** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
Senin, 10 Oktober 2005  
Ancaman Stagflasi
Faisal Basri

Melambungnya harga minyak mentah tahun 1970-an membuat
perekonomian Amerika Serikat dan sejumlah negara maju
lainnya limbung. Fenomena dalam wujud supply shock ini
serta-merta mengakibatkan kemerosotan pertumbuhan
ekonomi bersamaan dengan meroketnya inflasi dalam
intensitas yang tak lazim dan belum pernah terjadi
sebelumnya. Keadaan ini kemudian dikenal sebagai
stagflasi, yakni stagnasi ekonomi bersamaan dengan
inflasi tinggi. Para ekonom untuk beberapa waktu
lamanya tak berhasil untuk sekadar mendiagnosis apa
sebetulnya yang terjadi, apalagi menawarkan obat
mujarab untuk solusinya.

Pada mulanya tindakan yang dilakukan bagi pemulihan
ekonomi adalah menawarkan kebijakan-kebijakan jangka
pendek untuk memberikan rangsangan pada sisi
permintaan agregat (aggregate demand). Namun, lambat
laun diyakini bahwa cara-cara demikian bukanlah obat
mujarab karena inflasi kian tinggi, sementara
peningkatan output tidak terjadi seperti yang
diharapkan.

Perekonomian lambat laun pulih tanpa mengorbankan
stabilitas makroekonomi setelah dilakukan terapi pada
sisi penawaran (supply side). Sejumlah paket insentif
ditawarkan untuk menggairahkan dunia usaha, kebanyakan
berupa insentif fiskal.

Kala itu kita mengalami hal yang sebaliknya. Kita
menikmati rezeki durian runtuh karena, bagi kita,
meroketnya harga minyak mentah merupakan oil boom.
Sayangnya, kita tak belajar dari kejadian tersebut,
hingga pada akhirnya kenaikan harga minyak dewasa ini
menjelma menjadi petaka.

Oil shock tahun 1970-an terjadi mendadak karena Perang
Arab-Israel. Harga minyak di pasar dunia naik karena
sepenuhnya merupakan reaksi pasar. Namun, yang terjadi
di Indonesia tidak demikian. Pemerintah sudah tahu
sejak lama gelagat harga minyak akan naik. Pemerintah
sepenuhnya memegang kendali atas harga BBM di dalam
negeri. Pemerintah juga menyadari bahwa daya saing
perekonomian terus merosot karena biaya produksi kian
mencekik. Barang dan jasa serba mahal di negeri ini.
Pemerintah pun tahu bahwa roda perekonomian masih
belum berputar secara normal. Perbankan sedang kembali
meradang sebagaimana ditunjukkan oleh persentase
kredit bermasalah telah kembali pada tingkat yang
mengkhawatirkan dan fungsi intermediasi perbankan
tetap saja seret. Sementara itu, angka pengangguran
terus naik dan telah menembus dua digit.

Momentum percepatan pertumbuhan ekonomi sirna kembali.
Setelah dengan susah payah keluar dari perangkap
pertumbuhan rendah, mulai triwulan ketiga tahun 2004
pertumbuhan ekonomi bisa menembus angka 5 persen,
persisnya 5,03 persen. Triwulan berikutnya naik tak
terduga mencapai 6,65 persen. Kinerja yang lumayan
gemilang ini adalah buah dari kerja keras dan disiplin
tinggi pemerintahan sebelumnya yang seharusnya menjadi
modal berharga pemerintahan sekarang. Namun, karena
lengah, terlalu percaya diri, tak mau ”berpantang” dan
tak menjaga disiplin tinggi, pertumbuhan ekonomi pada
triwulan pertama 2005 melorot menjadi 6,19 persen, dan
melorot lagi menjadi 5,54 persen pada triwulan kedua
2005. Target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah
sebesar 6 persen tahun ini—yang anehnya tetap
dipertahankan hingga kini seperti tertuang dalam
kesepakatan dengan DPR pada pengesahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Kedua
(APBN-PII)—kian menjadi ilusi.

Dalam kecenderungan yang serba tak menggembirakan
itulah pemerintah merancang sendiri terjadinya shock,
termasuk besarannya. Jadi yang kita alami bukanlah
shock yang tak terhindarkan seperti yang terjadi di
Amerika Serikat tahun 1970-an, yang 100 persen berasal
dari faktor eksternal dan transmisinya murni lewat
mekanisme pasar bebas. Pemicu kemelut BBM dewasa ini
memang berasal dari faktor eksternal, tetapi
sesungguhnya kita masih memiliki keleluasaan untuk
mengendalikan agar dampak negatif yang menerjang
perekonomian bisa ditekan seminimal mungkin.

Harus tetap waspada

Kita memang belum akan segera mengalami stagflasi
dalam pengertian pakem buku teks. Gerak perekonomian
rasanya tak akan surut sampai menuju pertumbuhan
negatif. Bahkan tahun ini masih bisa mencapai angka
pertumbuhan lebih tinggi dari tahun lalu sebesar 5,13
persen. Kita pun masih bisa menjejerkan berbagai
indikator pelipur lara: permintaan semen terus naik,
penjualan sepeda motor dan kendaraan roda empat
tumbuh, proyek properti baru bertaburan tak kenal
jenuh, sektor keuangan dan perbankan tumbuh sangat
pesat, serta rupiah naik lagi mendekati Rp 10.000 per
dollar AS.

