REPUBLIKA Senin, 26 Desember 2005
Ketidakpastian Dalam Perekonomian 2006 Oleh : Umar Juoro Menjelang berakhirnya tahun 2005 dan segera kita memasuki tahun 2006, perekonomian nasional dihadapkan pada ketidakpastian yang menyulitkan bagi penentu kebijaksanaan di pemerintahan, dunia usaha, maupun di tingkat rumah tangga. Pada akhir tahun 2005 ini perekonomian diperkirakan hanya akan tumbuh 5,3 persen sampai 5,5 persen yang jauh dari target pertumbuhan dari pemerintah dan perkiraan banyak pihak pada awal tahun. Dapat dipastikan inflasi akan berkisar pada angka 18 persen, tingkat inflasi tertinggi sejak masa krisis. Sedangkan suku bunga masih ada kemungkinan untuk sedikit meningkat dari keadaan sekarang dengan tingkat SBI sebesar 12,75 persen. Memasuki tahun 2006, pertanyaan besar adalah apakah inflasi akan tetap tinggi sepanjang tahun ataukah menurun secara berarti pada triwulan III sebagaimana yang diperkirakan oleh Bank Indonesia dan banyak analis finansial sehingga inflasi bisa menjadi satu angka saja (single digit). Hampir dapat dipastikan bahwa inflasi pada awal tahun 2006 masih akan tetap tinggi sekitar 15 persen sampai 17 persen, karena dunia usaha masih akan menyesuaikan harga-harga produk mereka sebagai konsekuensi dari meningkatnya biaya produksi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM yang sangat tinggi pada bulan Oktober yang lalu. Perkiraan yang optimis adalah inflasi akan menurun tajam pada bulan Oktober 2006 karena sudah terjadi peningkatan inflasi yang tinggi pada bulan Oktober 2005 pada saat harga BBM dinaikkan. Hal ini yang menjadi dasar perkiraan BI bahwa inflasi pada tahun 2006 akan berkisar pada angka sekitar 8 persen. Namun perkiraan ini bisa meleset jika penyesuaian harga terjadi berkepanjangan, karena berbagai kenaikan biaya, tidak saja tramsportasi dan energi, tetapi juga upah di sector swasta dan kemungkinan kenaikan gaji pegawai negeri, ditambah dengan kemungkinan kenaikan Tarif Dasar Listrik, telepon, dan lain-lain. Perkembangan ini yang memberikan ketidakpastian paling serius bagi perekonomian tahun 2006. Tingginya inflasi tidak saja memukul dunia usaha, karena meningkatnya biaya produksi, tetapi juga bagi rumah tangga dengan menurunnya daya beli yang selanjutnya juga menekan perkembangan penjualan produk perusahaan, terutama untuk produk konsumsi. Tingginya inflasi juga mendorong otoritas moneter yang kemudian diikuti oleh perbankan untuk meningkatkan suku bunga. Kaitan antara inflasi dengan suku bunga ini yang menambah ketidakpastian dalam perekonomian tahun 2006. Sejauh ini sektor finansial mempunyai perkiraan yang serupa dengan otoritas moneter mengenai inflasi yang akan menurun tajam pada Triwulan III 2006 yang menjadikan inflasi relatif rendah. Karena itu kita melihat penguatan nilai rupiah, meningkatnya indeks pasar modal, dan meningkatnya pembelian obligasi rupiah oleh investor asing belakangan ini. Mereka seperti otoritas moneter juga melihat sekalipun inflasi berdasarkan indeks harga konsumen tinggi, namun inflasi inti (core inflation) yaitu inflasi dikurangi kenaikan harga-harga bahan makanan dan energi yang berfluktuasi tinggi masih sekitar 9 persen, sehingga suku bunga riil masih dianggap positif. Namun jika perkiraan ini tidak sejalan lagi maka akan terjadi tekanan besar pada nilai rupiah, dan investor finansial akan meninggalkan Indonesia lagi. Pelaku di sektor riil melihat kecenderungan inflasi ini berbeda. Mereka terutama memperhatikan kenaikan harga-harga yang mempengaruhi biaya produksi mereka sehingga cepat atau lambat mereka harus menyesuaikan harga jual produknya. Mereka tidak berpedoman pada perkiraan inflasi ke depan seperti pada umumnya pelaku di sektor keuangan. Karena itu kita melihat kecenderungan peningkatan harga yang terus berlanjut yang berbeda dari perkiraan sebelumnya bahwa kenaikan harga BBM hanya akan meningkatkan inflasi sekitar 2 persen sampai 3 persen saja. Karena itu kecenderungan meningkatnya inflasi menjadi permanen sifatnya, karena mempengaruhi struktur harga, tidak bersifat sementara. Hal ini yang dapat menyebabkan perkiraan inflasi akan turun drastis pada akhir tahun 2006 bisa meleset. Janji pemerintah untuk mengurangi biaya tinggi, terutama di sektor transportasi, tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga biaya transportasi masih sangat tinggi bagi pelaku usaha maupun masyarakat pada umumnya. Begitu pula usaha pemerintah untuk mengendalikan harga-harga tidaklah begitu efektif karena pada umumnya pemerintah tidak lagi mempunyai kendali terhadap harga-harga, pemerintah hanya melakukan persuasi yang sering tidak diikuti oleh pelaklu usaha. Menghadapi ketidakpastian seperti ini, maka perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 diperkirakan hanya akan berkisar antara 5 persen sampai 5,5 persen atau bahkan dapat lebih rendah. Investasi yang diharapkan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi seperti pada akhir tahun 2004 dan awal 2005, kemungkinan tidak dapat tumbuh tinggi jika hambatan investasi tidak dikurangi secara serius. Kesepakatan investasi sebagaimana dicatat BKPM bisa saja mengalami pertumbuhan relatif tinggi, namun tidak demikian realisasinya, apalagi dalam hal aliran dana yang masuk. Pada tahun 2005, BKPM mencatat sekitar 9 miliar dolar AS PMA, tetapi BI hanya memperkriakan sekitar 2,4 miliar dolar AS dana yang masuk sebagaimana tercatat dalam neraca pembayaran. Pengeluaran pemerintah diharapkan menjadi alternatif penggerak pertumbuhan ekonomi. Namun dari pengalaman tahun 2005, pengeluaran pemerintah menghadapi kendala peraturan dan pengawasan yang demikian ketat yang menghambat pencairan dana anggaran sekalipun dananya tersedia. Tantangan pemerintah adalah memperbaiki efektifitas penggunaan anggaran, mulai dari peraturannya sampai kepada pemanfaatannya. Jika tidak maka pertumbuhan ekonomi dan permasalahan pengangguran akan menjadi lebih buruk. Begitu pula cerita lama mengenai upaya untuk mengurangi hambatan investasi harus dilakukan lebih baik lagi, terutama pada kegiatan dimana kita mempunyai keunggulan komparatif, seperti migas, pertambangan, dan perkebunan. Bagi pelaku usaha tantangan sangat berat karena harus menyesuaikan diri dengan kecenderungan peningkatan biaya produksi yang tinggi dan menurunnya daya beli masyarakat. Jika iklim investasi membaik maka investor asing mempunyai kesempatan lebih baik dari pada pelaku usaha domestk yang harus melakukan banyak penyesuaian dalam waktu singkat. Bagi masyarakat pada umumnya, dengan menurunnya daya beli, karena inflasi yang tinggi, dan kesempatan kerja yang lebih sempit, kehidupan menjadi lebih berat. Tantangan tersebut yang harus kita hadapi meninggalkan tahun 2005 dan memasuki tahun 2006. Keadaan yang semestinya lebih baik dengan pemerintahan baru, tetapi pada kenyataannya harus menghadapi tahun yang akan datang dengan tantangan yang lebih berat. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help the victims of the Pakistan/India earthquake rebuild their lives. http://us.click.yahoo.com/it0YpD/leGMAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/