Assalamu'alaikum wr wb,
Di bawah ada tulisan Pak Sapto. Terus terang saya
setuju. 

Saya heran kenapa pemerintah memaksa mengimpor beras
sebanyak 250 ribu ton. Ini selain membuat Indonesia
tidak mandiri juga membuang devisa sebesar US$ 75 juta
dan membuat para petani makin terpuruk.

Pemerintah seharusnya tidak mengimpor beras karena hal
itu sangat rawan mark-up dan korupsi. Biasanya kontrak
pembelian itu kan ada "kick-back" nya.

Saya juga menulis surat kekecewan tentang hal itu.
Mudah2an pak Anton sebagai Mentan bisa membela nasib
petani dan bangsa Indonesia.

Wassalam

Dengan hormat,
Membaca berita bahwa Menteri Perdagangan akan
mengimpor beras sebanyak 250 ribu ton (250 juta kg)
saya jadi prihatin. Lebih-lebih di waktu negeri ini
dilanda krisis moneter karena rupiah melemah dan
kurangnya cadangan devisa Indonesia.

Seandainya harga beras impor berikut biaya
transportasi dan distribusi di Indonesia senilai US$
0,3 per kg, maka pemerintah harus mengeluarkan devisa
sebesar US$ 75 juta atau lebih dari 750 milyar rupiah!

Memang niat pemerintah baik, yaitu agar harga beras
tidak naik. Tapi tentu ada cara lain yang lebih baik.
Jika impor beras yang dipilih, selain kehilangan
devisa, nasib para petani juga semakin terpuruk karena
berasnya bisa tidak laku dan memburuk. Selain itu,
Indonesia semakin tidak mandiri. Untuk beras saja
harus impor dari negara lain seperti Thailand, Cina
dan Vietnam.

Sudah saatnya pemerintah membuang mentalitas impor.
Sebaiknya dana senilai Rp 750 milyar tersebut dipakai
untuk membeli beras dari petani lokal atau
mengembangkan lahan pertanian baru. Dengan cara ini,
Indonesia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Uang
tersebut bisa dipakai untuk memodali 75 ribu petani
untuk menghasilkan 750 ribu ton beras per tahun!
Dengan cara ini, mudah-mudahan Indonesia bisa seperti
negara tetangganya Thailand, Vietnam, dan China yang
bukan saja bisa mandiri, tapi juga bisa mengekspor
beras.

Dengan cara di atas, pemerintah tetap bisa mengontrol
harga beras tanpa membuang devisa. Misalkan harga
beras dari petani Rp 1.400 per kg dan harga pasar saat
ini Rp 3.000. Jika harga beras dari petani melonjak
jadi Rp 2.000 per kg, pemerintah bisa membeli harga
beras langsung ke petani pada harga Rp 1.400 hingga
2.000 per kg dan menjualnya ke pasar/rakyat dengan
harga Rp 2.500-3.000 per kg. Dengan cara tersebut,
pemerintah tetap bisa mengintervensi pasar tanpa
merugikan petani.

Demikian sekedar masukan dari saya, semoga pemerintah
mau mempertimbangkannya. Impor beras puluhan juta
dollar selain membuang devisa juga rawan mark-up dan
korupsi. Jadikanlah impor beras sebagai jalan yang
terakhir.

Rabu, 21 September 2005

Di Balik Impor Beras 

Oleh : 


Sapto Waluyo
Center for Indonesian Reform

Kebijakan pemerintah yang membuka kran impor beras
menyembulkan kepentingan tersembunyi. Dua kepentingan
yang berseberangan saling berhadapan. Kepentingan
pertama mewakili kalangan ''pengusaha'' yang ingin
mengontrol harga beras agar tetap menguntungkan bagi
mereka.

Kerena itu, melalui Perum Bulog, mereka mendesak
pemerintah supaya mencabut larangan impor beras yang
berlaku sejak Juni-Desember 2005. Kemudian, dalam
rapat koordinasi (rakor) yang dipimpin Wapres, Jusuf
Kalla, Jum'at (9/9), keinginan itu mencuat kencang.
Akhirnya, Menteri Perdagangan, Mari Pangestu,
menyetujui izin prinsip impor beras sebanyak 250 ribu
ton untuk tahun ini.

Sayangnya, rakor itu tak lengkap dihadiri pihak
berkepentingan yaitu Menteri Pertanian, Anton
Apriantono. Padahal, boleh dikata dia mewakili
kepentingan kedua, yaitu khalayak ''petani''. Anton
sedang mengikuti pertemuan menteri pertanian
negara-negara G-20 di Karachi, Pakistan. Mengapa rakor
tiba-tiba dipaksakan mengambil keputusan strategis
tanpa kehadiran menteri yang bertanggung jawab
langsung mengurus ketahanan pangan, terutama komoditas
beras? 

Mengapa Wapres yang memimpin rapat mengintrodusir
suatu agenda tertentu dengan pernyataan yang
tendensius?Di sinilah kontroversi bermula. Kira-kira,
mukaddimah rapat itu menyebutkan: ''Di Indonesia tak
boleh ada dua komoditas yang harganya naik bersamaan,
yaitu BBM dan beras. Karena itu, harus segera dicari
akal agar BBM tetap naik sesuai target Oktober nanti,
tapi harga beras harus dikontrol agar tetap terjangkau
rakyat'' (Koran Tempo, 16/9). Standar yang ditetapkan
pemerintah sebelumnya untuk harga beras adalah Rp
3.500 per kilogram. 

Karuan saja, pengantar itu direspons antusias Perum
Bulog yang diwakili Direkturnya, Widjanarko Puspoyo.
Menurut satu sumber, Bulog bahkan mendesak jatah impor
yang lebih besar, sekitar satu juta ton. Fakta bahwa
cadangan beras di masyarakat masih tersimpan 1,6 juta
ton plus cadangan pemerintah sebanyak 350.000 ton,
serta produksi nasional yang stabil 31 juta ton, untuk
sementara dikesampingkan.

Yang berlaku adalah asumsi bahwa kenaikan tarif BBM
akan mengatrol kenaikan harga barang, termasuk beras.
Akibatnya, stok Bulog akan terkuras 180.000 ton per
bulan untuk program raskin (beras bagi keluarga
miskin). Itu berarti 720.000 ton sampai akhir tahun
ini. Nah, bagaimana caranya menjaga cadangan beras
Bulog agar berada di atas satu juta ton? Jalan pintas
impor beras diusulkan, tanpa menghiraukan kemungkinan
membeli beras domestik yang sama baik kualitasnya.

Skenario kiamat
Deptan yang semula ngotot menolak impor beras jadi
terpojok. Mereka tak pernah memimpikan ''skenario
kiamat'' macam itu. Soalnya produksi beras nasional
sedang meningkat. Menurut data BPS, produksi padi
dalam lima tahun terakhir terus menguat, mulai dari
50,5 juta ton (2001), 51,5 juta ton (2002), 52,1 juta
ton (2003), 54,3 juta ton (2004), hingga 54,5 juta ton
(2005). Sementara permintaan masyarakat sebanyak 52,9
juta ton. Jadi terdapat surplus 1,6 juta ton.

Sementara itu, harga gabah petani juga sedang bagus.
Gabah kering panen (GKP) dihargai sekitar Rp 1.330-Rp
1.470 per kilogram. Sedang gabah kering giling (GKG)
sekitar Rp 1.740 per kilogram. Itu berarti di atas
harga patokan pemerintah. Mengantisipasi kenaikan BBM
nanti, Mentan telah menetapkan akan menaikan harga GKP
sekitar Rp 1.500 per kilogram, serta GKG masih
dihitung dan tentu lebih besar lagi.