Masih ada lagi satu faktor ”positif” yang mencuat
pascakenaikan harga BBM, yakni semakin menguatnya
kepercayaan internasional terhadap masa depan
perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari aliran
masuk modal jangka pendek ke pasar saham sehingga
indeks harga saham gabungan kembali menembus angka
1.100. Antusiasme pemodal asing ditunjukkan pula oleh
besarnya minat membeli obligasi internasional yang
diterbitkan pemerintah. Dengan penuh rasa bangga
pemerintah mengumumkan bahwa kelebihan permintaan
(oversubscribed) sudah lebih tiga kali lipat.

Namun, harus pula diwaspadai bahwa angka-angka pelipur
lara di atas bisa serta-merta menjadi bencana. Tengok
kasus booming reksa dana yang dalam sekejap—cuma dalam
hitungan bulan—nilai aktiva bersihnya menciut dari Rp
110 triliun menjadi hanya Rp 30 triliun saja. Lihat
pula sektor perbankan yang tahun lalu mencatatkan
keuntungan rata-rata sangat besar tiba-tiba mengalami
kenaikan kredit bermasalah (non-performing loans) yang
serius karena telah melampaui batas toleransi Bank
Indonesia.

Kita berharap pemerintah lebih waspada, mau
mendengarkan suara lain dari luar tembok-tembok
istana, rendah hati, dan jujur. Stagflasi memang belum
hadir di hadapan kita, dan semoga takkan hadir karena
kita tahu cara menghadangnya. Sejauh ini kita tak
diyakinkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan
pemerintah mampu menghadang ancaman kemerosotan
ekonomi ataupun stagflasi.

Langkah-langkah pemerintah pascakenaikan harga BBM
patut menjadi perhatian kita. Yang dengan sigap segera
dilakukan ialah penerbitan obligasi internasional.
Langkah ini tentu saja untuk memulihkan cadangan
devisa yang terus melorot, dari tingkat tertinggi 37,3
miliar dollar AS pada minggu ketiga April 2005 menjadi
30,3 miliar dollar AS pada akhir September. Juga bisa
digunakan untuk menutupi defisit APBN 2005. Namun,
konsekuensi logisnya, mulai tahun depan muncul
tambahan beban pembayaran bunganya sehingga
memperberat tekanan terhadap transaksi berjalan
(current account).

Penerbitan obligasi internasional juga menambah risiko
ketidakstabilan fiskal karena jika terjadi kemerosotan
nilai rupiah akan menambah beban pengeluaran APBN.

Mengapa ketimbang berutang kita tak memperlancar keran
ekspor? Bukankah para eksportir ini merupakan sumber
penerimaan devisa utama. Namun, yang terakhir ini pun
dihadang oleh pemerintah. Sektor ekspor semakin
diperparah dengan kebijakan ”anti-ekspor”. Bagaimana
mungkin bisa diterima akal sehat kalau dalam keadaan
sulit dan serba tak menentu seperti sekarang ini
pemerintah justru akan menaikkan harga patokan ekspor
sawit tanpa menurunkan tarif pajak ekspornya. Dengan
langkah ini pemerintah berharap industri hilir
pengguna sawit akan tumbuh pesat dengan kemampuan
melipatgandakan nilai tambah di dalam negeri. Tidak
sepatutnya pemerintah menempuh kebijakan yang bias
atau merugikan suatu kegiatan yang nyata-nyata sangat
produktif. Apalagi itu adalah sektor ekspor yang
notabene adalah sumber utama penerimaan devisa negara.

Untuk meredam inflasi yang menjadi andalan adalah
menaikkan suku bunga SBI dan memperkuat rupiah.
Padahal, cara itu hanya bersifat semu untuk meredam
ekspektasi. Tanpa diimbangi dengan upaya meningkatkan
daya beli masyarakat, ekspektasi hanya mampu bertahan
sementara.

Kita tak cukup mencermati perilaku perekonomian
seperti di masa lalu. Benar bahwa kenaikan harga BBM
sebelumnya hanya menciptakan kenaikan inflasi pada
bulan terjadinya kenaikan dan bulan-bulan selanjutnya
berbalik menjadi deflasi. Fenomena seperti itu sudah
tak berulang pada kenaikan harga BBM Maret lalu.
Apalagi kenaikan yang terakhir ini, yang besarannya
tak pernah terjadi sebelumnya, bukan tak mungkin
memicu inflasi spiral yang cukup berkepanjangan.

Meredam gejolak inflasi dengan menaikkan suku bunga
SBI juga bukan tanpa biaya. Amerika Serikat boleh saja
menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga
karena perekonomian mereka sudah sedemikian dinamis
untuk membuat perekonomian tetap bertahan. Mereka pun
tahu persis titik full employment yang harus
dipertahankan atau dicapai. Beda perekonomian kita
dengan Amerika Serikat antara bumi dan langit. Dengan
merespons krisis BBM lewat pengembangan
instrumen-instrumen finansial yang nyata-nyata
fondasinya sangat rapuh, sama saja mengarahkan
perekonomian ke dalam perangkap-perangkap yang semakin
berbahaya. Di sinilah letak keprihatinan kita karena
bayang-bayang menuju stagflasi bukan sekadar isapan
jempol belaka.
 
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/10/utama/2113780.htm

Ingin belajar Islam? Mari bergabung milis Media Dakwah
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]


                
__________________________________ 
Start your day with Yahoo! - Make it your home page! 
http://www.yahoo.com/r/hs


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.org **
** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Kirim email ke