http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?Id=2005101522355032

RAMADAN    Minggu, 16 Oktober 2005    
    
Andaikan Hidup tanpa Dialog    

Komaruddin Hidayat, Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

COBALAH sekali-sekali kita membayangkan, bagaimana perasaan kita bila 
hidup sendirian? Atau, bayangkan seharian tidak berbicara, padahal kita 
hidup bersama orang lain, entah di rumah ataupun di tempat kerja. Tuhan 
menciptakan mulut antara lain untuk berbicara. Jadi kalau membisu, pasti 
capek. Persoalannya, kalaupun bicara, apa yang dibicarakan? Sebaliknya, 
cobalah bayangkan, bagaimana perasaan kita bila memiliki teman banyak 
dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda, namun masing-masing 
mau membuka dan berdialog diri dengan tulus. Sungguh sangat menyenangkan 
dan memperluas wawasan hidup!

Kita adalah umat manusia yang diciptakan dan didesain Allah sebagai 
makhluk sosial yang dialogis. Kita memerlukan jaringan sosial. Tak ada 
kebutuhan hidup yang bisa dipenuhi sendirian. Meminjam istilah psikolog 
Jung, masing-masing kita memiliki kualitas 'orphan' atau yatim piatu, 
yang senantiasa memerlukan bantuan orang lain, sekalipun sudah dewasa. 
Dan ketika memasuki usia lanjut, siklusnya kembali menjadi anak kecil 
lagi, semakin memerlukan orang lain.

Demikianlah, sangat mustahil bagi kita untuk hidup tanpa orang lain, dan 
orang lain pun sangat tidak mungkin dapat menjalani kehidupannya tanpa 
adanya bantuan kita. Inilah kehidupan; saling menolong, saling membantu, 
dan saling memberi manfaat.

Bagi para psikolog, kecenderungan saling memerlukan di antara kita itu 
sering disebut sebagai herd instinct (insting untuk berteman). Sesama 
kita pasti membutuhkan pergaulan, perkawanan, persahabatan, dan 
persaudaraan. Di samping juga, kita perlu saling bercengkerama, 
berkumpul, saling mencita dan dicinta, bekerja sama, bergotong-royong, 
di samping adakalanya kita terperangkap jebakan saling membenci dan 
memusuhi.

Secara rasional, dalam jaringan sosial itu yang lebih menguntungkan 
sesungguhnya sikap saling menghormati, saling menghargai, saling memberi 
pengertian, dan saling memahami. Di sinilah perlunya kedewasaan akal dan 
emosional diperlukan dalam relasi sosial agar hubungan sosial menjadi 
nyaman dan kukuh.

Dalam perspektif tasawuf, di samping kecerdasan intelektual dan 
emosional, kunci keberhasilan relasi sosial adalah ketulusan dan 
kelapangan hati. Di dalam hati itulah bersemayam arasy Ilahi tempat 
kekuatan rohani yang diberkati dan dilimpahi kasih dan cahaya Allah akan 
selalu memancarkan vibrasi positif-konstruktif pada lingkungannya. 
Ketika bertemu dan berdialog dengan teman, sekalipun beda agama, vibrasi 
kasih dan tulusnya akan tetap dirasakan pihak lain, sebagaimana 
dicontohkan Rasulullah. Oleh karena itu pribadi yang tulus dan kukuh 
akan lebih senang memilih jalan dialog ketimbang perdebatan dengan 
semangat mengalahkan dan menghinakan pihak lain.

Tidak sekadar berdialog untuk mencairkan suasana, dialog harus mempunyai 
agenda dan misi yang mulia untuk memajukan peradaban mengingat hidup 
juga berarti berkembang dan maju. Hidup adalah berpikir, merasa, 
berkreasi, berimprovisasi, dan berinovasi. Dengan begitu adakalanya kita 
berdialog dan berefleksi dengan dirinya, dengan sesama teman, dengan 
alam lingkungan, dengan masa lalu, dengan bayangan di masa depan, dengan 
keluh kesah, dengan harapan, dengan sukacita, dan bahkan dengan 
suka-duka kita. Pendeknya, kita berdialog dengan kehidupan dan 
pengalaman yang menyertainya baik yang tampak hitam, kelabu, 
remang-remang, maupun putih, dan terang benderang.

Melihat kompleksitas pikiran, perasaan, dan kehidupan manusia, oleh 
psikolog, kita sering pula disebut sebagai manusia ciptaan Allah yang 
penuh paradoks. Adakalanya kita ingin menyendiri menjaga 
eksklusivitasnya, tetapi pada saat yang sama kita ingin berada bersama 
orang lain. Rasanya terlalu besar, sunyi, dan mengerikan kalau saja bumi 
ini dihuni sendirian. Hanya dengan berada dan melibatkan diri dengan 
yang lain, kita akan menghayati kemanusiaan dan keakuan. Tetapi ketika 
berada bersama orang lain itu tidak jarang kesendirian kita merasa 
terganggu. Kita ingin sendiri menikmati privasi. Meski begitu, 
bagaimanapun kita lebih memilih berada bersama orang lain ketimbang 
sendiri. Melalui berbicara, bergaul, dan menjalin dialog dengan--dan 
berada bersama--orang lain, maka kita akan tumbuh menjadi dan mengenal 
diri sendiri.

Pada mulanya menjadi diri sendiri ditempuh dengan cara meniru perilaku 
orang. Memulai menapaki garis kehidupan adalah juga berarti meniru dan 
mengikuti pola pikir, kepercayaan, dan perilaku generasi yang lebih dulu 
lahir, yang melingkupi diri kita. Kalau ditanya mengapa kita menjadi 
seorang muslim, secara sosiologis sudah pasti merupakan produk 
lingkungan kita. Tetapi, peniruan yang diikuti sikap kritis pada 
akhirnya akan mengantarkan kita untuk menemukan dan membentuk diri 
sendiri secara otentik.

Setiap kita adalah individu yang unik; suatu keunikan yang tumbuh 
bersama keunikan orang lain, yang pada gilirannya melahirkan dalam 
kebersamaan. Kita hidup bersama dalam perbedaan, dan berbeda dalam 
kebersamaan. Kita yang tidak bisa menerima dan menghargai keunikan 
orang, serta tidak mampu lebur dalam proses dialog dengan orang lain 
adalah orang yang gagal memahami diri dan sesamanya.

Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus. Dalam dialog, kita 
akan memberi dan menerima. Untuk bisa melakukan dialog secara dewasa dan 
produktif tentu saja diperlukan kesabaran, pengalaman, kepercayaan diri, 
serta kematangan pribadi. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika 
dari masing-masing partisipan tidak ada kesediaan untuk membuka diri, 
kesediaan saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias.

Dialog antarkita terwujud hanya ketika kita bisa duduk sejajar dalam 
dataran kekitaan. Dunia ini milik kita. Hidup ini kita jalani bersama, 
dan semua persoalan manusia adalah juga persoalan kita semua. Termasuk 
persoalan kebertuhanan dan masalah agama serta keberagamaan adalah juga 
persoalan kita sebagai sesama manusia. Dan kekitaan akan lestari serta 
menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau tali pengikatnya adalah 
ikatan cinta, simpati yang didasari rasa saling menghormati, saling 
memercayai, serta masing-masing kita bisa dipercaya dan mendatangkan 
rasa aman bagi yang lain.

Bulan puasa tahun ini seharusnya kita jadikan sebagai masa yang sangat 
indah untuk mempercantik bangunan hubungan sosial. Misalnya, menyambung 
kembali tali silaturahmi yang terputus, memberi sedekah dan infak kepada 
sesama, yang tentu saja mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa dan 
senegara. Di atas semua itu, kita perbanyak dialog yang khusyuk dengan 
Tuhan agar terjadi proses penetrasi imitasi sifat-sifat Ilahi ke dalam 
diri kita, untuk diteruskan kepada sesama ****



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke