut mendorong bekerjanya sistem pemerintahan yang lebih peduli kepada rakyat. Bukan untuk ikut-ikutan menjatuhkan kekuasaan. Sejauh belum ada jaminan bahwa jatuhnya kekuasaan akan bebas dari kerusuhan sosial, mengikuti fatsoen politik lima tahunan tetap jauh lebih baik dari pada mengikuti syahwat struggle for power. Demokrasi pada hakikatnya memang menuntut kesabaran. Mencermati fenomena politik di lingkaran kelas menengah dan akar rumput dalam hari-hari terakhir, suara kekecewaan terhadap pemerintah memang mulai bergaung semakin kencang menembus sekat-sekat status sosial ekonomi seseorang. Komentar Wapres Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa pemerintah siap menghadapi resiko politik karena menaikkan harga BBM, dianggap sebagai tantangan sehingga semakin membakar suasana yang bergolak di bawah sekam. Demikian juga dengan rangkaian video teleconference yang dilakukan presiden pekan lalu dari Amerika. Aktivitas ini bukan saja dianggap sebagai pemborosan keuangan negara, tetapi juga pelanggaran janji kampanye. Waktu itu, sebagai kandidat presiden, Pak SBY memang berjanji akan membatasi kunjungan ke luar negeri dan berhemat. Karena itu, jumlah rombongan yang besar (98 orang) dan biaya teleconference yang mencapai hampir setengah miliar rupiah (setelah didiskon), tetap dianggap berlebihan. Untuk memperkecil badai politik yang akan menerjang, tidak ada pilihan lain bagi Presiden SBY kecuali segera mengonsolidasi kekuasaannya. Langkah awal tentu saja mengerem wakil presiden agar tidak banyak komentar karena hal ini bukan saja semakin memanaskan situasi, tetapi juga mengesankan lemahnya posisi presiden. Di mata publik, kewibawaan presiden sebagai pemegang mandat rakyat menjadi terpuruk. Selanjutnya, presiden harus segera melakukan reshuffle kabinet dan memilih pembantunya yang tepat (setelah terlebih dahulu mengumumkan sistem ekonomi yang dipilih dan akan diterapkan, apakah sistem neoliberal atau pasar sosial terbuka). Secara integratif, langkah-langkah tersebut harus segera diikuti secara simultan dengan upaya mendekati dan turba (turun ke bawah) ke seluruh komponen bangsa seperti militer, partai politik, pengusaha, profesional, mahasiswa, tukang ojek, dan tukang sayur. Seluruh proses pendekatan itu harus dilakukan secara jujur dan dalam suasana dialog dari hati ke hati. Pendeknya, kita butuh figur yang baik dan kepemimpinan yang kuat seperti Presiden FD Roosevelt (FDR) yang dapat mengajak rakyat Amerika melewati resesi ekonomi dan pengangguran luar biasa pada dekade 1930-an. Waktu itu FDR membangkitkan optimisme rakyat Amerika dengan pesan-pesan lewat radioâ?"karena belum ada video teleconference. Ia juga menggerakkan proyek padat karya membangun jalan-jalan raya lintas pantai Timur-Barat Amerika. Sayang SBY tak sempat menengok Monumen FDR di Washington DC waktu muhibahnya ke Amerika karena lebih sibuk membangun citranya dengan menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Webster University dan masuk Hall of Fame di Fort Leavenworth tempat ia pernah belajar. Anyer-Panarukan Tentu Indonesia beda dengan Amerika. Ketika sistem demokrasi belum terkonsolidasi seperti sekarang, kita tunggu pilpres empat tahun lagi. Siapa tahu pemerintahan SBY akan segera memperbaiki diri dan bekerja lebih keras untuk menjalankan mandat yang diberikan rakyat. Ada hal yang harus diingat oleh para komponen bangsa yang tidak sabar terhadap jalannya pemerintahan. Situasi saat ini berbeda dengan awal tahun 1998. Meskipun beban hidup rakyat semakin berat sebagai akibat kenaikan harga BBM, belum tentu realitas itu berbanding lurus dengan antusiasme rakyat untuk menjatuhkan kekuasaan. Kerusuhan sosial dan kesulitan hidup setelah tahun 1998, mengajarkan mereka untuk lebih hati-hati dalam merespons dinamika politik yang terjadi. Meskipun kondisi saat ini sulit bagi gerakan pembebasan untuk mendapatkan panggung dan basis pengikat guna menghimpun kekuatan publik seperti tahun 1998, tetapi bukan berarti pemerintah lalu menjadi seenaknya. Sejauh ini, pemerintahâ?"seperti ditulis Ikrar Nusa Bhaktiâ?"lebih menjadi akar masalah daripada menjadi solusi. Secara umum, hal itu bisa dilihat dari semakin menurunnya popularitas Presiden SBY di mata publik. Itu artinya, sejauh ini pemerintah dianggap â?gagalâ? dalam memperbaiki taraf hidup rakyat. Pengangguran meningkat, busung lapar merebak, flu burung menghantui, penyakit polio menyerang, dan anak putus sekolah berceceran. Kalau kondisi itu dibiarkan terus berlangsung, bayang-bayang Indonesia sebagai negara gagal memang sudah di depan mata (seperti tema buku Collapse karya Jared Diamond yang didiskusikan pada acara Lingkar Palmerah di Redaksi Kompas tanggal 19 Agustus lalu). Mengingat persoalan bangsa sudah menumpuk dan busuk seperti sekarang, sikap decisive presiden menjadi tuntutan mutlak. Selain itu, untuk menggairahkan kembali semangat rakyat dalam menjalani hidup sehari-hari, presiden tidak bisa lagi mempergunakan cara-cara normal. Presiden perlu pijakan historis untuk membangun kembali optimisme publik. Salah satu strategi yang bisa diterapkan untuk memperkuat presiden dalam mengonsolidasi kekuasaannya adalah dengan membangkitkan emosi massa. Jalur Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 kilometer, yang dibangun dengan kerja paksa zaman Gubernur Jenderal Daendels, dapat dijadikan panggung dan pijakan historis untuk membunuh kultur inlander kita. Bangkitkan gairah rakyat dengan program kerja padat karya di sepanjang jalan yang pernah berdarah-darah itu. Lokasi ini dapat menjadi panggung politik utama presiden untuk resume power. Dengan bendera Anyer-Panarukan tersebut, bukan berarti daerah-daerah lain diabaikan dalam program padat karya. Pendeknya, kompensasi tunai kenaikan harga BBM seperti Rp 100.000 per keluarga miskin per bulan itu tidak perlu diberikan. Semua rakyat harus bekerja untuk bisa bertahan hidup dan membangun kebanggaan diri. SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/