Kenaikan harga gabah yang menguntungkan petani tentu
mempengaruhi kenaikan harga beras, yang entah mengapa
justru dipandang akan memberatkan masyarakat. Harga
beras di pasar untuk ukuran medium sekitar Rp 3.100
sampai Rp 3.200 per kilogram. Harga itu ditaksir
melonjak sampai Rp 3.500 per kilo yang merupakan batas
psikologis. Sesuai Inpres No 2/2005, Bulog diizinkan
mengimpor beras, apabila harga beras domestik untuk
ukuran medium menembus angka Rp 3.500 per kilogram dan
cadangan nasional kurang dari satu juta ton. Semua
kondisi itu belum terjadi saat ini, tapi diasumsikan
akan berubah drastis akibat kenaikan BBM.

Apakah kebijakan impor beras murni urusan domestik?
Ternyata tidak. Ada kepentingan luar negeri di balik
kebijakan kontroversial dan inkonsisten itu. Dalam
kunjungan Presiden SBY ke Thailand, beberapa waktu
lalu, lobi pengusaha beras dari Negeri Gajah Putih itu
amat gencar. Pejabat tinggi di Thailand telah
memasukkan agenda terselubung permintaan untuk membuka
kran impor ke Indonesia. Bahkan, eksportir beras
Thailand telah mengantongi kontrak jangka panjang
untuk mengirim jutaan ton beras ke pengusaha Indonesia
(Kompas, 15/9).

Bila kepentingan bisnis telah mengalahkan kepentingan
publik, maka pertimbangan kebijakanpun jadi amburadul.
Membeli beras impor berarti menguras cadangan devisa
yang semestinya harus dihemat. Dengan jatah impor
250.000 ton dan harga beras dunia sekitar 270 dolar AS
per ton, maka dana yang dibutuhkan Bulog sekitar 67,5
juta dolar AS, atau Rp 675 milyar (dengan kurs Rp
10.000 per dollar AS). Dari kalkulasi itu, masuk akal
melihat Bulog begitu bernafsu mengimpor beras.

Sementara kegairahan untuk membeli beras petani
domestik sebagai cadangan nasional tidak terlihat sama
besarnya. Bahkan, skenario untuk memantapkan produksi
dan cadangan beras, lalu merintis upaya ekspor sama
sekali tak terpikirkan. Swasembada beras dan peluang
ekspor beras hanya mimpi di mata pengusaha, karena
mereka tak pernah mau bersusah-payah dan bersaing
dengan pengusaha mancanegara. ''Kearifan dan
keseriusan'' mereka hanya sebatas keuntungan jangka
pendek.

Deptan mengalah dan Mentan akhirnya memahami (legowo)
dengan ''kebijakan baru'' pemerintah --lebih tepat
disebut inisiatif kebijakan Bulog yang didukung Wapres
dan Mendag. Tapi, ''perlawanan'' tetap berlangsung.
Sejumlah kepala dinas Pertanian di berbagai daerah
melaporkan kepada Mentan dan diliput luas oleh media
massa, bahwa produksi beras mereka akan surplus tahun
ini, dan kebijakan impor sama sekali tak perlu.

Daerah yang akan surplus itu adalah Jawa Timur (dua
juta ton), Jawa Tengah, Sulsel, Jawa Barat, Sumut,
Sumbar, Sumsel, dan Lampung. Bahkan Ditjen Tanaman
Pangan Deptan menjelaskan daerah lain yang juga
surplus adalah Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulteng,
Gorontalo dan NTB. Daerah yang dikenal rawan pangan
seperti NTT saja menolak impor beras, karena pasokan
dari daerah surplus tadi sudah mencukupi untuk
kebutuhan selama enam bulan ke depan (Suara Pembaruan,
14/9). Jadi, apalagi yang harus dikhawatirkan? Mengapa
harus didramatisasi lonjakan kebutuhan pada saat
Ramadhan dan Idul Fitri, atau Natal dan Tahun Baru
2006? Mengapa dibuat skenario kiamat (krisis beras)
akibat kenaikan BBM? Padahal, kenaikan BBM sendiri
dipandang masih bisa disiasati, jika pemerintah mau
bekerja keras meningkatkan penerimaan pendapatan
negara dan melakukan efisiensi anggaran.

Aneh sekali, dalam rapat kabinet melalui
telekonferensi dengan Presiden SBY di New York, AS,
Mendag Mari Pangestu menyatakan: ''Departemen
Perdagangan telah menyiapkan langkah-langkah untuk
menjaga ketersediaan pasokan komoditas pokok dan
menjaga kestabilan harga. Salah satu di antaranya
mengimpor 800 ribu ton beras sebagai persiapan
kebutuhan Lebaran, Natal, dan tahun baru'' (Indopos,
15/9). Apa Mendag tidak salah ucap ataukah wartawan
yang salah kutip? Impor beras itu 250.000 ton atau
800.000 ton sebenarnya? Presiden SBY harus mengecek
langsung akurasi kebijakan menteri pembantunya itu.

Slip of tongue macam itu telah menjadi anekdot yang
buruk bagi birokrasi, bahwa pejabat boleh menetapkan
suatu kebijakan, tapi praktik di lapangan akan
berlangsung lebih dahsyat. Impor beras yang
dimaksudkan untuk memperkuat cadangan nasional, bisa
bocor di lapangan, karena mekanisme pengawasan yang
masih lemah. Bahkan, realisasi impor bisa membengkak
ditunggangi kepentingan bisnis lain.

Karena itu, Mentan segera pasang palang pintu, bahwa
realisasi impor beras harus melalui persetujuan Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) yang bukan kebetulan
diketuainya sendiri. Jika benar dibutuhkan, impor
beras akan dilakukan secara bertahap, dan setiap
tahapan akan dievaluasi. Bukan tidak mungkin kebijakan
impor baru akan dikoreksi atau dianulir, bila dalam
praktik terjadi penyimpangan atau kebocoran.

Bulog sendiri mulai mencari akal baru, setelah izin
prinsip mereka dapatkan. Apakah impor akan dilakukan
dengan sistem G to G, artinya meminjam otoritas
pejabat tinggi lagi (Presiden atau Wapres) untuk
menentukan kerjasama dengan negara tertentu (misalnya,
Thailand)? Atau, impor beras itu akan dilakukan dengan
tender terbuka, dengan jaminan perusahaan yang sudah
punya komitmen jangka panjang (dari dalam dan luar
negeri) tetap terjaga kepentingannya?

Sosok akademisi yang terkenal sederhana seperti Anton
Apriyantono, yang didukung secara politik oleh PKS
dengan slogan ''Bersih dan Peduli'', tentu tidak mudah
menyerah dan gampang berkompromi. Anggota Fraksi PKS
di Komisi IV DPR, Suswono, telah bersuara keras dalam
rapat dengar pendapat dengan Mentan, pekan lalu.
Keputusan membuka kran impor dinilai gegabah dan
berbahaya, karena akan memukul harga beras di tingkat
petani yang saat ini sedang membaik.

Suswono juga mempertanyakan sikap pemerintah yang
sudah menyatakan bahwa produksi beras nasional
surplus, tapi tiba-tiba mengizinkan impor, sehingga
membingungkan dan membuat masyarakat curiga. Perum
Bulog juga terkesan menakut-nakuti dengan mengatakan
bahwa Indonesia akan kekurangan beras, sehingga
memaksa harus impor, seperti dilaporkan media (Suara
Pembaruan, 15/9).

Pergulatan kepentingan itu akan terus berlanjut,
karena masing-masing pihak harus memastikan
keinginannya terpenuhi. Para elite akan menakar,
apakah kebijakannya cukup menenteramkan pemegang saham
terbesar mereka: pengusaha atau petani? Di balik itu
semua, lobi mancanegara telah melumpuhkan daya tahan
pangan nasional, karena orientasi para pejabat negara
tidak lagi berpihak kepada rakyat banyak.
Rabu, 21 September 2005

Di Balik Impor Beras 

Oleh : 


Sapto Waluyo
Center for Indonesian Reform

Kebijakan pemerintah yang membuka kran impor beras
menyembulkan kepentingan tersembunyi. Dua kepentingan
yang berseberangan saling berhadapan. Kepentingan
pertama mewakili kalangan ''pengusaha'' yang ingin
mengontrol harga beras agar tetap menguntungkan bagi
mereka.

