CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [12].

      KE MELAK!MAHAKAM BICARA KEPADAKU

[2]


tak kukatakan  kau mahakam
sungai duka kerna kau pun sungai
mimpi, cinta, setia serta kepahlawan
     mahakam adalah pilihan      


***


Aku akhirnya masuk ke long boat bersama teman-teman. Aku sengaja mengambil 
tempat duduk dekat mesin diburitan agar leluasa bergerak. Bisa duduk, bisa 
berdiri. Berbeda dengan speed boat yang bermesin tempel dua sehingga ia 
meluncur bagai anak panah lepas dari busur, long boat hanya menggunakan satu 
mesin. Sejak masa kanak aku sangat biasa dengan mesin dan perahu-perahu tempel 
yang di daerah Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, dinamakan "stempel". 


Pada masa kanakku dulu, "stempel" merupakan salah satu alat pengangkutan 
penting dan termasuk mewah untuk menghubungkan kampung satu dan kampung lain 
yang terletak di sepanjang sungai. Sebelum stempel hadir, penduduk, terutama 
yang berada di pedalaman melakukan saling kunjung dengan perahu buatan sendiri 
atau jalan kaki. Dengan cara inilah, menurut cerita mereka,  penduduk menempuh 
jalan berkilo-kilometer untuk pergi ke suatu tempat bahkan sampai ke kawasan 
Borneo [Sabah dan Sarawak]guna menjalin hubungan dengan handai-taulan di daerah 
tersebut. Tak ada perbatasan di hati penduduk pulau.  "Berapa sih jauhnya ke 
Sarawak dan Sabah? Ke hulu sedikit kita kan sudah sampai!" demikian ayah dan 
pamanku, Tjilik Riwut yang dikenal sebagai pejalan kaki ulung, menjawab dingin 
dan ringan pertanyaan bocahku penuh kekaguman sambil membayangkan perjalanan 
menebus belantara tak tertembus matahari. 


Ketika aku masih bekerja sebagai guru di sebuah universitas di Kalteng, dan 
diajak oleh sejumlah teman yang menjadi pejabat untuk turut menyertai mereka 
melakukan misi kunjungan ke perbatasan Kaltim, Kalbar, Sabah dan Sarawak. "Ke 
hulu sedikit saja kita sudah sampai", kembali kata-kata klasik itu diucapkan 
untuk membujukku. 


Melayangkan ingatan jauh ke belakang, pada  dua abad silam, aku sampai pada 
halaman-halaman kusamnya yang bertutur tentang Pertemuan Damai Tumbang Anoi di 
sungai Kahayan. Pertemuan Tumbang Anoi dihadiri oleh seluruh wakil komunitas 
Dayak dari seluruh bagian pulau tanpa kecuali guna melakukan perdamaian dan 
menyelesaikan segala persoalan di kalangan mereka secara adat. Tidak 
terbayangkan kesulitan yang telah mereka tempuh untuk sampai ke Tumbang Anoi. 
Riam yang ganas, jalan tikus di hutan tak tembus cahaya matahari, naik-turun 
gunung dan lembah tak menghalang niat datang ke Tumbang Anoi. Sementara tol dan 
jalan darat yang mulus tidak ada, kecuali jalan tikus. Betang atau rumah 
panjang Damang Batu yang memimpin pertemuan raya itu sampai sekarang masih 
terjaga di sungai Kahayan. 


Mengenang kembali Pertemuan Tumbang Anoi ini, aku melihat kebesaran jiwa dan 
kekuatan tekad manusia Dayak untuk menjadi tuan atas nasib diri mereka sesuai 
konsep hidup-mati mereka: nyanak jata rengan tingang [anak naga putra-putri 
enggang], konsep yang kuanggap masih tanggap sampai hari ini. Apakah konsep ini 
dipahami dan dikenal di Kaltim terutama di kota-kota utamanya apalagi dengan 
komposisi demografis yang didominasi oleh etnik dari luar Kalimantan? 


Melihat kepada diriku yang kadang tak kuasa mengendali diri dan perasaan, aku 
jadi malu. Betapa aku ini sebenarnya hanyalah seorang yang kerdil, gampang 
"keder" di hadapan duka dan kehilangan. "Kau sesungguhnya bukan Dayak, Kusni. 
Terlalu lemah untuk menjadi seorang Dayak, tidak layak jadi layak, menjadi 
turunan Tambun-Bungai, apalagi menjadi 'nyanak jata rengan tingang'"**], 
demikian aku berkata pada diriku. Jika terus lemah begini dan memelihara 
kelemahan ini,  maka kau hanya akan menjadi busa buritan perahu dan kapal, 
demikian aku menasehati diri.Bersamaan dengan ini mengiang suara lain, suara 
Stepanus Djuweng dari Kalbar, ketika aku secara khusus datang ke Kalbar dari 
Paris pada saat Konflik Sambas sedang berkecamuk. Mengetahui begitu banyaknya 
darah mengalir, dan aku memperlihatkan sikap tidak suka, Stepanus mengatakan 
bahwa "kita sedang melakukan perang bela diri". Pernyataan ini menyangkut 
masalah sebab-musabab konflik. Yang menyentuh diriku langsung adalah 
pertanyaannya: "Apakah aku seorang Dayak? Orang yang paham Dayak!?". Pertanyaan 
Stepanus membuatku merenung: Apakah sebenarnya seorang Dayak? Apa tautannya 
dengan Indonesia dan anak manusia serta uniseralisme? Adakah universamisme 
nilai pada Dayak sebagai tatanan nilai? 


Pertanyaan-pertanyaan ini mendorongku untuk membaca sejarah dan budaya Dayak, 
mengetahui benar kehidupan hari ini -- pertanyaan yang sekaligus membeberkan 
suatu program kerja mendesak untuk ditangani.Pelestarian [registrasi] dan 
revitalisasi jadinya merupakan keniscayaan tak lagi bisa ditunda. 


Ketika long boat-ku melaju, nasehat diri dan prtanyaan-pertanyaan di atas, di 
antara gemuruh mesin yang cuma sedepa berada dari tempat dudukku, kudengar 
seperti suara Mahakam menasehatiku dengan segala ketulusan dan kasihsayang. 
Mahakam, sungai yang mencintai putra-putrinya, dan aku memang adalah salah 
seorang anaknya. Sebagai anak sungai, aku merasakan ada dialog diam tapi 
mendalam antaraku dengan Mahakam yang mengalir diam. Antara orang yang tulus 
dan saling menyayangi pun sering terjadi dialog diam mendalam begini  karena 
keduanya diliput keraguan tapi juga tidak ingin saling melukai. Kasihsayang tak 
menyimpan benci tapi lebih terletak pada memberi karena itu orang Prancis 
mengatakan: "il n'y a pas l'amour heureux', tak ada cinta yang bahagia. 
Mahakam, sungai, hutan, laut, gunung  dan aku sering melakukan dialog diam 
mendalam begini. Juga sekarang, ketika aku berada di tengahnya.


Perahu, long boat dan sungai! Dari masa kanakku sampai sekarang, di Kalimantan, 
masih merupakan alat dan jalur utama transpor. Kalau sekarang sungai-sungai 
makin riuh, riuhnya karena  jumlah speed boat dan long boat lebih banyak dari 
masa-masa sebelumnya. Jumlah kapal-kapal yang masuk-keluar kian banyak, tapi 
apakah keriuhan sungai ini pertanda peningkatan kehidupan anak pulau secara 
mendasar? Melihat hancurnya sungai dan hutan, aku mengkhawatirkan keriuhan ini 
adalah keriuhan perampokan atas pulau. Sungai demi sungai kudatangi, 
sungai-sungai itu rusak dilimpahi oleh airraksa yang mengancam nyawa, 
hutan-hutan menggundul jadi padang pasir, bukit terbakar. Kalimantan tak obah 
seekor kijang gemuk yang dagingnya sedang dipotong dibagi-bagikan oleh 
segelintir. Hancurnya hutan disertai oleh hilang dan hancurnya obat tanaman dan 
pengobatan tradisional lokal. Air raksa di sungai membinasakan ikan yang dulu 
sanggup menggelombanhgkan sungai jika pada musimnya bertelur di hulu. Dan 
enggang, dari rimba yang gundul menjadi kehilangan sarang.   Kalimantan adalah 
sumber uang dan ke mana uang itu lari, disimpan dan dimanfaatkan? Salah-salah 
Dayak pun dijadikan barang dagangan eksotis dan obyek belaskasihan serta 
pemaksaan nilai,  ketika uang dijadikan dasar nilai baik-buruk. Orang-orang 
Dayak yang polos dihadapkan pada kenyataan baru ini jadi ternganga bingung tak 
paham. Alam, ibu kandungnya seakan mengutuknya. Orang-orang menghibur mereka 
bahwa inilah globalisasi, tanpa membedakan globalisasi kapitalis dan Porto 
Allegre. Orang-orang bicara tentang pembangunan tapi yang ditunjuk adalah 
gedung-gedung mewah sementara jiwa kita adalah jiwa gelandangan, pengemis dan 
pemulung. Aku jadi teringat akan ucapan anakku yang sering mencandaiku dengan  
mengulang alur cerita bacaannya: "Bapak ini seorang pemulung! Menyanyi pun 
tidak bisa". Ah, kau tak tahu, Nak, gimana sulitnya menyanyi dalam keadaan 
sekarang. Lirik lagu tak kuasa kuucapkan usai oleh kerongkongan yang tersumbat. 


Memandang kampung-kampung sepanjang Mahakam yang dilalui oleh long boat-ku, 
kekumuhan masih ada di situ. Tepian dan rumah-rumah panggung di sepanjang 
tebingnya juga kumuh. Tak usah terlalu jauh untuk berbicara tentang masalah 
kesehatan dan kebersihan -- walau pun soal-soal ini sebenarnya soal mendasar 
yang patut ditangani negara seperti halnya pendidikan. Rumah panggung dan 
tepian yang kusaksikan hari ini masih saja seperti rumah panggung dan tepian 
masa kanakku dahulu.Kalau long boat-ku jelas menuju Melak, tapi Kalimantan mau 
menuju ke mana? 


"ke melak kapal melaju
dan kita akan ke mana?
di tebing-tebing kampung menyapa
kalimantan! kalimantan! kau masih busa buritan


 
Mendengar suara Mahakam, aku merasakan benar bahwa anak pulau yang mau tinggal 
dan bekerja di Kalimantan [mengapa harus "ngendon" di luar jika sepakat bahwa 
kita punya hutang moral patut dibayar pada pulau?], kukira dituntut kesetiaan 
pada komitmen yang lebih dari biasa, tahu mau ke mana dan mengerti bagaimana 
mencapai ke mana! Patut mempunyai cinta sesungguhnya sebab cinta bukan hanya 
kata dan tidak berakhir di kata. Cinta itu totalitas kesanggupan memberi dan 
menanggung resiko. Cinta adalah sebuah sungai tanpa jalan kembali. "A river of 
no return"! Pemimpi adalah seorang pencinta yang serius, tapi seperti ujar 
sobat dekatku Arief Budiman, "jalan pemimpi adalah jalan sunyi". Indonesia dan 
Kalimantan kukira memerlukan pemimpi. Jangan jadi mencintai dan jadi pemimpi 
jika takut tragedi! Memandang Mahakam yang diusik oleh gelombang long boat-ku, 
kulihat Mahakam seperti tersenyum kepadaku mengucap ulang kata-kata itu. Berapa 
aku memberi air kehidupan pada pulau, seberapa lama itu pula aku cintaku pada 
pulau tak tergugat. Aku masih mengalir sebagai Mahakam. Berapa banyak 
kehilanganku dalam arus waktu, aku masih saja Mahakam. Mendengar bisikan itu 
kembali kubasuh mukaku dengan airnya yang memercik ke celana. Kehilangan tak 
membatalkan cinta dilambangkan juga oleh kisah Mahakam.


Dari Yogyakarta, mendarat di Balikpapan, melalui Samarinda dan Tenggarong 
sekarang aku melaju menuju Melak. Di angin sungai yang mengusap wajahku, 
kudengar suara:


mahakam berkata kepadaku
tempun petak batana saré
tempun uyah batawah belai
tempun kajang bisa puat"*]


Tak seberapa jauh jalan ke Melak, panjang jauhnya jalan mencapai republik dan 
Indonesia! 


Republik, Indonesia dan pemanusiawian manusia, bisakah dicapai dengan 
menghancurkannya dan membomnya?! Republik, Indonesia dan pemanusiawian manusia 
apakah identik dengan  menjadikan diri sebagai  pelaku masakre? Malangnya, 
malangnya, alam dan anak bangsa ini tak hentinya dimasakre. 


Berada di tengah Mahakam aku seperti sedang melihat zaman kayau dan bahkan 
dengan tingkat keganasan yang lebih  ditumbuhkembangkan! 


Apakah Tuhan, Hatala Ranying, sudah berhasil diajak berkomplot jadi pembunuh 
dan kayau kekinian?! Gagah! Masihkah kita bisa bertahan pada kegagahan, seperti 
yang kau harapkan padaku, Dik? Yang jelas:



tak kukatakan  kau mahakam
sungai duka kerna kau pun sungai
mimpi, cinta, setia serta kepahlawan
mahakam adalah pilihan



Paris, Oktober 2005.
------------------
JJ.KUSNI



Catatan:

*]. Ungkapan orang  Dayak Ngaju Kalimantan Tengah tentang keadaan diri mereka 
dewasa ini, berarti:

"punya tanah berladang di tepi
punya garam hambar di rasa
perahu beratap basah muatan"

**]'nyanak jata rengan tingang', anak naga putra-putri enggang. Konsep hidup 
mati manusia Dayak yang berintikan bahwa bumi ini diserahkan kepada anak 
manusia sebagai tempat hidup manusiawi. Gagal melaksanakan misi hidup-mati ini, 
seorang Dayak akan gagal dengan hidupnya. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke