MEDIA INDONESIA Senin, 28 November 2005
Dwifungsi Politisi-Pengusaha: Rentan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme DALAM kunjungannya ke Korea Selatan beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan bahwa untuk menciptakan keadilan dan pemerataan, oligarki ekonomi harus dicegah. Karena itu, pemerintah akan mengatur apa yang disebut 'dwifungsi' politisi, yakni pejabat yang melakukan bisnis. Terminologi dwifungsi--meski awalnya memiliki arti yang netral--tampaknya dalam wacana politik di negeri ini kata tersebut menjadi berkonotasi negatif. Meski ini tidak terlepas dari peran militer di masa Orde Baru. Sebenarnya ada apa dengan dwifungsi politisi dan bisnis sebagaimana diungkapkan oleh Presiden? Patronase bisnis Sesungguhnya politik dan bisnis, khususnya ketika negara industri baru Asia (NICs) mulai membangun ekonominya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Layaknya sekeping mata uang logam, pembentukan elite bisnis di Indonesia juga berjalan seiring dengan perkembangan kekuasaan politik yang ada. Melalui program Benteng di masa Presiden Soekarno, konglomerasi Orde Baru hingga kebijakan proteksionisme adalah bukti eratnya hubungan itu sehingga tak heran jika kemudian praktik patronase bisnis ini makin marak. Pola-pola patronase bisnis inilah yang sebenarnya menjadi 'ketakutan' Presiden SBY. Karena patronase ini bisa menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk memahami patronase bisnis bisa dijelaskan dari hubungan yang disebut patron-klien. Hubungan ini oleh para antropolog sering diartikan sebagai 'solidaritas vertikal' yang sering terjadi di masyarakat patrimonial. Dalam hubungan ini, individu dengan status yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan bagi sang klien, atau seseorang yang statusnya di bawah. Selanjutnya sang klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan, termasuk jasa pribadi. Dalam patronase bisnis, patron politik yang dimiliki para pengusaha umumnya berada di tangan pejabat negara. Patronase bisnis sebenarnya fenomena yang umum. Negara Thailand, Korea Selatan dan Jepang juga mengenalnya. Namun bedanya, di Korea Selatan dan Jepang praktik bisnis seperti ini tidak menjadi sesuatu yang berkelanjutan. Waktu dipimpin Syngman Rhee, Korea Selatan pernah memberikan lisensi impor dan alokasi mata uang asing untuk para chaebol yang dekat dengan para pejabat tinggi. Tujuannya agar chaebol ini dapat menyalurkan dukungan dana dan politik kepada rezim. Setelah Rhee, kriteria kemudian berganti. Jika sebelumnya kemudahan diberikan karena kedekatan dengan pejabat, beralih diberikan pada pengusaha yang berhasil membangun pabrik baru atau yang berhasil ekspor. Otonomi relatif negara Di Indonesia, praktik patronase bisnis ini semakin termanjakan ketika terjadi bom minyak pada era 1970-1980-an. Besarnya dana minyak memungkinkan pemerintah bertindak otonom. Artinya, setiap kebijakan negara dilakukan tanpa harus meminta pertimbangan pihak luar. Termasuk dalam kebijakan ekonominya. Kebijakan--menurut Thee Kian Wie--strategi industrialisasi bertahap yang disertai berbagai bentuk proteksi yang terus menerus menjadikan kelompok bisnis domestik tumbuh menjadi konglomerat yang manja. Makanya tidak aneh bila krisis ekonomi tahun 1998 berhasil merontokkan keberadaan mereka. Otonomi relatif ini sebenarnya dikembangkan oleh penganut teori neo-Marxis sebagai kritik atas teori Marxis klasik yang melihat negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa (dominan). Ketika terjadi revolusi industri dan revolusi Prancis (dua revolusi besar di dunia) secara bersamaan terjadi pula perubahan struktur masyarakat Eropa. Pengaruh kelas Bangsawan dan Gereja terhadap negara mulai tereduksi dan melahirkan kelas borjuis (kapitalis). Kelas baru ini yang mengambil peran dua kelas sebelumnya dalam mempengaruhi negara. Negara kemudian jatuh dalam hegemoni kelas borjuis ini. Di Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan relatif tidak satu pun kekuatan ekonomi domestik yang mampu menjadi basis atau pendukung utama pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Indonesia justru sangat bergantung pada perusahaan-perusahaan Belanda dan pengusaha keturunan China. Keinginan negara untuk membentuk kelompok pemodal domestik yang diharapkan mampu menggantikan posisi keduanya ternyata banyak yang gagal. Hal yang serupa juga terjadi pada masa awal Orde Baru. Keterlibatan negara dalam pembentukan pengusaha-pengusaha domestik tersebut justru berakibat semakin berkembangnya praktik-praktik patronase bisnis. Patronase bisnis semakin berkembang pesat ketika Indonesia mendapatkan pemasukan yang berlimpah dari terjadinya boom minyak. Pada masa ini disebut sebagai masa kejayaan patronase bisnis di Indonesia. Berkembangnya praktik patronase bisnis tersebut juga menunjukkan bahwa sentralisasi ekonomi dan politik menjadikan negara sebagai aktor sentral. Negara tumbuh menjadi sebuah negara otoriter birokratis rente yang melahirkan para pemburu rente di kalangan pejabat pemerintah. Sebaliknya, masyarakat sipil menjadi semakin lemah. Selain itu diskriminasi ekonomi juga terjadi. Pengusaha yang memiliki patron politik umumnya lebih mudah dalam mengembangkan bisnisnya. Sementara kondisi sebaliknya tidak hanya banyak dialami oleh para pengusaha menengah dan kecil tapi bahkan oleh pemodal asing. Meski sebagian besar konglomerasi Indonesia lahir dari peran aktif pemerintah, namun bagaimanapun juga kita perlu bersikap optimis serta objektif dalam melihat perkembangan kapitalisme lokal. Masih ada konglomerasi domestik yang berhasil Sebagai contoh adalah perusahaan rokok HM Sampoerna yang lebih dari 80% sahamnya dibeli oleh raksasa rokok dunia Philip Morris. Keberadaan perusahaan rokok keretek seperti Gudang Garam, produk minuman teh botol Sosro atau air kemasan adalah bukti nyata bahwa apa yang diungkapkan oleh penulis buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara Yoshihara Kunio sebagai erzats capitalism atau kapitalisme semu tidak seluruhnya berlaku di negeri ini. Ketakutan Presiden Yudhoyono akan the newest of dual function ini di satu sisi memang perlu diantisipasi. Karena dari pengalaman yang ada sangat penting untuk menjaga agar pola patronase bisnis tidak lagi berkembang di era reformasi ini. Apalagi jika pejabat elite politiknya memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Sebab, dalam posisi seperti ini pembedaan siapa yang bertindak sebagai patron atau klien menjadi semakin tipis. Konsekuensinya, kondisi seperti ini jelas sangat rentan terhadap berbagai KKN. Namun, di sisi lain pelarangan terhadap para pejabat untuk berbisnis rasanya juga sesuatu hal yang agak sulit diterima. Karena dengan asumsi kebutuhan dasar yang telah terpenuhi, sebenarnya justru dari pejabat yang memiliki latar belakang pengusaha inilah tindakan korupsi bisa dikurangi. Persoalannya kini tinggal sejauh mana mereka mampu menjaga etika dalam bisnis dan politik serta yang terpenting lagi ialah soal penegakan hukum. Sebab, bagaimanapun juga tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mampu menjamin etika seseorang bahkan dirinya sekalipun untuk tetap baik, apalagi kalau pejabatnya yang rakus. (Nugroho Pratomo/ Litbang Media Group). ++++ Dwifungsi Penguasa dan Pengusaha Sabtu, 19 November 2005 TEMPO Interaktif, : "No bourgeoisie no democracy" (Barrington Moore, 1966) Demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi, begitu argumen Moore. Banyak pengusaha menyepakati doktrin Moore dan terjun berpolitik. Apakah ini merupakan tren baru seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla? Nyatanya tidak. Sejak dulu, baik di mancanegara maupun di Indonesia, banyak pengusaha menguasai jabatan publik. Beberapa contoh mutakhir bisa kita simak. Masyarakat kita, terutama para tifosi, tentu familiar dengan juragan jaringan media dan pemilik klub sepak bola langganan juara Seri A, AC Milan, Silvio Berlusconi, yang juga Perdana Menteri Italia. Thaksin Shinawatra, taipan media dan telekomunikasi, menjadi pemimpin puncak di Thailand. Bahkan Presiden Bush merupakan dinasti politico-business di Amerika. Pada masa Orde Baru lalu, peran pengusaha sebagai supporting system belaka dari jejaring politik dan ekonomi. Lantas mengapa taipan berbondong-bondong menduduki jabatan publik? Kini kesempatan untuk masuk ke wilayah politik terbuka lebar. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan, dengan daya pikat finansial yang besar, nominasi bisa dibeli agar mereka dicalonkan sebagai anggota legislatif (Nuryanti, 2005). Berubahnya konstelasi politik dan ekonomi pasca-Soeharto membuat kekuasaan tersebar serta pengaruh politiknya terbatas. Akibatnya, upaya untuk mendapatkan kemudahan dan proteksi politik dalam berbisnis makin rumit dan berbiaya tinggi. Semakin banyak kelompok politik yang harus didekati dan disuap, sehingga biaya transaksi malah melampaui keuntungan dari rente. Kroni kapitalis Setumpuk penelitian secara empiris dan komparatif menunjukkan bahwa para taipan di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan wirausaha sejati. Pengusaha ini menikmati rente dari penguasa dengan memberikan imbalan finansial serta dukungan politik. Penelitian Mushtag Khan (1999) di India, Pakistan, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan mengurai hubungan mesra penguasa dan pengusaha dalam mengejar rente ekonomi untuk membangun kelompok politico-business. Yoshihara Kunio (1990) menyebut kapitalis yang berkembang di Asia Tenggara sebagai "kapitalis semu" (ersatz capitalist), yaitu pengusaha yang tumbuh karena bergandeng mesra dengan rezim. Pengusaha semu ini membangun bisnis dengan memperoleh kemudahan (privilese) dan proteksi politik. Di Thailand sendiri, Pasuk Phongphaichit dan Chris Baker (2004) membedah sejarah perkembangan bisnis Shin Corporation. Thaksin memulai bisnis sebagai mantan perwira polisi yang memasok peralatan komputer dan ATK bagi institusi polisi. Pada awal 1990-an, dia mendapat konsesi cable TV, telekomunikasi (paging, telepon seluler, card-phone), satelit, dan datanet sebesar 1,3 miliar baht. Di Negeri Abang Sam pun sama. Kevin Phillips membedah "Dinasti Bush" yang dibangun dari fondasi bisnis finansial, perminyakan, dan industri militer. Prescott Bush, kakek Presiden Bush, adalah pengusaha yang menjadi senator dari Connecticut dan teman main golf favorit Presiden Eisenhower. Dari relasi bisnis-politik ini, dinasti Bush berkembang (Phillips, 2004). Di Korea Selatan, para chaebol membangun perusahaan multinasional mereka dengan sokongan penuh dari rezim yang berkuasa saat itu (Kang, 2002). Mereka menjalin hubungan mesra (cozy relationship) dengan penguasa untuk memperoleh konsesi dan lisensi (Jungsoo Park, 2004). Di Filipina, pengusaha menguasai ranah politik dan bisnis yang dibangun dengan cara yang sama. Istilahnya booty capitalism (Hunchcroft, 1998). Bagaimana di Indonesia? Riset yang dilakukan Yoshihara Kunio (1990), Richard Hefner (1998), serta Robison dan Hadiz (2004) mengkonfirmasikan pola di atas. Pengusaha adalah pemburu rente dari hasil selingkuh kepentingan dengan penguasa. Celakanya, kelompok bisnis inilah yang tertarik untuk berpolitik. Bahaya dwifungsi Dwifungsi ABRI sudah dihapuskan, tapi dwifungsi pengusaha-penguasa justru menjamur. Dwifungsi tentu mempunyai dampak negatif. Tanpa bermaksud menggeneralisasi sisi negatif, pengalaman empiris di Asia Tenggara menunjukkan bahwa kemungkinan tabiat koruptif dari dwifungsi justru makin membesar. Motivasi utama taipan berpolitik umumnya guna mempertahankan kepentingan bisnisnya (Harris, 2003). Motivasi ini jelas bukan untuk mengabdi. Pengalaman menunjukkan bahwa kelompok politico-business ini paling tidak loyal. Walaupun penguasa berganti, apa pun jenis rezimnya, politico-business berusaha menjadi sekutu penguasa (Case, 2002). Pengalaman di Thailand menunjukkan, walau rezim sipil diganti oleh rezim militer, pengusaha akan menyesuaikan diri. Begitu pula di Filipina, pengusaha kroni Marcos, setelah People Power, yang pertama kali berpindah "perahu" masuk ke institusi publik seperti kongres dan eksekutif serta "menyandera" institusi tersebut (state captured). Kedua, dengan kemampuan finansialnya, politico-business dengan mudah mendominasi proses politik. Thaksin dan Berlusconi, dengan dukungan jaringan media, membuat propaganda untuk kampanye pribadi. Thaksin bahkan berusaha mengontrol pemberitaan media--sesuatu yang fatal bagi demokrasi. Belum lagi selingkuh kepentingan. Sebagai pemburu rente, pengusaha berupaya memperoleh akses terhadap sumber daya ekonomi, kebijakan publik, lisensi bisnis, kredit, bahkan monopoli. Sementara itu, sebagai pejabat publik, pengusaha memiliki wewenang atas kebijakan publik, lisensi, dan kontrak proyek pemerintah. Bahaya jika terjadi split personality: kebijakan dan sumber daya publik dinikmati oleh kelompok bisnisnya. Dalam kondisi ketika perilaku belum dapat memisahkan kepentingan privat dan publik, penyalahgunaan kekuasaan sangat mungkin terjadi. Ditambah lemahnya aturan main dan tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia, dampak negatif kepribadian ganda penguasa-pengusaha mudah dihindari. Lebih arif jika dwifungsi ditiadakan. Luky Djani Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/