Kerena itu, melalui Perum Bulog, mereka mendesak
pemerintah supaya mencabut larangan impor beras yang
berlaku sejak Juni-Desember 2005. Kemudian, dalam
rapat koordinasi (rakor) yang dipimpin Wapres, Jusuf
Kalla, Jum'at (9/9), keinginan itu mencuat kencang.
Akhirnya, Menteri Perdagangan, Mari Pangestu,
menyetujui izin prinsip impor beras sebanyak 250 ribu
ton untuk tahun ini.

Sayangnya, rakor itu tak lengkap dihadiri pihak
berkepentingan yaitu Menteri Pertanian, Anton
Apriantono. Padahal, boleh dikata dia mewakili
kepentingan kedua, yaitu khalayak ''petani''. Anton
sedang mengikuti pertemuan menteri pertanian
negara-negara G-20 di Karachi, Pakistan. Mengapa rakor
tiba-tiba dipaksakan mengambil keputusan strategis
tanpa kehadiran menteri yang bertanggung jawab
langsung mengurus ketahanan pangan, terutama komoditas
beras? 

Mengapa Wapres yang memimpin rapat mengintrodusir
suatu agenda tertentu dengan pernyataan yang
tendensius?Di sinilah kontroversi bermula. Kira-kira,
mukaddimah rapat itu menyebutkan: ''Di Indonesia tak
boleh ada dua komoditas yang harganya naik bersamaan,
yaitu BBM dan beras. Karena itu, harus segera dicari
akal agar BBM tetap naik sesuai target Oktober nanti,
tapi harga beras harus dikontrol agar tetap terjangkau
rakyat'' (Koran Tempo, 16/9). Standar yang ditetapkan
pemerintah sebelumnya untuk harga beras adalah Rp
3.500 per kilogram. 

Karuan saja, pengantar itu direspons antusias Perum
Bulog yang diwakili Direkturnya, Widjanarko Puspoyo.
Menurut satu sumber, Bulog bahkan mendesak jatah impor
yang lebih besar, sekitar satu juta ton. Fakta bahwa
cadangan beras di masyarakat masih tersimpan 1,6 juta
ton plus cadangan pemerintah sebanyak 350.000 ton,
serta produksi nasional yang stabil 31 juta ton, untuk
sementara dikesampingkan.

Yang berlaku adalah asumsi bahwa kenaikan tarif BBM
akan mengatrol kenaikan harga barang, termasuk beras.
Akibatnya, stok Bulog akan terkuras 180.000 ton per
bulan untuk program raskin (beras bagi keluarga
miskin). Itu berarti 720.000 ton sampai akhir tahun
ini. Nah, bagaimana caranya menjaga cadangan beras
Bulog agar berada di atas satu juta ton? Jalan pintas
impor beras diusulkan, tanpa menghiraukan kemungkinan
membeli beras domestik yang sama baik kualitasnya.

Skenario kiamat
Deptan yang semula ngotot menolak impor beras jadi
terpojok. Mereka tak pernah memimpikan ''skenario
kiamat'' macam itu. Soalnya produksi beras nasional
sedang meningkat. Menurut data BPS, produksi padi
dalam lima tahun terakhir terus menguat, mulai dari
50,5 juta ton (2001), 51,5 juta ton (2002), 52,1 juta
ton (2003), 54,3 juta ton (2004), hingga 54,5 juta ton
(2005). Sementara permintaan masyarakat sebanyak 52,9
juta ton. Jadi terdapat surplus 1,6 juta ton.

Sementara itu, harga gabah petani juga sedang bagus.
Gabah kering panen (GKP) dihargai sekitar Rp 1.330-Rp
1.470 per kilogram. Sedang gabah kering giling (GKG)
sekitar Rp 1.740 per kilogram. Itu berarti di atas
harga patokan pemerintah. Mengantisipasi kenaikan BBM
nanti, Mentan telah menetapkan akan menaikan harga GKP
sekitar Rp 1.500 per kilogram, serta GKG masih
dihitung dan tentu lebih besar lagi.

Kenaikan harga gabah yang menguntungkan petani tentu
mempengaruhi kenaikan harga beras, yang entah mengapa
justru dipandang akan memberatkan masyarakat. Harga
beras di pasar untuk ukuran medium sekitar Rp 3.100
sampai Rp 3.200 per kilogram. Harga itu ditaksir
melonjak sampai Rp 3.500 per kilo yang merupakan batas
psikologis. Sesuai Inpres No 2/2005, Bulog diizinkan
mengimpor beras, apabila harga beras domestik untuk
ukuran medium menembus angka Rp 3.500 per kilogram dan
cadangan nasional kurang dari satu juta ton. Semua
kondisi itu belum terjadi saat ini, tapi diasumsikan
akan berubah drastis akibat kenaikan BBM.

Apakah kebijakan impor beras murni urusan domestik?
Ternyata tidak. Ada kepentingan luar negeri di balik
kebijakan kontroversial dan inkonsisten itu. Dalam
kunjungan Presiden SBY ke Thailand, beberapa waktu
lalu, lobi pengusaha beras dari Negeri Gajah Putih itu
amat gencar. Pejabat tinggi di Thailand telah
memasukkan agenda terselubung permintaan untuk membuka
kran impor ke Indonesia. Bahkan, eksportir beras
Thailand telah mengantongi kontrak jangka panjang
untuk mengirim jutaan ton beras ke pengusaha Indonesia
(Kompas, 15/9).

Bila kepentingan bisnis telah mengalahkan kepentingan
publik, maka pertimbangan kebijakanpun jadi amburadul.
Membeli beras impor berarti menguras cadangan devisa
yang semestinya harus dihemat. Dengan jatah impor
250.000 ton dan harga beras dunia sekitar 270 dolar AS
per ton, maka dana yang dibutuhkan Bulog sekitar 67,5
juta dolar AS, atau Rp 675 milyar (dengan kurs Rp
10.000 per dollar AS). Dari kalkulasi itu, masuk akal
melihat Bulog begitu bernafsu mengimpor beras.

Sementara kegairahan untuk membeli beras petani
domestik sebagai cadangan nasional tidak terlihat sama
besarnya. Bahkan, skenario untuk memantapkan produksi
dan cadangan beras, lalu merintis upaya ekspor sama
sekali tak terpikirkan. Swasembada beras dan peluang
ekspor beras hanya mimpi di mata pengusaha, karena
mereka tak pernah mau bersusah-payah dan bersaing
dengan pengusaha mancanegara. ''Kearifan dan
keseriusan'' mereka hanya sebatas keuntungan jangka
pendek.

Deptan mengalah dan Mentan akhirnya memahami (legowo)
dengan ''kebijakan baru'' pemerintah --lebih tepat
disebut inisiatif kebijakan Bulog yang didukung Wapres
dan Mendag. Tapi, ''perlawanan'' tetap berlangsung.
Sejumlah kepala dinas Pertanian di berbagai daerah
melaporkan kepada Mentan dan diliput luas oleh media
massa, bahwa produksi beras mereka akan surplus tahun
ini, dan kebijakan impor sama sekali tak perlu.

Daerah yang akan surplus itu adalah Jawa Timur (dua
juta ton), Jawa Tengah, Sulsel, Jawa Barat, Sumut,
Sumbar, Sumsel, dan Lampung. Bahkan Ditjen Tanaman
Pangan Deptan menjelaskan daerah lain yang juga
surplus adalah Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulteng,
Gorontalo dan NTB. Daerah yang dikenal rawan pangan
seperti NTT saja menolak impor beras, karena pasokan
dari daerah surplus tadi sudah mencukupi untuk
kebutuhan selama enam bulan ke depan (Suara Pembaruan,
14/9). Jadi, apalagi yang harus dikhawatirkan? Mengapa
harus didramatisasi lonjakan kebutuhan pada saat
Ramadhan dan Idul Fitri, atau Natal dan Tahun Baru
2006? Mengapa dibuat skenario kiamat (krisis beras)
akibat kenaikan BBM? Padahal, kenaikan BBM sendiri
dipandang masih bisa disiasati, jika pemerintah mau
bekerja keras meningkatkan penerimaan pendapatan
negara dan melakukan efisiensi anggaran.

Aneh sekali, dalam rapat kabinet melalui
telekonferensi dengan Presiden SBY di New York, AS,
Mendag Mari Pangestu menyatakan: ''Departemen
Perdagangan telah menyiapkan langkah-langkah untuk
menjaga ketersediaan pasokan komoditas pokok dan
menjaga kestabilan harga. Salah satu di antaranya
mengimpor 800 ribu ton beras sebagai persiapan
kebutuhan Lebaran, Natal, dan tahun baru'' (Indopos,
15/9). Apa Mendag tidak salah ucap ataukah wartawan
yang salah kutip? Impor beras itu 250.000 ton atau
800.000 ton sebenarnya? Presiden SBY harus mengecek
langsung akurasi kebijakan menteri pembantunya itu.

Slip of tongue macam itu telah menjadi anekdot yang
buruk bagi birokrasi, bahwa pejabat boleh menetapkan
suatu kebijakan, tapi praktik di lapangan akan
berlangsung lebih dahsyat. Impor beras yang
dimaksudkan untuk memperkuat cadangan nasional, bisa
bocor di lapangan, karena mekanisme pengawasan yang
masih lemah. Bahkan, realisasi impor bisa membengkak
ditunggangi kepentingan bisnis lain.

Karena itu, Mentan segera pasang palang pintu, bahwa
realisasi impor beras harus melalui persetujuan Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) yang bukan kebetulan
diketuainya sendiri. Jika benar dibutuhkan, impor
beras akan dilakukan secara bertahap, dan setiap
tahapan akan dievaluasi. Bukan tidak mungkin kebijakan
impor baru akan dikoreksi atau dianulir, bila dalam
praktik terjadi penyimpangan atau kebocoran.

Bulog sendiri mulai mencari akal baru, setelah izin
prinsip mereka dapatkan. Apakah impor akan dilakukan
dengan sistem G to G, artinya meminjam otoritas
pejabat tinggi lagi (Presiden atau Wapres) untuk
menentukan kerjasama dengan negara tertentu (misalnya,
Thailand)? Atau, impor beras itu akan dilakukan dengan
tender terbuka, dengan jaminan perusahaan yang sudah
punya komitmen jangka panjang (dari dalam dan luar
negeri) tetap terjaga kepentingannya?

Sosok akademisi yang terkenal sederhana seperti Anton
Apriyantono, yang didukung secara politik oleh PKS
dengan slogan ''Bersih dan Peduli'', tentu tidak mudah
menyerah dan gampang berkompromi. Anggota Fraksi PKS
di Komisi IV DPR, Suswono, telah bersuara keras dalam
rapat dengar pendapat dengan Mentan, pekan lalu.
Keputusan membuka kran impor dinilai gegabah dan
berbahaya, karena akan memukul harga beras di tingkat
petani yang saat ini sedang membaik.

Suswono juga mempertanyakan sikap pemerintah yang
sudah menyatakan bahwa produksi beras nasional
surplus, tapi tiba-tiba mengizinkan impor, sehingga
membingungkan dan membuat masyarakat curiga. Perum
Bulog juga terkesan menakut-nakuti dengan mengatakan
bahwa Indonesia akan kekurangan beras, sehingga
memaksa harus impor, seperti dilaporkan media (Suara
Pembaruan, 15/9).

Pergulatan kepentingan itu akan terus berlanjut,
karena masing-masing pihak harus memastikan
keinginannya terpenuhi. Para elite akan menakar,
apakah kebijakannya cukup menenteramkan pemegang saham
terbesar mereka: pengusaha atau petani? Di balik itu
semua, lobi mancanegara telah melumpuhkan daya tahan
pangan nasional, karena orientasi para pejabat negara
tidak lagi berpihak kepada rakyat banyak.



Ingin belajar Islam? Mari bergabung milis Media Dakwah
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]


                
__________________________________ 
Yahoo! Mail - PC Magazine Editors' Choice 2005 
http://mail.yahoo.com


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery.
http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke