http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/06/opi04.htm

Diponegoro Lawan Kapitalisme
Oleh Djawahir Muhammad 

PERINGATAN Hari TNI tahun 2005 ini (5 Oktober) tepat 180 tahun Perang 
Diponegoro ( 1825 - 1830) dimulai, melawan penjajah Belanda. Pada saat Ramadan 
seperti ini, P Diponegoro meninggal, 150 tahun lalu (1885 )di tanah 
pengasingan, Manado. 

"Pahlawan Goa Selarong" merupakan salah satu nama penghargaan Pangeran 
Diponegoro, satu di antara pahlawan nasional yang namanya diabadikan oleh 
kalangan militer, perguruan tinggi, yayasan dan organisasi lainnya di 
Indonesia, terutama di Yogyakarta dan Jawa Tengah. 

Perjuangan Pangeran Diponegoro mengusir Belanda dari tanah Jawa, merupakan 
kelanjutan sejarah tanah Jawa (Tengah) abad XVIII dengan setting kerajaan 
Mataram yang menjadi pusat pergulatan politik dan kekuasaan pada masa itu.

Suksesi kepemimpinan telah menyeret keturunan raja, bangsawan dan para pangeran 
dari lingkaran istana dalam konflik panjang, yang memberi peluang VOC melakukan 
intervensi, mengadu domba dan mengambil banyak keuntungan. Mencapai antiklimaks 
dengan adanya Perjanjian Giyanti (1755) yang membelah keraton Mataram menjadi 
dua kerajaan yakni Kasunanan yang diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono IIl 
dengan ibukota Surakarta dan Kasultanan yang diperintah Sultan Hamengku Buwono 
I dengan ibukota. Ngayogyakarto (Fananie, 2000;50). 

Kelak, dua kerajaan ini masih dibedah lagi dengan berdirinya Pura Mangkunegaran 
di Surakarta dan Pura Paku Alaman di Yogyakarta.

Hakikatnya, dua kerajaan yang dibentuk melalui rekayasa Kompeni itu merupakan 
efek do-mino keruntuhan kekuasaan raja-raja di tanah Jawa (dan kerajaan lainnya 
di Nusantara) dalam tangan kolonialis Belanda, sesudah jatuhnya kerajaan Goa, 
Kutai, Banten, Cirebon dst. 

Runtuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara biasanya diikuti dengan pudarnya 
warisan budaya, tradisi dan kesenian setempat, sementara unsur-unsur budaya 
dari luar yang masuk mulai berintegrasi dengan unsur lokal, melahirkan 
kebudayaan baru, misalnya duliasme Hindu - Islam yang melahirkan sinkretisme.

Demikian pula struktur peme-rintahan yang berpusat di istana (kota), diwarnai 
dualisme kultural peradaban Jawa yang dinyatakan dengan konsep negara mawa 
tata, desa mawa cara, mempunyai manifestasi dalam berbagai aspek kebudayaan 
seperti halnya bahasa, sastra, gaya hidup, etika, sejarah dan sebagainya 
(Sartono, 1986:2). 

Struktur politik dan sosial pada dua kraton di Surakarta dan Yogyakarta yang 
sesungguhnya sangat rawan konflik, campur tangan VOC dengan politik me-mecah 
belah kekuasaan sumber-sumber kekuatan lokal, serta kuatnya pengaruh 
sinkretisme Hindu - Islam pada elite penguasa merupakan situasi kritik yang 
se-tiap waktu dapat menjadi pemicu konflik.

Dalam gambaran setting sejarah dan sosial sosial demikian Diponegoro tumbuh dan 
menjadi saksi perubahan yang terjadi dengan penuh kearifan. Daripada terlibat 
dalam perubahan kekuasaan, beliau lebih suka berdiam diri dan memperdalam 
pengetahuannya dalam bidang agama dan filsafat dalam pesantrennya di Tegalrejo 
bersama Kanjeng Eyang Putrinya, Ratu Ageng, prameswari Sultan Suargi.

Inferior vs Superior

Melihat latar belakang kehidupan pribadi dan motif Pangeran Diponegoro memimpin 
perang sabil yang identik dengan "perang rakyat" itu, sesungguhnya peperangan 
ini dapat dimaknai bukan hanya peperangan bersenjata antara penjajah dan 
terjajah, namun sebagai bentuk pemberontakan inferioritas budaya kaum terjajah 
yang sadar terhadap kemerdekaan, harga diri dan martabatnya , melawan si 
penjajah yang selalu menempatkan dirinya sebagai bangsa dengan kebudayaannya 
yang lebih superior.

Mengutip Purwadi, "Pada tengah tahun 1825 seluruh Jawa Tengah telah siap untuk 
peperangan. Keadaan ekonomi, sosial, agama dan politik membawa seluruh 
masyarakat di luar dan di dalam kraton Yogya kepada batas perdamaian yang 
paling akhir. Hanya peperanganlah yang dapat memecahkan segala kemuskilan waktu 
itu. Dalam pemikiran Kanjeng Pangeran Diponegoro, peperangan itu sudah terang 
akan menjadi alat perubahan ......." (Purwadi, 2005;69)

Seperti dalam buku-bukunya yang lain, Purwadi kurang jelas menguraikan makna 
kata-kata kunci yang dipakai, termasuk apa yang dimaksud dengan kata 
"perubahan" tersebut.

Dalam interpretasi saya, kata "perubahan" dalam konteks di atas merupakan upaya 
Pangeran Diponegoro untuk melakukan restrukturisasi budaya, yakni sebuah 
peperangan demi perubahan esensial yang bukan hanya mempertahankan kedaulatan 
sadumuk bathuk sanyari bumi.

Akan tetapi perang Diponegoro juga memiliki visi untuk mempertahankan hak-hak 
asasi manusia dan kedaulatan bangsa yang terjajah, mempertahankan kebudayaan 
Jawa yang dikoyak- moyak oleh politik adu domba devide et impera, serta upaya 
menjaga kelestanan tradisi dan kearifan lokal dan penjajahan budaya kolonial.

Dengan dasar kearifan lokal yang kuat serta pergaulannya dengan kalangan 
keraton dan tokoh-tokoh agama, Pangeran Diponegoro berusaha mengajak para 
bangsawan, keluarga keraton maupun masyarakat pada perilaku puritan dan sikap 
hidup yang penuh kesalehan. 

Cita-cita itu adalah implikasi gelar spiritual Khalifatullah atau Sayyidin 
Panatagama yang bagi Diponegoro bukan sekadar legitimasi kekuasaan sebagai 
"Raja tanah Jawa" namun sungguh-sungguh menunjukkan keutuhan pribadi.

Waktu itu tumbuh subur paham sinkretisme Islam - Kejawen yang berkembang di 
lingkungan pujangga keraton maupun masyarakat luas, disebabkan kurangnya 
pemahaman mereka pada syariat Islam (Fananie, 2000: 138). Konsep pemahaman dzat 
Tuhan yang penghayatannya mengarah pada kesamaan dan kesatuan manusia dengan 
Tuhan ini sampai sekarang masih tumbuh, dikenal dengan konsep manunggaling 
kawulo - gusti yang sebenamya lebih cenderung ke ajaran mistikisme tasawuf.

Pemerintah kolonial Belanda - sengaja atau tidak - membuat sejumlah peraturan 
yang membuat kaum pribumi terperosok semakin dalam pada keruntuhan moral, 
akibat pengaruh buruk yang saling berhubungan antara komunitas China, priayi 
dan Belanda dalam peredaran madat/candu, penarikan pajak kejahatan, 
penyelundupan dan pasar gelap. 

Dengan kewaskitaan yang tinggi Diponegoro melihat tanda-tanda itu sebagai 
"Dajjal", produk budaya yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan politik, 
budaya, tradisi dan etika rakyat Jawa, dan oleh karena itu harus diperangi.

Spirit Etika Jawa

Sebagai seorang bangsawan Jawa yang memperoleh warisan khasanah budaya Jawa 
secara langsung dan pelaku utama, Diponegoro memiliki kehidupan kultural yang 
amat kental dengan berbagai bentuk budaya dan etika Jawa Klasik. 

Beliau sangat beruntung karena banyak bergaul dengan rakyat di luar lingkungan 
keraton yang hidup dalam tradisi kelisanan (isbat, panyandran, parikan, dsb.) 
serta dapat belajar banyak mengenai tradisi tulis dari khasanah pustaka dan 
pujangga dalam lingkungan keraton (babad, primbon, dsb). Penguasaan pada 
tradisi lisan dan tradisi tulisan kelak sangat membantu menulis sendiri 
autobiografi yang disusun dalam masa pengasingannya di Manado dan menjelang 
wafatnya di Makassar. (Budiman, 1996)

Etika Jawa yang dihayati beliau setidaknya mencakup unsur-unsur yang dirumuskan 
oleh Franz Magnis Suseno ke dalam kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, yang 
mencakup prinsip-prinsip Kerukunan, Hormat, dan Etika Keselarasan Sosial. 

Pandangan dunia atau bagaimana orang Jawa memandang alam numinus dan dunia, di 
antaranya mengenai konsep Aku - Engkau, hakikat keuasaan, filosofi di balik 
entitas raja, kekuasaan, dan moralitas, filsafat sangkan paran, etika dan 
estetika, dsb. (Suseno, 2001). Saya kira, sisi kehidupan religius dan kultural 
yang sangat kental dengan etika Jawa akan lebih banyak memberikan spirit bagi 
bangsa Indonesia - terutama suku Jawa dari mana Diponegoro berasal - untuk 
melawan dominasi kapitalisme yang akhir-akhir ini menjajah kembali Indonesia 
dari berbagai segi, terutama bidang ekonomi. 

Nilai-nilai etika Jawa yang eklusif dan spesifik merupakan pusaka kultural 
untuk memerangi "Dajjal" Indonesia saat ini; korupsi, kolusi dan dekadensi 
moral yang menjelajah hampir semua sendi kehidupan kita.

Penutup

Pangeran Diponegoro adalah figur yang dapat dijadikan teladan dalam 
mengimplementasikan etika jawa yang transenden melawan etika lain yang 
dekaden.Pada pendapat saya, pengakuan terhadap kualitas kehidupan pribadi 
Diponegoro yang santun, intelek dan bersahaja samalah nilainya dengan pengakuan 
terhadap kepahlawanannya yang gagah berani, yang mengilhami para penyair, 
negarawan, militer, akademisi, politisi dan semua orang di negeri ini untuk 
mengenang dan mengabadikan namanya dengan tinta emas dalam lingkup kehidupan 
masing-masing. (11)

- Djawahir Muhammad, sektretaris Dewan Kesenian Jateng 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke